Setelah tiga bulan yang penuh dengan kerja keras dan dedikasi, akhirnya penelitian Atte berhasil diselesaikan. Waktu yang dihabiskannya terasa begitu panjang, dipenuhi oleh berbagai tantangan dan proses yang intens. Setiap harinya Atte tenggelam dalam data, teori, dan analisis, berusaha untuk menyusun sebuah penelitian yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga bermanfaat dan mendalam.
Hasil dari usahanya itu membuahkan sebuah karya tulis ilmiah yang luar biasa, dengan jumlah halaman mencapai 430 halaman. Setiap lembar dari karya tulis tersebut mencerminkan perjalanan panjang Atte—dari proses pengumpulan data, analisis mendalam, hingga penulisan kesimpulan yang solid. Meski terkadang kelelahan melanda dan tantangan tampak tak berujung, Atte selalu bangkit dan terus maju.
Di setiap babnya, Atte berusaha menggabungkan pemahaman teoritis dan praktik di lapangan, memberikan perspektif baru mengenai teknik bedah laparoskopi, sebuah topik yang selama ini ia teliti dengan cermat. Baginya, penelitian ini bukan hanya tentang menyelesaikan tugas akademik, tetapi juga tentang menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi dunia medis.
Ketika Atte menutup halaman terakhir skripsinya, ada perasaan bangga yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua kerja keras dan pengorbanan akhirnya terbayar dengan baik. Penelitiannya telah selesai, dan karya ilmiah yang dihasilkan bukan hanya sebuah dokumen, tetapi refleksi dari seluruh perjalanan akademiknya selama ini. Kini, dengan rasa syukur, Atte siap melangkah ke tahap berikutnya, yaitu sidang akhir, dengan kepala tegak dan hati penuh keyakinan.
Skripsi Atte akhirnya di-ACC oleh dosen pembimbing, sebuah tanda bahwa ia telah berhasil melewati tahap penting dalam proses panjang penyusunan karya ilmiah ini. Langkah berikutnya adalah pengumpulan berkas untuk sidang skripsi. Dengan penuh ketelitian, Atte memastikan setiap dokumen, mulai dari naskah skripsi hingga surat-surat persetujuan, sudah tersusun rapi. Ia tidak ingin ada satu pun berkas yang tertinggal, karena sidang akhir ini adalah puncak dari semua usahanya selama bertahun-tahun di bangku kuliah.
Beberapa hari kemudian, jadwal sidang skripsi pun keluar. Sebanyak 58 mahasiswa kedokteran angkatan 2019, termasuk Atte, dijadwalkan untuk melaksanakan ujian sidang selama tiga hari. Setiap mahasiswa harus mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka tulis, menjawab berbagai pertanyaan kritis dari para dosen penguji yang siap menguji pemahaman dan keahlian mereka. Ini adalah momen penting bagi semua mahasiswa, sebuah ujian yang akan menentukan kelulusan mereka.
Atte mendapat jadwal sidang pada hari Selasa, dengan tiga dosen penguji sekaligus. Meski gugup, ia tahu bahwa dirinya sudah mempersiapkan segala hal dengan sebaik mungkin. Selain persiapan akademis, Atte juga menyadari pentingnya kekuatan doa. Ia tidak lupa memohon berkat dan kekuatan dari Tuhan Yesus, sumber kekuatannya selama ini. Selain itu, dukungan dari Tante Mayang dan Om Rudi, yang selalu ada di setiap langkah perjuangan Atte, menjadi pendorong yang membuatnya semakin yakin.
Dengan doa dan persiapan yang matang, Atte siap menghadapi sidang skripsinya. Bagi Atte, ini bukan sekadar ujian akademis, tetapi juga sebuah perwujudan dari kerja keras, keyakinan, dan dukungan tanpa henti dari orang-orang yang ia cintai.
Pukul 08.00 WIB, tepat di hari Selasa yang telah ditentukan, Atte melangkah masuk ke ruang sidang. Perasaan gugup dan tegang bercampur dengan semangat yang membara dalam dirinya. Ini adalah hari besar yang telah ia persiapkan selama berbulan-bulan, dan meski rasa khawatir sesekali muncul, Atte berusaha tetap tenang. Dengan senyum hangat, ia menyapa para dosen penguji dan pembimbing yang sudah duduk di ruangan.
“Selamat pagi, Bapak dan Ibu,” ucapnya sopan, sambil menatap mereka satu per satu.
Para dosen penguji tersenyum, memberi isyarat agar Atte merasa nyaman dan siap untuk memulai. Salah satu dosen penguji, yang duduk di tengah, berkata dengan nada tenang, “Silakan, Atte. Kami siap mendengarkan presentasi Anda.”
Atte menarik napas dalam-dalam dan mengangguk, kemudian mempersiapkan tampilan salindia yang telah ia susun dengan cermat. Setiap poin dan gambar dalam presentasi itu adalah hasil dari kerja kerasnya, menggambarkan seluruh proses penelitian tentang teknik bedah laparoskopi yang ia dalami. Dengan penuh keyakinan, ia mulai mempresentasikan hasil penelitiannya—berbicara tentang latar belakang, metodologi, hasil analisis, hingga kesimpulan yang ia dapatkan.
Seiring dengan presentasinya, Atte merasakan bahwa rasa gugup mulai berangsur hilang. Ia mengalir dengan lancar, menjelaskan setiap bagian penelitiannya dengan jelas dan rinci. Para dosen penguji menyimak dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mencatat hal-hal yang mereka anggap penting.
Ruangan sidang terasa tenang, namun atmosfernya sarat dengan konsentrasi tinggi. Atte tahu bahwa ini adalah momen penting, namun ia percaya pada usahanya. Presentasi ini bukan hanya soal menyampaikan hasil, tapi juga tentang membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu melewati setiap tantangan akademis yang dihadapinya.
Sepuluh menit berlalu, dan akhirnya Atte menyelesaikan presentasinya dengan sebuah penutupan yang singkat namun penuh makna. Ia merangkum seluruh penelitian dan temuan utamanya dalam beberapa kalimat yang padat, menjelaskan bahwa teknik bedah laparoskopi pada pasien dengan apendisitis akut memiliki efektivitas yang tinggi dibandingkan metode bedah konvensional. Setelah penutupan itu, tibalah momen yang membuat jantung Atte sedikit berdebar: sesi tanya jawab.
Atte berharap pertanyaan yang akan diajukan oleh dosen penguji tidak terlalu sulit, namun ia siap menghadapi apapun yang mereka tanyakan. Dosen penguji pertama, dr. Alendra Ryuka, Sp.B, tersenyum tipis sebelum melontarkan pertanyaannya.
“Baik, Atte,” ujar dr. Alendra, “Pertanyaan saya adalah, dari hasil penelitian yang kamu lakukan, apakah ada indikasi atau kondisi khusus di mana teknik laparoskopi tidak disarankan pada pasien apendisitis akut? Jika ya, bagaimana sebaiknya penanganan alternatif dilakukan?”