"Sudah ah, jangan nangis terus," celetuk Alden dengan nada ringan, berusaha mengubah suasana. "Kamu lapar gak? Kita cari udara segar di luar, di sini bau obat."
Atte terkejut sesaat, lalu tersenyum kecil, menampilkan gigi putihnya yang cantik. "Iya, Alden. Terima kasih," jawabnya, masih dengan mata yang sedikit bengkak, tapi hatinya terasa lebih ringan.
Alden berdiri dan menawarkan tangannya untuk membantu Atte bangkit dari tempat duduknya. Mereka berjalan beriringan keluar dari balkon, meninggalkan kesedihan sejenak di belakang mereka. Angin malam yang segar menyambut mereka, membawa kelegaan dan harapan baru.
Di luar, suasana terasa lebih tenang dan nyaman. Alden melihat senyum di wajah Atte dan merasa lega bisa sedikit membantu mengangkat beban hatinya. "Yuk, kita cari tempat yang enak buat makan," katanya, mengajak Atte menuju kafe kecil di dekat rumah sakit.
Atte mengangguk, merasa bersyukur memiliki teman seperti Alden yang selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik. Malam itu, di bawah langit yang cerah dan bintang yang berkelip, mereka menikmati momen kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Bagi Atte, ini adalah awal dari perjalanan penyembuhan, dengan Alden di sisinya sebagai sahabat yang setia dan penuh perhatian.
Kafe kecil di dekat rumah sakit menyambut Atte dan Alden dengan suasana yang nyaman dan tenang. Arsitektur bangunannya yang minimalis memancarkan kesederhanaan yang elegan—dinding putih bersih, furnitur kayu dengan desain simpel, dan pencahayaan lembut yang menciptakan atmosfer yang hangat.
Di dalam kafe, aroma kopi yang baru diseduh menguar lembut, menyambut keduanya dengan hangat. Meja-meja kecil yang tertata rapi di seluruh ruangan menambah kesan akrab dan nyaman. Di sudut ruangan, ada rak buku yang penuh dengan berbagai koleksi bacaan, mengundang pengunjung untuk duduk santai sambil menikmati makanan mereka.
Atte dan Alden memilih meja di dekat jendela besar yang memandang keluar ke jalan kecil yang tenang. Dengan sebuah senyum, mereka duduk dan memulai percakapan mereka sambil memeriksa menu yang ada di meja. Menu di kafe ini tidak hanya menampilkan kopi dengan berbagai varian, tetapi juga makanan ringan dan berat yang menggugah selera.
Alden membuka menu dan mulai membaca dengan seksama. "Kita bisa pesan kopi dulu, lalu mungkin beberapa makanan ringan. Di sini juga ada nasi goreng dan berbagai hidangan ayam kalau kamu lapar," katanya sambil menunjuk ke menu.
Atte melihat berbagai pilihan yang ada, dan matanya tertuju pada beberapa hidangan yang terlihat sangat menggoda. "Hmm, aku rasa aku mau mencoba kopi cappuccino dan mungkin beberapa camilan. Kayaknya mereka punya croissant yang enak di sini," ujarnya dengan nada semangat, seraya menunjuk ke gambar croissant yang menggiurkan di menu.
Alden mengangguk setuju. "Baiklah, kalau begitu aku akan pesan kopi americano dan beberapa camilan juga. Nasi gorengnya terdengar menarik, tapi mungkin lain kali saja."
Mereka memanggil pelayan dan memesan pesanan mereka—cappuccino untuk Atte, americano untuk Alden, dan beberapa croissant serta kue kering untuk menemani kopi mereka. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dengan cepat, disajikan dengan penataan yang rapi dan menarik.
Sambil menikmati kopi dan camilan, Alden dan Atte mulai berbicara lebih santai. Suasana kafe yang nyaman membuat mereka lupa sejenak akan kesedihan dan kesibukan hari-hari mereka.
Atte mengambil tegukan pertama cappuccino-nya, dan wajahnya tampak lebih ceria. "Kopi ini enak sekali, Alden. Terima kasih sudah mengajakku ke sini."
Alden tersenyum, merasa senang melihat Atte sedikit lebih baik. "Aku juga senang kamu suka. Kadang kita butuh istirahat sejenak dari rutinitas dan hal-hal yang membebani pikiran kita."
Mereka melanjutkan percakapan dengan lebih ringan, membahas berbagai topik mulai dari rencana masa depan hingga kenangan lucu dari hari-hari mereka di rumah sakit. Momen kebersamaan ini memberi Atte kesempatan untuk melepaskan beban hatinya, dan bagi Alden, ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa dia peduli tanpa harus menyampaikan perasaannya secara langsung.