Setelah mengirim pesan itu, Atte meletakkan ponselnya di samping, hatinya penuh dengan pertanyaan. Apa yang akan terjadi setelah makan malam ini? Pikirannya berputar-putar, mencoba meraba arah dari pertemuan tersebut. Beberapa menit kemudian, suara notifikasi terdengar, menggetarkan ponselnya. Nama dr. Arvian muncul di layar, membuat dadanya berdebar kencang. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka pesan itu.
"Pukul 19.00 kita bertemu di Resto Selasih Nusantara," tulis dr. Arvian, mengacu pada restoran unik yang terkenal dengan masakan tradisional Indonesia yang otentik dan suasananya yang hangat.
Atte menarik napas panjang. Pertemuan ini mungkin akan menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini bersemayam di pikirannya, atau malah menambah kebingungan baru.
Atte masih duduk di tepi tempat tidurnya, ponsel tergeletak di samping, sementara matanya terus menatap kosong ke depan. Udara di kamar terasa sedikit lebih berat setelah notifikasi dari dr. Arvian tadi. Waktu berjalan lambat, dan setiap menit terasa seperti seribu pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya. Kenapa Arvian memilih Resto Selasih Nusantara? Tempat itu bukan sembarang restoran, terkenal dengan atmosfer yang hangat dan tenang, sempurna untuk percakapan yang personal—bahkan intim.
Setelah beberapa menit menimbang, Atte meraih ponselnya kembali. Tangannya sedikit bergetar saat ia membaca ulang pesan dari Arvian. Ia menggigit bibirnya, ragu. Rasa penasaran bercampur dengan perasaan aneh yang terus tumbuh setiap kali nama Arvian muncul di pikirannya. Apakah ini hanya makan malam biasa, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan rekan kerja?
"Baik, sampai nanti," balas Atte akhirnya, mengetik dengan cepat sebelum ia bisa berubah pikiran.
Setelah pesan itu terkirim, ada jeda hening yang panjang. Atte menaruh ponselnya di atas meja dan berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, fokusnya tetap tak bisa lepas dari pertemuan yang akan datang. Selama ini, Arvian selalu ada—dalam bentuk perhatian-perhatian kecil. Mulai dari pesan dukungan lewat WhatsApp, cokelat yang selalu tiba di saat yang tepat, hingga senyum hangat yang ia berikan setiap kali bertemu di rumah sakit. Namun, Atte selalu berusaha menahan diri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perhatian dari seorang rekan kerja. Tapi semakin lama, semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang mulai berkembang dalam hatinya.
Dai teringat kembali pada Agga, nama yang selama ini mendominasi setiap detak jantungnya. Kenangan-kenangan bersama Agga masih sangat segar di benaknya, seperti baru kemarin mereka menghabiskan waktu bersama. Agga adalah bagian dari dirinya yang sulit dilepaskan, meskipun kenyataan berkata lain. Atte tidak mencari pengganti, namun kehadiran Arvian membuat hatinya mulai bertanya-tanya. Apakah dia siap untuk membuka diri lagi?
Atte menoleh ke cermin di sudut kamar. Wajahnya terlihat sedikit lebih tegang dari biasanya, mungkin karena campuran rasa penasaran, gugup, dan ketidakpastian. Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Ini hanya makan malam,” gumamnya pada diri sendiri, berusaha merasionalisasi situasi. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu ini lebih dari sekadar makan malam biasa. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—baik bagi dirinya maupun bagi Arvian.
Waktu berlalu, dan Atte mulai mempersiapkan dirinya. Dia membuka lemari, memilih pakaian yang sederhana tapi rapi. Gaun berwarna biru muda dengan potongan sederhana tampak menjadi pilihan yang tepat. Tidak terlalu mencolok, tapi tetap elegan. Ia mengikat rambutnya dengan rapi, memberikan sedikit sentuhan lipstik, lalu menatap refleksi dirinya di cermin. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya—antara siap dan tidak siap.
Saat semuanya sudah siap, Atte melirik jam di meja—masih ada waktu sebelum pukul 19.00, namun perasaan gugup membuatnya ingin segera berangkat. Dia duduk sebentar di tepi tempat tidur, mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Namun, bayangan tentang apa yang mungkin terjadi malam ini terus menghantui. Apakah Arvian akan mengatakan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan? Apakah makan malam ini akan membawa mereka ke arah yang lebih serius?
Tak lama, notifikasi lain muncul di ponselnya. "Jangan lupa, hati-hati di jalan ya," pesan singkat dari Arvian. Atte tersenyum tipis, memperhatikan betapa perhatian Arvian selalu ada, meskipun dalam hal-hal kecil.
Dengan napas yang dalam, Atte bangkit dan bersiap untuk pergi. Langkahnya ringan, namun hatinya terasa berat. Apakah makan malam ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru, atau malah mengungkap hal-hal yang selama ini ia hindari? Hanya waktu yang bisa menjawab, dan malam ini mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya yang tak pernah ia duga.
Langit sore mulai berubah warna menjadi oranye kemerahan ketika Atte keluar dari rumahnya berpamitan kepada tante Mayang dan Zeana. Jalanan menuju Resto Selasih Nusantara tampak lebih lengang dari biasanya, namun hatinya masih penuh sesak dengan perasaan yang bercampur aduk. Sementara mobilnya melaju, pikirannya kembali menerawang ke peristiwa-peristiwa yang telah membawa dia sampai ke titik ini.
Selama ini, hubungannya dengan Arvian selalu berada di batas profesional, meskipun perhatian-perhatian kecilnya sering kali membuat Atte berpikir dua kali. Dr. Arvian bukan hanya kolega yang andal, tetapi juga seseorang yang selalu hadir ketika Atte merasa terjebak di dalam dunianya sendiri—dunia yang sejak lama masih dihantui oleh bayangan Agga. Setiap pesan dan tindakan Arvian, meski terkesan sederhana, selalu membawa rasa hangat dan nyaman. Namun, Atte tak pernah benar-benar yakin apakah perhatian itu murni karena profesionalisme atau ada perasaan lain yang tersirat di baliknya.
Mobilnya berhenti tepat di depan Resto Selasih Nusantara. Atte menghela napas panjang, menatap pintu masuk restoran yang tampak hangat dengan lampu-lampu berwarna kekuningan menghiasi terasnya. Resto itu baru beberapa bulan grand opening dan menghadirkan suasana yang bukan hanya karena makanan Indonesia yang autentik, tapi juga karena suasananya yang nyaman, sering kali menjadi pilihan bagi mereka yang ingin berbicara serius, atau bahkan berbagi momen-momen istimewa.
Atte keluar dari mobilnya dengan langkah hati-hati. Dia menyesuaikan letak tas di pundaknya dan merapikan sedikit gaunnya sebelum berjalan masuk. Begitu melewati pintu, aroma rempah khas masakan Indonesia langsung menyambutnya, memberi sedikit rasa tenang di tengah kegugupan yang masih menguasai pikirannya. Seorang pelayan menghampirinya dan mengantarkan Atte ke sebuah meja di sudut ruangan, di mana Arvian sudah menunggunya.
Dr. Arvian duduk dengan sikap tenang, mengenakan kemeja putih bersih yang menambah kesan profesional sekaligus santai. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat Atte mendekat. "dr. Atte, bagaimana kabar anda?" sapanya sambil berdiri dan menyambut Atte dengan hangat.