Di tengah malam yang hening, suasana di ruangan rumah sakit tampak tenang. Atte, yang sejak awal malam menjaga Rumi, terlelap tidur di kursi samping tempat tidur, posisi duduk dengan kepala sedikit tertunduk. Kelelahan yang mendalam membuatnya tertidur nyenyak di tengah-tengah perannya sebagai penjaga.
Tiba-tiba, tangan Rumi bergetar lembut, membangunkan Atte dari tidurnya. Dengan terkejut, Atte mengangkat kepalanya dan melihat tangan Rumi bergetar perlahan, seolah mencoba menarik perhatian.
Atte segera terjaga, matanya lebar penuh kepanikan. "Bunda? bunda, ada apa?" tanyanya dengan suara lembut, berusaha menenangkan Rumi.
Dalam kondisi setengah sadar, Rumi memanggil nama anaknya dengan nada yang penuh harapan. "Aga... Aga, di mana kamu?"
Atte meraih tangan Rumi yang gemetar dengan lembut. "Bunda, ini Atte, bunda. Bukan Aga."
Rumi membuka matanya sedikit, menatap Atte dengan kebingungan dan keletihan. "Atte? Kenapa kamu di sini? Mana Aga? Kenapa dia tidak ada di sini?"
Atte menggelengkan kepalanya, menunjukkan ketidak tahuan mengenai keberadaan Aga. Dia menatap Rumi dengan penuh perhatian, berusaha untuk memberikan rasa tenang.
“Memangnya Aga ada di sini, bunda?” tanya Atte lembut, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kepedihan. “Dari tadi Atte tidak melihat Aga, bunda. Tenanglah, Atte di sini untuk menjaga bunda.”
Rumi terdiam sejenak, matanya tetap menatap Atte. Ada kilatan rasa senang yang samar di matanya, seakan-akan dia menemukan kenyamanan dalam kehadiran Atte, calon menantu yang dulu sangat dia sayangi. Namun, di balik tatapan itu, juga tampak kekecewaan yang mendalam.
Atte merasakan campuran emosi di dalam diri Rumi, dan dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerinduan untuk melihat Aga. “Bunda, jangan khawatir. Aku di sini untuk menemani bunda,” lanjut Atte, berusaha untuk menghibur.
Rumi menggenggam tangan Atte dengan lembut, namun tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa kecewa yang tersimpan di dalam hatinya. “Ate, kenapa kamu meninggalkan anakku?” suara Rumi bergetar, mengungkapkan pertanyaan yang telah lama menghantui pikirannya.
Atte menatap tangan mereka yang saling bergenggaman, merasakan beratnya pertanyaan yang belum pernah diungkapkan sebelumnya. “Bunda, aku… aku minta maaf,” kata Atte dengan suara bergetar. “Saat itu, aku merasa tidak bisa melanjutkan hubungan kami. Tapi aku ingin bunda tahu, aku tidak pernah berhenti memikirkan Aga.”
Rumi mengangguk perlahan, menatap Atte dengan campuran rasa rindu dan penyesalan. “Aga sangat mencintaimu, Atte. Dia masih selalu berbicara tentangmu, meskipun dia mencoba untuk kuat. Aku harap kamu tahu betapa berartinya kamu baginya.”
Atte menundukkan kepala, hatinya dipenuhi rasa sakit dan penyesalan. “Aku tahu, bunda. Aku tahu betapa beratnya bagi Aga. Aku benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi.”
Rumi hanya bisa terdiam, menatap Atte dengan tatapan yang penuh dengan rasa sayang dan sedikit kesedihan. Meskipun ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaannya tentang mengapa Atte meninggalkan Aga, kehadiran Atte di sampingnya memberikan sedikit rasa lega di malam yang penuh dengan kenangan dan kesedihan.