Kebudayaan adalah suatu cara untuk menyalurkan emosi kegembiraan atau kesedihan dalam hidup yang berkembang, dari sebuah kelompok manusia yang mewariskannya hingga ke generasi berikutnya, terus seperti itu. Terbentuknya budaya bisa dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, karya seni dan sebagainya. Contoh halnya di indonesia, yang orang-orangnya mempunyai kebudayaan halal bi halal dimana, setiap orang akan meminta maaf kepada para kerabatnya selepas hari raya, namun ada juga yang lebih primordialis daripada halal bi halal, dalam taraf yang jauh lebih ekstreme dan biasanya ada pada setiap daerah di indonesia. Disini, setiap warganya adalah penganut islam dan ketika ada salah satunya yang meninggal akan ditahlilkan selama tujuh hari berturut-turut, ataupun kalau yang telah meninggal telah mencapai hari-hari yang telah terhitung misal empat puluh hari, seratus hari. Tahlil sendiri merupakan budaya islam nusantara yang mengirimkan doa-doa pada orang yang telah meninggal. Ini merupakan budaya agama yang ada pada negeri ini khususnya di setiap daerah. Dan sudah tiga hari Fatur, Jalaluddin dan Rofi tahlilan dirumah Mang Kamsar, istrinya Bu Sinta berpulang ke rahmatullah dipanggil dalam keadaan yang baik--khusnul khotimah--sehabis wudhu ingin sholat isya, posisi istri Mang Kamsar duduk, bukan duduk bersila melainkan duduk seperti selir yang menghadap rajanya tunduk dengan kedua kaki yang dilipat kemudian diatasnya diduduki atau seperti duduknya orang-orang jawa kebanyakan, lantas sehabis membuka pintu kamar dirumahnya mang kamsar kaget bukan kepalang karena melihat istrinya yang tak bergerak sedikitpun, istrinya tak ada penyakit bawaan apapun, badan sehat-sehat saja, tak lemas tak capek, sempat dilarikan ke rumah sakit namun sudah sampai disana nyawanya sudah tak tertolong, dokter hanya memvonis bahwa ini adalah serangan jantung, malangnya mang kamsar belum mempunyai keturunan.
Aku, Fatur dan Rofi selepas menunaikan sholat isya berjalan menuju rumah mang kamsar. Rofi kembali kesini karena sudah lulus dari kuliahnya, predikat cumlude disandangnya, dia bilang ingin tinggal selama beberapa bulan disini, sebab adik dari bapaknya adalah warga desa ini.
Kami berjalan bertiga lewat rumah kosong bu sani yang sudah pindah minggu lalu dan berpapasan dengan Kyai Sunar, wajahnya semakin menentramkan, seperti efek brightness, seakan cahaya-cahaya hinggap di kedua matanya lalu menyebar layaknya bom nuklir pada hidung dan pipinya, Kyai Sunar adalah leader dari tahlillan ini dan dia pun sudah kembali dari acara di jawa tengahnya, mungkin itu efek keramat dari acara yang diikutinya sebab, menurutnya disana ia memperoleh ijazah dari para kyai sepuh yang ia temui, wallahualam.
Melihat Kyai Sunar berjalan aku lalu bersalaman dan mencium tangannya, diikuti fatur dan rofi
"Assalamualaikum, pak kyai" serempak kami bertiga
"Wa'alaikumsalam,"
"Bareng pak kyai" tambahku
"ayo, dek"
Kami berempat berjalan bersama menuju rumah mang kamsar, dengan sarung kami yang ditiup-tiup angin membuat kaki-kaki kami kesulitan berjalan, terkadang terjerembab ke tengah diantara kaki-kaki kami sendiri, malam itu sangat berangin dan berdebu sehingga sembari berjalan kami menutup mata anehnya, Kyai Sunar berjalan biasa saja walaupun sarung yang dikenakan menari-nari disentuh angin dan baju batik beliau agak kedodoran tapi tak ada debu satupun yang membuat dia menutup matanya, memang keramat kyai kampung satu ini. Malam itu kyai sunar menceritakan bahwa pada waktu ia menghadiri acara rapat para masyayikh di jawa tengah, suasana disana seperti seribu satu malam, indah, bulan tak malu menampakkan wajahnya, bintang berkelipan, dan rasanya seperti di negeri dongeng tuturnya. Mendengar hal itu rofi menjadi penasaran dan dia menanyakan