Malam itu tak bisa berhenti memikirkannya, tak bisa tidur tak pula makan hanya mampu menulis puisi-puisi panjang untuk menggambarkan kemesraan momen itu. Seperti melihat aurora borealis dengan cahaya hijau, biru, kuning, merah, jingga dihiasi titik-titik bintang kemudian dibalut warna langit yang agak biru dimalam hari, indah, indah dan indah. Aku kembali menemukan cinta, sejak lulus pesantren cintaku hanya pada guruku, kyaiku bukan pada santriwatinya mengapa? karena tersekat oleh peraturan yang amat ketat adapun jarak dari pesantren putra ke pesantren putri bisa ditempuh dengan jarak yang tak satu atau dua kilometer, jaraknya bisa puluhan kilometer. Tapi disini kutemukan kembali cinta yang hangat lewat tatapan yang tak disengaja. Menurut rumi
"Mustahil memang mempunyai cinta namun tak punya hati. Namun untuk apa punya cinta jika tak punya hati"
Disini aku mewakili kata-kata itu, aku memiliki cinta namun aku belum mampu memiliki hati--hatinya--seorang yang dulu aku lihat sewaktu malam puncak 17 agustus.
Keesokannya aku mengingat-ingat lagi siapa namanya, yang aku tau hurufnya diawali dengan huruf H, Hilda, Hikma, Hafsah, Hanum aku tak tahu, aku mengeja nama-nama itu dalam ingatanku lalu Bapak mengganggu konsentrasiku sebab aku disuruh berangkat menggantikan bapak yang sedang kecapean karena sudah seminggu dia terima tawaran lembur dari pt nya. Sebagai seorang anak yang patuh aku mengiyakan saja, aku sering menggantikan bapak bekerja sebagai kurir sebab bapak sudah senior dan menyatu dengan HRD di pt itu, jika kurir yang lain mungkin takkan boleh digantikan pekerjaannya dengan anaknya tapi bapak tidak, dia diberi hak prerogatif sama seperti presiden jika membuat sebuah keputusan. Bapak diberi hak itu oleh HRD pt itu karena keseniorannya tapi tentu dengan konsekuensi yang ada.
"Din, ayo berangkat nanti telat"
"Iya, pak" jawabku
Honda grand legenda itu yang kami punya, motor klasik dengan tampilan seadanya umurnya sudah tua, umurnya sama denganku kata bapak sewaktu diberi oleh atasannya ketika aku dilahirkan oleh Ibu, waktu itu bapak berjasa memajukan pt itu, entah jasa apa itu aku tak ingin menanyakannya. Agak susah memang menyela motor itu bahkan harus lima atau enam kali sela jika ingin menghidupkan motornya barulah bisa berangkat. Aku berangkat dengan menyiapkan sarapan buat bapak hanya telor dadar aku sudah makan sebelum bapak. Dengan baju dan jaket ala kurir aku berangkat menuju kantor bapak untuk memenuhi absen, dijalan Rofi berpapasan denganku sewaktu mengambil daun pisang untuk membuat pepes jamur
"Gantiin bapak din?" tanya dia sambil memegang sebilah pisau
"Iya rof" sejenak aku meladeninya
"Nanti malam mayoran dirumah pakde ku ya?" jawab Rofi "fatur juga diajak din"
"Boleh boleh, mayoran apa rof?"
"Pepes din"
"Oke, mantap, nanti saya samper si fatur, berangkat dulu rof" jawabku sembari menge-gas tipis-tipis motor tua ini.
Jarak tempuh untuk sampai ke kantor bapak memang lumayan jauh, letaknya di jantung kota tepatnya di Jl. Pemuda sebelum lampu merah atau biasa disebut bypass, disitu tempat kerja bapak yang aku tuju. Untuk dapat sampai kesana kemacetan demi kemacetan harus dilalui sebab, bukan hanya orang-orang kurir saja yang berangkat pagi hilir mudik jika mengantar barang, orang-orang berdasi, orang-orang yang mengenakan baju safari, para kuli pabrik yang menggunakan motor ada juga yang membawa dan menyetir motornya sendiri, karyawan dan tentunya kelas-kelas kurir seperti bapak. Waktu tempuh kesana kurang lebih dua puluh menit agak lama memang apalagi dengan motor grand tua pemberian ini bahkan bisa sampai hampir tiga puluh menit.
Sesampainya disana, satpam bernama Pak Kusnari atau akrab dipanggil pak chris john, sebab, wajahnya dan perawakannya tak ada yang tak mirip semua persis sama, menurutku jika chris john bertemu dengan pak kus seperti peribasa seperti pinang dibelah dua: sama, atau seperti bercermin pada kaca tukang potong rambut yang besar kemudian menyisir-nyisir rambutnya yang rapih sehabis potong. Menyapaku
"Bapakmu sakit din?" Sapa dia, sesudah sampai aku digerbang depan