Atte mengusap air matanya, berusaha untuk tetap tegar dan kembali menyelesaikan makanannya yang tadi sempat tertunda karena kenangan tentang ibunya. Setiap suapan terasa berat, namun ia memaksakan diri untuk tetap makan, karena tahu bahwa dirinya butuh tenaga untuk pulih.
Setelah selesai, Atte bangkit dari kursi dan membawa piring bekas makanannya ke wastafel. Ia mulai mencuci piring, suara gemericik air yang mengalir sedikit menenangkan pikirannya. Namun tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi—nada dering WhatsApp dari nomor yang tak dikenal muncul di layar.
Atte melirik ponselnya sekilas, tapi memilih untuk tidak menghiraukannya. Dia masih fokus mencuci piring dan tidak ingin terganggu oleh panggilan dari nomor asing. Lagipula, pikirannya masih terlalu penuh untuk berurusan dengan hal-hal lain. Dering telepon itu pun akhirnya berhenti, meninggalkan keheningan di ruangan, hanya ditemani suara air yang mengalir dan pikiran Atte yang masih berkecamuk.
Atte mengusap air matanya dengan punggung tangan, mencoba menenangkan diri setelah emosi yang mendadak muncul saat teringat ibunya. Dia berusaha untuk tetap tegar, meskipun rasa rindu dan kesedihan itu masih menyelimuti hatinya. Dengan perlahan, Atte melanjutkan makanannya yang sempat tertunda, mengunyah pelan sambil berusaha mengalihkan pikirannya.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Nada dering WhatsApp terdengar, memecah keheningan di ruangan itu. Atte melirik layar ponselnya dan melihat ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dia terdiam sejenak, merasa sedikit ragu. Namun, rasa lelah yang masih menyelimuti membuatnya tidak terlalu peduli. Dia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut, berpikir mungkin itu bukan hal penting.
Setelah meletakkan piring bekas makannya, Atte mengambil obat dari meja dan menelannya dengan sedikit air. Setelah itu, dia mengambil salep yang sudah disiapkan di meja samping ranjang, mengoleskannya perlahan pada luka bakar di tangannya. Sakitnya masih terasa, tapi dia tahu itu akan segera sembuh. Dia hanya berharap lukanya bisa cepat kering, agar bisa kembali bekerja di rumah sakit tanpa gangguan.
Atte duduk di tepi ranjang, menatap tangannya yang sudah dibalut salep. Pikirannya melayang, berusaha untuk fokus pada pemulihan dan tanggung jawab yang menunggunya. Meskipun masih ada perasaan berat di hati, dia tahu dia harus tetap melangkah ke depan.
Setelah menaruh ponsel dan meminum obatnya, Atte duduk di tepi ranjang sambil menatap keluar jendela, pikirannya masih melayang. Namun, tiba-tiba dia teringat akan panggilan yang masuk tadi. Dengan sedikit rasa penasaran, dia mengambil ponselnya kembali dan membuka layar.
Ada tiga pesan masuk dari nomor yang sama, nomor yang tadi menelpon. Atte ragu sejenak sebelum membukanya.
Pesan pertama berbunyi, "Hai, Dok, bagaimana keadaannya?"
Dia merasa sedikit bingung, tidak langsung mengenali siapa pengirimnya. Kemudian, dia membuka pesan kedua, "Saya Arvian yang menangani Dok dua hari yang lalu."
Saat membaca pesan itu, ingatannya mulai kembali. Arvian adalah dokter yang sempat menangani luka di tangannya dua hari lalu di rumah sakit. Atte menghela napas lega, sedikit merasa lebih tenang karena pesan itu bukan dari orang asing. Namun, rasa canggung mulai muncul karena dia belum sempat membalas.
Dia menatap layar ponselnya, berpikir sejenak sebelum akhirnya membalas pesan Arvian dengan singkat, "Hai, dr. Arvian, terima kasih sudah menanyakan kabar saya. Sekarang saya sudah sedikit membaik."
Saat Atte mengetik pesan balasan untuk dr. Arvian, dia merasa bingung memikirkan bagaimana dokter tersebut bisa mendapatkan nomornya. "Apakah mungkin dari Suster Maudy?" gumamnya pada dirinya sendiri. Namun, dia segera membantah pikirannya, merasa bahwa Suster Maudy tidak akan membagikan nomor pribadi tanpa izin.
Kemudian, pikirannya melayang ke arah sahabatnya, Faza. "Ah, mungkin dari Faza," gumamnya, mulai merasa yakin dengan dugaan tersebut. dr. Arvian adalah dokter spesialis kulit, dan Faza juga seorang dokter spesialis kulit. Mungkin Faza yang memberikan nomor kontaknya kepada Dr. Arvian, terutama setelah mengetahui kondisi Atte.
Tak lama setelah mengirimkan balasan, Atte menerima notifikasi baru dari dr. Arvian. Pesan itu berbunyi, "Syukurlah kalau Dokter sudah membaik. Sebelumnya, maaf jika saya lancang meminta nomor Dokter kepada dr. Faza. Saya khawatir dengan kondisi Anda, apalagi luka di tangan Anda. Semoga cepat sembuh."
Membaca isi pesan dari dr. Arvian, Atte merasa canggung sekaligus tersentuh. Rasa khawatir yang ditunjukkan oleh dokter itu membuatnya merasa dihargai. Ternyata, dr. Arvian benar-benar peduli dengan kondisinya dan bahkan meminta nomor dirinya kepada Faza karena kekhawatiran tersebut.
Sejenak, pikiran Atte melayang ke arah kemungkinan-kemungkinan yang mengganggu. "Apakah dr. Arvian hanya modus saja atau memang tertarik pada aku?" gumamnya dalam hati. Namun, dia segera menepis semua dugaan itu.
“Tidak mungkin,” pikir Atte, mencoba menenangkan dirinya. “Dokter Arvian sepertinya terlalu tampan dan profesional untuk hanya sekadar tertarik pada gadis rumit seperti aku.” Dia merasa bingung dengan pikirannya sendiri yang kerap muncul di tengah kondisi emosionalnya.
Atte memutuskan untuk fokus pada pemulihannya dan berusaha tidak membiarkan pikirannya terlarut dalam spekulasi. Dia berusaha untuk tetap realistis dan menganggap bahwa kepedulian dr. Arvian hanyalah bagian dari profesionalisme dan rasa tanggung jawab seorang dokter terhadap pasiennya.
Atte menulis balasan singkat dengan penuh rasa terima kasih, "Terima kasih, Dokter Arvian. Semua ini berkat bantuan Anda." Pesan tersebut segera dibaca oleh Dr. Arvian, dan tidak lama kemudian, sebuah balasan muncul di layar ponselnya.
"Jika ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya," tulis Dr. Arvian, dengan nada yang tetap profesional namun penuh perhatian.
Mendapatkan pesan itu, Atte merasa dihargai dan diberi dorongan moral. Dia tersenyum kecil, merasa lega bahwa ada seseorang yang peduli dan siap membantu jika diperlukan. Meskipun hubungan mereka hanya sebatas profesional, kepedulian Dr. Arvian membuat Atte merasa lebih tenang dan yakin bahwa dia berada di tangan yang tepat dalam proses pemulihannya.
Atte kembali ke rumah sakit dengan semangat baru, meskipun fisiknya masih dalam tahap pemulihan. Setiap langkahnya terasa ringan karena sambutan hangat dari rekan-rekan medisnya yang sudah menantikan kembalinya dia. Suasana penuh keceriaan menyambut Atte, seolah menghapus segala kelelahan yang dia rasakan.
Suster Maudy, yang tampak lebih lega setelah Atte kembali, mendekati dan menyambutnya dengan senyum tulus. “Selamat datang kembali, Dokter Atte. Kami sangat senang melihat Anda kembali beraktivitas di sini.”