Laut memasuki rumah, keadaan di luar gerimis. Untung saja dia tadi menerima ajakan Moli untuk pulang bersama. Kalau tidak, maka dipastikan akan terjebak hujan dan berakhir hingga petang nanti.
Entah apa yang membuat keadaan rumah tidak ada pencahayaan. Laut mengambil inisiatif menghidupkan saklar. Akan tetapi, lampu tidak kunjung menyala. Sambaran guntur di luar sana membuat suasana ruang tamu dan seisi rumah kian mistis.
"Bi Hurrah!" panggil Laut sambil meraba sekitar. Dia takut kalau-kalau ada benda tajam dan gampang pecah di sekitar.
Masih tidak ada sahutan. Pikiran Laut mulai berkelana jauh tidak terhingga. Meskipun pikirannya mencoba tenang namun hatinya berkata lain.
"Bi!" panggilnya sekali lagi. Suara guntur masih bergemuruh.
Keringat dingin mulai merambat, ketakutan Laut kian menjadi. Dia terbiasa sendiri, namun tidak dengan kegelapan yang sunyi ini. Dia butuh seseorang sekarang yang dapat menghidupkan lampunya.
Terdengar suara ketukan pintu, Laut sempat ragu untuk membukanya atau tidak. Ada dua kemungkinan, itu Bi Hurrah atau orang lain. Dengan sisa keberanian yang seperti debu, Laut mulai mendekati pintu. Sejenak sebelum membukanya dia merapalkan doa. Berharap yang di luar sana bukan orang jahat.
Sambil menutup mata, Laut membukanya. Sampai lima detik, tidak ada suara. Membuat Laut kian panik.
"Ngapain, sih lo?"
Laut menghela napas lega. Biar dia tidak menyukai Met, tetapi kali ini dia sangat berterima kasih kepadanya.
"Kok wajah lo pucat." Kini giliran Malik yang bersuara.
Ketiga cowok itu menatap Laut penuh tanda tanya. Sedang yang ditatap masih mengatur napas dan pikirannya.
"Rumah lo gelap banget. Nggak bayar listrik lo, ya. Heran rumah bak istana tapi nggak mampu bayar," kata Met.
Sebenarnya kedatangan mereka bertiga tanpa adanya perencanaan. Mereka yang terkena apes karena mobil Malik mogok di tengah hujan bingung akan berteduh ke mana. Berkat kemampuan Met yang luar biasa, berakhir lah mereka di sini.
"Boleh masuk nggak? Capek tau, mana dingin," ucap Met lagi.
Laut mengangguk kemudian mempersilakan mereka. Ketiga cowok itu bingung mendapati suasana gelap gulita. Ditambah Laut yang masih diam dan masih mengenakan seragam nya. Ketara sekali dia baru saja menginjakkan kaki di rumah.
Malik menyenggol Jingga untuk bertanya. Namun, Jingga mengangkat bahunya.
"Lo benaran nggak bisa bayar listrik?" tanya Met masih tidak habis pikir.
"Gue nggak tau, tiba-tiba rumah udah gelap pas gue masuk."
"Lo sendirian di rumah?" Kini giliran Malik yang membuka suaranya. Dalam lubuk hati cowok itu sedikit iba. Bagaimana kalau mereka tidak datang, kasihan sekali Laut.
"Ada Bi Hurrah, tapi gue nggak tau sekarang ada di mana."
Jingga mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan flash lalu diikuti oleh Met dan Malik. Mereka berjalan menuju sofa di ruang tamu.