Laut terdiam, mengamati berbagai makanan ringan di rak minimarket. Sebenarnya dia paling anti memakan makanan seperti ini, tetapi karena Moli hendak ke rumahnya untuk perdana alhasil dia membelinya.
Mungkin mengambil semua jenis yang tersedia adalah solusinya. Segera dia membawa ke kasir dan membayarnya. Tampak sang kasir memperhatikan Laut, seperti mengenali.
"Ada diskon untuk cokelat nya, apa mau sekalian?" tawar cowok itu.
Laut mengangkat wajahnya yang tadi memandangi layar ponsel. Di tatapnya cowok di depannya itu dengan datar. "Nggak."
Cowok itu tersenyum lantas segera menghitung total belanja sang gadis. "Semuanya dua ratus lima belas ribu."
Laut segera menunjukkan kartunya. Namun, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan cowok itu. Ada getaran aneh yang tercipta, segera laut menepisnya. Ada yang aneh, pikir Laut.
"Senang berjumpa kembali."
Laut tak mengerti kenapa cowok itu mengatakan hal seperti itu. Padahal diingatannya tidak ada sekilas memori tentangnya. Mungkinkah dia pernah berjumpa seperti yang dikata cowok itu?
***
Ruangan yang semula bersih kini laksana tempat pembuangan akhir yang mengenaskan. Sampah makanan ringan tergeletak begitu saja, susu kotak satu dus kandas laksana dahaga yang kekeringan.
Ketiga cowok sang pelaku asyik bermain game, padahal jarum panjang sudah di angka satu. Tidak terlihat wajah mengantuk dari mereka, tidak ada pula yang menyuruh mereka untuk lekas tidur.
"Pernah nggak, sih kalian tiba-tiba ngerasain takut?" Pertanyaan random dari Met yang kini mulai bosan menyaksikan kedua sahabatnya bermain. Dia sudah kalah lebih dulu, alhasil dia hanya menjadi penonton tanpa bayaran.
"Takut dalam arti yang gimana, nih?" Malik menanggapi pertanyaan Met dengan pertanyaan lagi. Terlihat dia meringis karena hampir kalah oleh Jingga. Sungguh, malam ini kemenangan harus di tangannya. Agar dia kembali memuncaki klasemen di antara mereka bertiga.
Met mengambil bantal, menaruhnya di pangkuannya. "Ya, takut tiba-tiba gitu," ucap Met masih misterius.
"Ya karena apa, Met." Malik mulai geram akan perkataan Met. Kalau saja malam ini dia kalah maka dipastikan orang yang akan bertanggung jawab adalah Met.
"Tadi pas gue ambil, tuh susu kotak di dapur gue ngeliat hantu berwarna putih," tutur Met sambil bergidik.
Jingga mengangguk-angguk, sepertinya dia mulai paham mengapa sekembalinya Met dari dapur wajah pucatnya lah yang terpampang.
Teriakan frustrasi keluar begitu saja dari mulut Malik. Dirinya harus memuji permainan Jingga malam ini yang begitu rapi. Malik beranjak meraih air dingin dan segera meneguknya. "Mbak kunti kali, Met," ucap Malik yang masih mau menanggapi cerita Met tentang hantu.
Jingga duduk di atas ranjang, mulai berkutat dengan ponselnya. Mengecek apakah ada sesuatu yang penting. Sedangkan setelah menuntaskan minumnya, Malik duduk di samping Met yang masih terdiam. Dia menepuk pundak Met. "Mana ada, sih Met hantu gentayangan di rumah orang kaya. Lagian, nih semisal yang lo liat tadi beneran hantu tapi, kan lo masih utuh. Tidak kekurangan sesuatu apa pun, jadi lupakan saja."
"Dapet ilmu dari mana kalau hantu nggak bakal gentayangan di rumah orang kaya?" tanya Met sambil cemberut. Dia benar-benar takut, dia butuh sandaran. Namun, kedua sahabatnya itu sama sekali tidak peka.