Waktu terus berlalu dengan cepat. Tugas praktikum Atte sudah terpenuhi untuk hari ini, dan buku catatan kegiatannya sudah penuh dengan berbagai catatan dari aktivitas satu hari ini. Meskipun lelah, Atte merasa puas dengan pencapaiannya. Dengan niat baik, ia memutuskan untuk mengunjungi kamar Bunda Rumi. Dia berharap bisa bertemu dengan Aga di sana.
Dari lantai 1, Atte menaiki lift menuju lantai 3. Begitu tiba, ia berjalan menyusuri lorong kanan, langkahnya mantap dan penuh harapan. Atte berhenti di depan kamar 3.7 dan menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Namun, pemandangan yang ia lihat melalui celah pintu membuatnya terkejut.
Di dalam kamar, ada seorang laki-laki yang tengah menjaga Bunda Rumi. Atte sangat mengenali sosok itu—pakaian, gestur tubuh, bahkan sepatu yang dikenakannya sudah sangat familiar. Itu adalah Aga.
Atte berdiri di ambang pintu, memperhatikan dengan cermat. Tanpa disadari oleh Aga, Atte terus memandangnya dengan campuran perasaan antara lega dan rindu. Aga, dengan penuh perhatian, menggenggam tangan ibunya sambil berbicara lembut, seolah memberikan kekuatan dan semangat.
Perasaan Atte bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa senang melihat Aga berada di sana, merawat ibunya dengan penuh kasih sayang. Di sisi lain, ia merasakan keinginan kuat untuk menyapa dan berbagi cerita tentang hari-harinya di rumah sakit. Namun, Atte memilih untuk menahan diri sejenak, menikmati momen itu dari kejauhan.
Akhirnya, dengan langkah perlahan, Atte memutuskan untuk memasuki kamar. Dia mengetuk pintu pelan, dan Aga menoleh, senyum kecil terlukis di wajahnya saat melihat Atte berdiri di sana.
"Atte," sapa Aga dengan hangat, "aku tidak menyangka kamu akan datang."
Laki-laki itu menoleh ke arah pintu dan terkejut melihat sosok perempuan dengan pakaian dokter praktikan berdiri di sana. Perasaan kagetnya sejenak menguasai dirinya, matanya tak lepas dari perempuan tersebut. Di ambang pintu, Atte terdiam, menatap hening ke arah laki-laki itu. Keheningan di antara mereka seakan melukiskan sejuta kata yang tak terucap.
Atte masih terdiam mematung di ambang pintu, memperhatikan Aga dari kejauhan. Rasanya seperti mimpi. Hampir empat tahun telah berlalu tanpa ada kabar dari Aga, dan kini sosok laki-laki yang selama ini masih memiliki tempat spesial di hatinya tiba-tiba muncul di depan matanya.
Aga duduk di samping ranjang Bunda Rumi, menggenggam tangan ibunya dengan penuh kasih sayang. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan tenang, namun senyum yang pernah membuat hati Atte berdebar tetap sama. Atte memandangnya dengan campuran perasaan antara bahagia, rindu, dan sedikit canggung.
Kenangan-kenangan masa lalu berkelebat di benak Atte. Dulu, mereka sering menghabiskan waktu bersama, tertawa, dan berbagi mimpi-mimpi besar. Namun, tiba-tiba Aga menghilang tanpa jejak, meninggalkan lubang besar di hati Atte yang sulit untuk diisi.
Tanpa mereka sadari, air mata mulai menggenang di mata Atte. Keheningan yang mencekam membuat waktu seakan berhenti. Di satu sisi, ia merasa ingin segera berlari dan memeluk Aga, namun di sisi lain, ada perasaan ragu dan takut yang menahan langkahnya.
Aga yang sedang berbicara lembut kepada Bunda Rumi, perlahan mengangkat kepala dan matanya bertemu dengan pandangan Atte. Sejenak, waktu seakan membeku. Mata mereka saling terkunci, dan Atte melihat kilatan pengakuan di mata Aga.
Dengan perlahan, Aga berdiri dan menghampiri pintu. Atte merasa jantungnya berdebar kencang, dan seiring setiap langkah yang diambil Aga, jarak antara masa lalu dan masa kini semakin menyempit.
"Atte," suara Aga terdengar serak namun hangat, penuh dengan emosi yang tertahan.
Lamunan Atte di ambang pintu buyar seketika saat mendengar namanya dipanggil oleh Aga. Sekarang, Atte tidak bisa berkata-kata, liquid bening terus menetes dari mata indahnya. Perasaan marah, kecewa, dan rindu semuanya tercampur dan mengalir melalui pipi mulusnya.
Aga merasakan perasaan bersalah yang mendalam terhadap Atte. Dia tidak ingin membuat suasana ruangan kamar tempat mamahnya dirawat menjadi bising karena obrolan mereka berdua. Dengan langkah cepat namun hati-hati, Aga menghampiri Atte dan dengan lembut menarik tangannya. "Atte, ayo kita bicara di luar," bisiknya, mencoba menenangkan hati yang sedang berkecamuk.
Atte menurut, masih terisak namun berusaha menahan tangisnya. Mereka berjalan melewati lorong rumah sakit, menuju lift. Di dalam lift, keheningan mencekam mengisi ruang kecil itu, hanya terdengar suara napas yang berat dan detak jantung yang berdebar-debar.
Setibanya di lantai paling atas, Aga menuntun Atte menuju sebuah balkon yang sepi dan jauh dari hiruk-pikuk rumah sakit. Angin sore yang sejuk menyapa mereka, memberikan sedikit ketenangan di tengah keruwetan pikiran dan perasaan.
Aga melepaskan genggaman tangannya, lalu menatap Atte dengan mata penuh penyesalan. "Atte, aku tahu banyak yang harus kita bicarakan. Aku benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi," ucapnya dengan suara serak.
Atte menatap Aga dengan mata yang masih basah oleh air mata. "Kenapa, Aga? Kenapa kamu menghilang begitu saja tanpa kabar?" tanyanya dengan suara yang bergetar.