Latte di Antara Kita

slya
Chapter #29

Apa sudah lupa dengan ku?

Setelah melakukan pemeriksaan mendetail, dr. Arvian Kalandra akhirnya mengkonfirmasi bahwa luka bakar di tangan Atte tidak separah yang dibayangkan. "Untungnya, lukanya tidak terlalu parah. Namun, ini harus terus diobati dengan antiseptik agar tidak membengkak dan bisa meredakan rasa perih," ujar dr. Arvian sambil memeriksa luka dengan seksama.

Dr. Arvian menulis resep obat yang diperlukan untuk perawatan luka dan memberikan resep tersebut kepada Maudy. "Sus Maudy, tolong ambilkan obat sesuai resep ini dari bagian farmasi. Penting agar dr. Atte segera mendapatkan perawatan yang tepat," katanya dengan nada penuh perhatian.

Maudy segera bergegas meninggalkan ruangan untuk mengambil obat yang telah diresepkan, meninggalkan dr. Arvian dan Atte di ruang istirahat. Atte, yang masih setengah sadar dan terbaring di tempat tidur, tampak berusaha mengumpulkan tenaga dan kesadaran. Rasa perih yang mengganggu membuatnya sulit untuk berbicara, tetapi dia tetap berusaha untuk mendengarkan.

Dr. Arvian, menyadari kondisi Atte, memutuskan untuk memberikan beberapa nasihat terakhir. "Dr. Atte, istirahatlah terlebih dahulu dan pastikan tangan Anda tidak terkena beban atau tekanan. Ini penting tidak hanya untuk penyembuhan luka, tetapi juga untuk memastikan kesehatan Anda secara keseluruhan. Jangan terlalu memaksakan diri sebelum tangan Anda benar-benar pulih."

Atte, dengan mata yang masih setengah terpejam, mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih kepada dr. Arvian. "Terima kasih, dr. Arvian. Saya sangat menghargai bantuan Anda," ucapnya dengan suara lemah namun penuh rasa syukur.

dr. Arvian tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, dr. Atte. Semoga Anda segera pulih dan bisa kembali beraktivitas dengan normal. Istirahatlah dengan baik dan jangan ragu untuk menghubungi saya jika ada keluhan lebih lanjut."

Dengan itu, dr. Arvian pamit, meninggalkan Atte di ruang istirahat dengan harapan dan doa agar proses penyembuhan berjalan lancar. Maudy kembali ke ruangan dengan obat-obatan yang diperlukan, siap untuk melanjutkan perawatan dan memastikan Atte mendapatkan istirahat yang cukup.

Setelah memberikan resep dan nasihat terakhirnya kepada Atte, dr. Arvian Kalandra meninggalkan ruang istirahat dengan langkah yang mantap dan penuh fokus. Meskipun sesi pemeriksaan tersebut memerlukan perhatian dan waktu, dr. Arvian harus kembali pada aktivitasnya yang padat.

Dengan hati-hati, dr. Arvian melangkah keluar dari ruang istirahat dan kembali ke koridor rumah sakit yang sibuk. Suasana di luar ruangan terasa kembali hidup, dengan tim medis lainnya berlalu lalang, pasien dan keluarga mereka bergerak di sepanjang lorong, dan suara peralatan medis yang bersahutan di berbagai ruangan.

Dr. Arvian, meskipun harus meninggalkan Atte dalam kondisi yang memerlukan perawatan lanjutan, merasa tenang bahwa langkah-langkah perawatan yang diperlukan sudah diberikan. Ia kembali ke jadwalnya, melanjutkan berbagai tugas medis yang menanti. Terlepas dari kesibukan, dr. Arvian tetap menjaga dedikasi dan komitmennya terhadap pasien, memahami betapa pentingnya setiap tindakan dan keputusan dalam dunia kedokteran.

Dengan penuh konsentrasi, dr. Arvian memasuki ruangannya dan melanjutkan kegiatan sehari-harinya. Dari melakukan pemeriksaan kepada pasien lain hingga menyusun laporan medis, dr. Arvian melakukannya dengan profesionalisme tinggi. Setiap langkah dan keputusan yang diambilnya berfokus pada peningkatan kesehatan pasien dan keberhasilan perawatan medis, sebagai bagian dari tanggung jawab dan dedikasinya sebagai seorang dokter spesialis kulit.

Jarum jam terus berdetak, dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Atte, dengan kondisi yang masih belum stabil dan rasa sakit yang terus mengganggu, memutuskan untuk pulang lebih awal dari rumah sakit. Ia berpamitan kepada rekan medis lainnya, menjelaskan bahwa ia harus beristirahat dan mengurus luka bakarnya di rumah.

Karena tangan Atte yang terluka menghalanginya untuk mengemudikan mobil, Maudy dengan sigap menawarkan bantuannya. "Saya akan mengantar dokter pulang," kata Maudy dengan nada lembut namun tegas, mengambil alih kemudi mobil Atte untuk memastikan perjalanan pulang berlangsung dengan aman.

Dalam perjalanan menuju rumah, Atte terus berdiam di kursi penumpang, merasakan rasa perih yang terus menyengat di tangannya. Meskipun Maudy mengemudikan mobil dengan hati-hati, ketidaknyamanan dan rasa sakit yang dirasakan Atte tetap membuatnya sulit untuk benar-benar tenang.

Di tengah perjalanan, Atte teringat tentang kebutuhan untuk tindak lanjut perawatan. "Maudy, kamu punya kontak dokter spesialis kulit itu?" tanya Atte dengan suara yang sedikit tertahan karena rasa sakit. "Kalau ada, boleh kirimkan ke saya?"

Maudy menoleh sejenak dengan senyum lembut. "Ada, Dok. Nanti saya kirimkan kontaknya ke dokter begitu kita sampai di rumah," jawab Maudy dengan cepat, berusaha memberikan rasa aman dan dukungan yang diperlukan Atte.

Dengan respons yang penuh perhatian dari Maudy, Atte merasa sedikit lebih tenang meskipun rasa sakit masih terasa. Perjalanan pulang ini mungkin tidak nyaman, tetapi dukungan dan perhatian dari Maudy memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketidaknyamanan yang dirasakannya.

Di tengah perjalanan pulang, Atte memandang Maudy dengan serius. "Oh iya, Suster Maudy, untuk besok saya izin dulu ya. Jika ada jadwal operasi, tolong sampaikan kepada dr. Latif apakah operasinya bisa ditunda. Jika tidak bisa, tanyakan kepada beliau apakah ada kemungkinan untuk menggantikan saya," ujar Atte dengan nada penuh perhatian.

Maudy mengangguk dengan cepat, memahami betapa pentingnya hal ini untuk Atte. "Tentu, Dok. Saya akan segera menghubungi dr. Latif dan menyampaikan pesan Anda. Saya akan pastikan semuanya teratur agar tidak ada masalah dengan jadwal operasi besok."

Atte merasa lega mendengar respons Maudy yang sigap. Meskipun keadaan saat ini membuatnya harus beristirahat, dukungan dan bantuan dari Maudy membuat proses transisi menjadi lebih mudah. Atte bersandar di kursi mobil, merasakan sedikit ketenangan dengan mengetahui bahwa segala sesuatunya akan diurus dengan baik.

Jarak dari rumah sakit tempat Atte bekerja lumayan jauh, sekitar 17,6 km. Suster Maudy mengendarai mobil dengan tenang, memastikan bahwa rekan kerjanya sampai dengan selamat. Malam itu jalanan sepi, dan hanya lampu jalan yang setia menemani perjalanan mereka. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah kecil di jendela, membuat suasana semakin sunyi.

Sambil fokus pada jalan di depannya, Suster Maudy sesekali menoleh ke arah Atte yang tengah tertidur di kursi penumpang. Wajah Atte terlihat lelah, dengan kantung mata yang sedikit membengkak dan napas yang terdengar pelan dan teratur. Dalam hati, Maudy merasa lega bahwa Atte akhirnya bisa beristirahat, meski hanya sejenak. Namun, kecemasan tetap menggelayut di pikirannya.

"Semoga dr. Atte baik-baik saja dan segera membaik," gumam Maudy dalam hati. Dia tahu betapa beratnya hari-hari terakhir ini bagi Atte, terutama setelah kejadian di rumah sakit tadi. Maudy sangat peduli pada Atte, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai sahabat yang sudah banyak berbagi suka dan duka dalam pekerjaan.

Tatapan Maudy kembali ke jalan, menghindari lubang kecil di aspal yang samar terlihat. Meskipun suasana hening, pikiran Maudy terus berputar. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan Atte yang tampak rapuh tadi. "Dia butuh waktu untuk istirahat," pikir Maudy.

Lihat selengkapnya