Malam itu menjadi malam yang paling Atte ingat. Langit gelap dihiasi bintang-bintang yang berkelip, seolah menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang yang telah ia tempuh. Di dalam kesunyian malam, pikiran Atte melayang ke masa lalu, mengingat setiap langkah yang pernah ia ambil, setiap keputusan yang membawa rasa kecewa dan luka yang masih membekas di hatinya.
Tak mudah baginya untuk sampai di titik ini. Ada hari-hari di mana dunia terasa begitu menyesakkan, di mana keputusasaan menyelimuti setiap sudut pikirannya. Rasa kecewa datang dari harapan yang tak pernah terwujud, dari orang-orang yang ia percaya tapi kemudian mengkhianati kepercayaannya. Luka-luka itu begitu dalam, seperti guratan yang tak kasatmata tapi terasa di setiap detik kehidupan.
Namun, di balik semua itu, Atte tahu bahwa perjalanan inilah yang membentuk dirinya. Setiap luka mengajarkan ketegaran, setiap kekecewaan melatih kesabaran. Malam itu, ia berdiri di titik di mana ia bisa melihat ke belakang dan berkata, "Aku bertahan." Meskipun hatinya pernah remuk, malam itu menjadi saksi bahwa ia telah bangkit, lebih kuat dan lebih bijaksana dari sebelumnya.
Malam itu, setelah pertemuan dengan dr. Arvian, Atte terdiam di balik jendela kamarnya, memandangi kerlip lampu kota yang berkilauan. Hatinya dipenuhi berbagai rasa yang sulit dijelaskan. Pertemuan tadi begitu berarti, seolah menutup satu babak dalam hidupnya yang penuh dengan perjalanan emosional.
Selama ini, Atte merasakan banyak kekecewaan, kehilangan, dan ketidakpedulian dari orang-orang yang seharusnya selalu ada untuknya. Namun, malam ini, ia menyadari bahwa semua itu bukanlah tanpa alasan. Tuhan telah merangkai setiap kepedihan, air mata, dan kerinduan dalam hidupnya untuk membentuk dirinya menjadi lebih kuat, lebih tabah.
Rindu terhadap mamanya tidak pernah hilang. Hampir delapan tahun berlalu sejak ia dikirim ke Jakarta untuk membantu mengelola bisnis kopi ayahnya. Dalam perjalanan itu, ia menemukan hadiah terbesar yang tidak pernah ia duga sebelumnya: menjadi seorang dokter. Semua itu tak lepas dari peran mendiang ayahnya.
Perceraian kedua orang tuanya sempat membuat hatinya hancur. Ia sering merasa seolah dirinya adalah penyebab retaknya hubungan mereka. Namun, malam ini, Atte menyadari bahwa itu adalah bagian dari garis takdir yang telah Tuhan Yesus gariskan. Bagas, ayahnya, mungkin gagal menjadi suami bagi mamanya, tetapi ia berhasil menjadi ayah terbaik untuk Atte. Meskipun ayahnya sudah tiada, warisan kasih sayangnya terus hidup dalam setiap langkah yang Atte ambil.
Dengan air mata menggenang, Atte berbisik dalam hati, "Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Tuhan." Malam itu, Atte merasa damai—dengan masa lalunya, dengan dirinya sendiri, dan dengan masa depan yang masih penuh misteri.
Atte menutup matanya sejenak, meresapi perasaan yang bergejolak di dadanya. Malam yang hening ini memberikan ruang bagi pikirannya untuk mengalir bebas, mengenang kembali setiap momen penting dalam hidupnya. Ia teringat saat mamanya dengan berat hati mengantarnya ke Jakarta, berharap kehidupan baru di sana akan membawa kebaikan bagi mereka semua. Meski terasa seperti paksaan saat itu, kini Atte mengerti bahwa keputusan mamanya adalah demi masa depan yang lebih baik.