LAUT DAN UDARA

ajitio puspo utomo
Chapter #2

Menjadi Penyair

Selepas membaca karya Maulana Jalaluddin Rumi seorang sufi yang masyhur pada jamannya itu, aku langsung takjub. Bagaimana tidak! puisi-puisi yang dibuat olehnya adalah perenungan yang mendalam tentang pengembaraannya--menyelami arti cinta Tuhan kepada makhluknya. Dia telah berhasil menuju kefana'an tentang cinta sejati. Cinta sendiri bukan hanya mengartikan antara manusia menyukai manusia lain, tidak! seolah-olah cinta hanya berlingkup pada hal-hal seperti itu. Disini Rumi memasuki ruang yang lebih terang lagi dari sinar cinta itu sendiri, ruang dimana hanya ada tembok putih yang amat bersih. Seseorang yang memasuki ruangan itu hanya bisa merasakan keheningan yang hangat, entah mengapa keheningan itu terasa hangat bagi yang memasukinya, bagi para pecinta sepertinya untuk merasakan cintaNya.

"Pecinta dalam keheningan nampak lebih indah, sebagaimana lautan dalam gemuruh lebih indah. Oleh karena cerminmu lebih indah, penjelasan pun dalam keheningan"--Rumi

Kata-kata seperti itu yang membuatku tak bisa pergi dari buku yang telah kubaca pada pojok perpustakaan di Madrasah Aliyah, selepas istirahat dengan Rofi. Seseorang yang dermawan dikelasku dulu, dia putera dari Pak Ilyas mantan pejabat DPR daerah. Lucunya, tak sama seperti pejabat-pejabat lain yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit dan favorit agar kelak, nanti ia akan dapat meneruskan betapa nikmatnya hidup di sanjung jika menjadi pejabat nanti, lalu sekolah yang kau tempati dulu adalah sekolah elit yang favorit. Ataupun karena banyaknya relasi yang dimiliki seorang pejabat pada lembaga pendidikan sehingga memudahkan anak-anak mereka yang tadinya tak mampu masuk sekolah tersebut karena passing grade yang terlalu tinggi, bisa masuk. Tidak! Pak Ilyas tidak sama dengan mereka, jikalau Rofi ingin masuk pasti dia sudah masuk dengan usaha dan perjuangannya sendiri, sebab, asal tau saja, Rofi adalah siswa tercerdas yang pernah dimiliki Madrasah Aliyah kami. Walau dia sendiri tidak mesantren namun, jika sudah disuruh menghafalkan pasti dalam hitungan menit dia sudah hafal. Perlu diketahui Madrasah Aliyah kami tidak mengkhususkan hanya para santri saja melainkan warga umum yang ingin anaknya mengetahui lebih dalam tentang agama, sekaligus ilmu umum juga dapat masuk.

Dan satu lagi hal tentang Pak Ilyas mengapa memaksakan rofi harus masuk MA itu, jawabannya hanya satu rumahnya yang dekat dengan sekolah, hanya ditempuh dengan satu kali naik angkot (angkutan umum daerah). Mungkin itulah sebabnya mengapa pak ilyas tak mau menyekolahkan Rofi di sekolah elit yang favorit, dan padahal belum tentu juga siswa-siswi disana mengerti agama. Pak Ilyas adalah orang yang pintar dalam mendidiki anak, terkait bagaimana menempatkan anak untuk mengetahui apa arti 'dunia dan akhirat'.

*****

Kurang lebih lima belas menit aku melihat buku-buku di rak yang berjatuhan dirumah Bu Sani, bibi dari Fatur yang agak judes tatapannya namun ramah kepada siapa saja, juga kepadaku, umurnya memang sudah setengah abad lebih tiga tahun, tapi wajahnya hanya ada sedikit kerutan. Bagi orang yang baru pertama kali melihatnya mungkin tebakan mereka adalah "Ibu ini pasti umur 38th an" tapi itu semua salah. Mengelus Punggung Singa, itulah buku puisi sufi agung Maulana Jalaluddin Rumi, buku yang membuatku bengong selama lima belas menit, buku yang membuatku flashback di MA dengan rofi 3th lalu selepas istirahat dikantin lalu menuju ruangan perpustakaan.

"Bu, itu buku puisi ya?" aku memberanikan diri untuk bisa memintanya

"Iya, kenapa?"

"Sudah tak terpakai?"

"Buku ndak ada yang ndak kepakai" jawab bu sani yang halus untuk menolak permintaanku, namun tak berhenti disitu. Ini adalah ujian bagiku, bagaimanapun aku harus mendapatkannya.

"Hehe, maksudnya kalo sudah tidak dibaca orang lain, untuk saya saja bu, saya mau membacanya."

"Tuh kan bener, buku ndak ada yang ndak kepakai" jawabnya

"(aku hanya tersenyum bengong, mengapa bu sani melemparkan pernyataan itu lagi)"

"Ini ambil, kan kepakai sama kamu yang mau membacanya" tambahnya

"Iya makasih bu (sambli tersenyum sedikit namun bahagianya yang tak terhitung)."

Pernyataan tadi membuatku heran dan takjub, mengapa tidak! Bu Sani seolah-olah telah mengetahui bahwa akan ada seseorang yang membacanya, yaitu aku. Memang bibi fatur yang satu ini diluar nalar, atau mungkin karena efek membaca beliau yang tak bisa dikalahkan siapapun, perlu diketahui sewaktu aku membantu untuk memindahkan barang-barang dirumahnya sebab, dua hari lagi ia akan pindah ke kota tidak menetap di desa ini lagi. Dirumahnya lebih dari 60%nya adalah buku, sudah hampir sama dengan perpustakaan, hanya saja yang membedakan adalah disini ada ruang makan, kasur dan kulkas serta perabot rumah tangga yang lain. Aku memang terkagum-kagum dengan sosok satu ini, mungkin karena kecintaannya membaca buku. Bukan lagi kertas dan tinta yang mampu dia baca melainkan Bu Sani sudah bisa membaca gerak-gerik tingkah laku seseorang, karena efek dari maniak bacanya-- output dari semua itu. Itu berarti, bahkan menurutku Bu Sani sudah bisa membaca diatas air. Diluar Nalar!!!

Fatur tetap mengemasi perabot-perabot bibinya yang dimasukkan kedalam karung, sedangkan aku lebih memilih mengemasi buku-buku Bu Sani, sesekali membacanya walau hanya judulnya saja tetapi itulah ladang emas bagiku. Aku memang menyukai sastra terlebih lagi puisi, menurutku ibu dari segala sastra adalah puisi, sama halnya dengan buku-buku yang aku kemasi ini, ibu dari mereka adalah bu sani bibi dari Fatur karibku.

Tok...tok...tok "Assalamualaikum" kami berhenti sejenak, sebab Pak Hardi masuk membawa teng tengan tas hitam seperti mafia rusia dalam film XXX yang diperankan Vin Diesel, yang ceritanya tak sempat kutonton lebih lama sebab mati lampu se-desa minggu lalu. Pak Hardi adalah suami dari bu sani, dia selalu mengenakan sendal swallow jika kemanapun, menurutnya sendal ini adalah pencerminan dari kesederhanaan orang-orang indonesia.

"wa'alaikumsalam" jawabku, Fatur dan Bu Sani

Dia langsung menghampiri kami

"Sudah makan dek?"

Lihat selengkapnya