Latte di Antara Kita

slya
Chapter #17

Harapan Alden

Setelah mendengar penjelasan dari mamahnya, Atte merasakan campuran emosi yang begitu kompleks. Kesedihan merayapi hatinya, namun tak dapat dipungkiri ada pula amarah yang membuncah. Bagaimana mungkin mamahnya, Wulan sosok yang selama ini dikenal cerdas dan tegar, bisa terjebak dalam situasi seperti ini?

Mata Atte mulai berkaca-kaca, tapi dia menahan air mata itu agar tidak tumpah. Dengan hati yang penuh kekecewaan, dia mendekati mamahnya dan memeluknya erat. Pelukan itu bukan hanya sekedar ungkapan kasih sayang, tetapi juga usaha keras Atte untuk menyingkirkan rasa kecewa yang melingkupi dirinya. Dia tahu, saat ini mamahnya sedang rapuh, menghadapi kondisi yang tidak pernah diinginkannya.

"Mamah, aku di sini," bisiknya lirih, mencoba memberikan kekuatan pada Wulan. Atte tahu bahwa sekarang bukanlah waktu untuk menyalahkan, melainkan untuk memberikan dukungan yang tulus. Dalam hatinya, dia bertekad akan selalu berada di sisi mamahnya, apapun yang terjadi.

Atte mengelus punggung Wulan dengan lembut, mencoba menenangkan mamahnya yang dari tadi menangis membasahi pundaknya. Tangis Wulan terisak-isak, menyuarakan rasa sakit dan kekecewaan yang telah lama dipendam. Atte merasakan setiap tetesan air mata yang jatuh di bahunya, dan dengan sabar dia terus mengelus, berharap sentuhan lembutnya bisa memberikan sedikit ketenangan.

Setelah beberapa saat, tangis Wulan mulai mereda. Suasana menjadi lebih hening, hanya suara napas berat Wulan yang terdengar. Merasa mamahnya sudah agak tenang, Atte perlahan membuka suara, "Mamah, di mana ayah tiriku sekarang? Bagaimana bisa mamah bertemu dengan dia?"

Wulan menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Namanya Fandi. Dia teman mamah ketika kuliah. Saat itu mamah sudah kehilangan semangat untuk hidup. Mamah mencoba melakukan bunuh diri, berdiri di trotoar jembatan Pasoepati. Semua orang yang sedang berkendara ikut menenangkan mamah, perjalanan mereka terganggu. Tapi ada satu orang yang berteriak memanggil nama mamah."

Wulan berhenti sejenak, mengenang momen itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca lagi. "Baru saja mamah melangkahkan kaki, tangan mamah ditarik hebat oleh seseorang. Dia adalah Fandi. Fandi mencoba menenangkan mamah dengan membawa mamah ke suatu tempat yang aman. Dia bilang, 'Kamu tidak sendirian, Wulan. Kita bisa melalui ini bersama.'"

Atte mendengarkan dengan seksama, merasakan campuran emosi yang kompleks. Di satu sisi, dia merasa marah dan kecewa karena mamahnya terjebak dalam situasi seperti ini. Tapi di sisi lain, dia bisa melihat kenapa mamahnya merasa berhutang budi pada Fandi. Dia mencoba memahami, meskipun hatinya masih diliputi kekhawatiran dan kesedihan.

Wulan menghela napas panjang, menatap jauh ke arah yang tidak jelas seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan cerita. Atte tetap diam, memberikan ruang bagi mamahnya untuk mengungkapkan semuanya.

"Saat itu, Fandi telah kehilangan istrinya karena kecelakaan," Wulan mulai bercerita dengan suara yang sedikit bergetar. "Dia sedang dalam keadaan yang sama rapuhnya dengan mamah. Kami berdua adalah dua orang yang hancur, mencoba mencari pegangan di tengah-tengah kekosongan dan kesakitan yang melanda."

Atte terus mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa setiap kata yang diucapkan oleh mamahnya begitu berat.

"Fandi bilang, dia melihat dirinya sendiri dalam mamah. Dia tahu betapa sulitnya merasa sendirian dan kehilangan harapan. Dia meminta maaf, Atte. Dia bilang, 'Maafkan aku, Wulan, jika permintaan ini egois. Tapi, maukah kamu menjadi istriku? Aku tidak bisa menjanjikan banyak, tapi aku berjanji kita bisa saling mendukung dan mencari kebahagiaan bersama.'"

Wulan menundukkan kepalanya, mengenang saat-saat penuh emosi itu. "Mamah merasa, mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan kembali arti hidup. Jadi mamah setuju."

Atte merasakan campuran emosi yang begitu kuat. Rasa marah dan kecewa masih ada, tapi kini ada juga sedikit pengertian. Dia memeluk mamahnya lebih erat, berusaha menyalurkan kekuatan dan kasih sayang.

"Mamah, aku di sini," katanya lembut. "Kita akan melalui ini bersama."

Wulan menatap mata Atte dengan penuh rasa syukur. Mereka berdua saling menguatkan dalam pelukan itu, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.

Atte menatap mamahnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Kenapa suami mamah tidak mengantar mamah ke sini?" tanyanya penasaran.

Wulan yang sedikit tenang setelah menceritakan semuanya kepada Atte, mencoba tersenyum. Ia kemudian menjelaskan, "Suami mamah sedang banyak kerjaan di luar kota, Sayang. Dia sedang mengurus perkembangan cabang rumah makan yang baru." Wulan berharap penjelasannya dapat membuat Atte mengerti situasi yang sedang mereka hadapi.

Atte hanya bisa berharap mamahnya bahagia dengan laki-laki yang saat ini menjadi suaminya. Ia ingin melihat mamahnya tersenyum lagi dan menemukan kebahagiaan yang telah lama hilang. "Aku cuma ingin mamah bahagia," bisik Atte dalam hati, berharap laki-laki itu bisa memperbaiki semua yang sudah berlalu dan membawa kebahagiaan baru bagi mamahnya.

Sejak malam itu, Atte dan Wulan mulai membuka diri satu sama lain. Mereka menghabiskan waktu berbicara tentang berbagai kesalahpahaman yang selama ini membebani hubungan mereka. Atte, dengan hati yang berdebar, akhirnya mampu menyuarakan perasaan yang selama ini dia pendam terhadap perlakuan mamahnya.

Percakapan itu berlangsung lama, dengan air mata dan pelukan yang mengiringi. Atte mulai memahami bahwa meski ada banyak kekurangan, mamahnya tetaplah mamahnya. Dia tidak ingin Tuhan marah terhadapnya karena tidak berbakti kepada ibunya. Kesadaran ini membuat Atte bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka.

Satu minggu berlalu, dan Wulan kembali ke Bandung. Tujuan kedatangannya ke Jakarta sebenarnya hanya untuk melihat perkembangan anaknya. Dia ingin melihat bagaimana Atte tumbuh menjadi perempuan yang hebat, mengurus bisnis almarhum ayahnya.

Sebelum berangkat, Wulan duduk bersama Atte di ruang tamu. "Atte, mamah sangat kagum denganmu. Kamu tumbuh menjadi perempuan yang bertanggung jawab dan cerdas. Mamah sangat bangga padamu."

Atte tersenyum, merasakan kehangatan dan kebanggaan yang tulus dari mamahnya. "Terima kasih, Mamah. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik. Semoga kita bisa terus saling mendukung dan memahami satu sama lain."

Lihat selengkapnya