LAUT DAN UDARA

ajitio puspo utomo
Chapter #7

Menjadi Penyair Lagi

Sudah satu minggu berlalu sejak kami mengumpulkan dana untuk nadranan nanti, aku resah melihat fatur yang tak kunjung mengeluarkan SK list daftar belanjaan yang nantinya untuk membuat arak-arakan tersebut. Sebenarnya awal-awal dia sudah mengeluarkan list daftar yang akan digunakan untuk membeli bahan 'ini-itu' tapi dia tertekan sebab, tebakanku saat ini adalah karena dana yang diambil dari donasi warga desa mungkin terlalu sedikit, membuat fatur membuang jauh-jauh kertas daftar list belanjaan pertamanya. Dan dia membuat list yang baru menyeimbangkan dana dan bahan-bahan dari "ide luar biasanya". Walau agaknya sudah bisa kutebak bahan inti dari membuat arak-arakan itu adalah kayu. Dia selalu termenung dibawah pohon Muntingia Calabura dari genus muntingia famili muntingeaceae atau warga sini biasa menyebut pohon kersem yang teduh itu di sebelah kandang ayam jawa rumah keluarganya, sudah ku amati dia sampai sejauh ini: sejauh hari ini. Dalam benakku ada rasa curiga walau sedikit terhadapnya, tentang bagaimana cara fatur mengelola uang sebesar itu yang aku tau fatur bukan seorang pria-pria berdasi di lembaga pemerintahan sana dimana uang para warga masyarakat ditilep habis untuk membangun aset mereka pribadi, fatur bukan orang seperti itu dia tidak sembarangan mengemban amanah, apalagi ini inisiatifnya sendiri dia akan "babak belur" habis-habisan untuk sesuatu yang dianggapnya sebagai 'kepercayaan dari orang-orang' namun ini benar-benar membuat dia cemas dan was-was juga resah, aku tak pernah melihatnya jatuh sedalam ini.

Disitu aku sekedar bermain sembari menanyakan bagaimana kelanjutan dari nadran nanti.

"Tur, lagi apa? berat sekali kayanya pikiranmu" tanyaku sebagai pembuka obrolan itu

"Ngelamun din" jawabnya singkat

"Kenapa?"

"Dana yang kita kumpulkan belum cukup din? saya ragu" jawabnya dengan wajah menunduk resah

"Emang udah dihitung tur, coba hitung ulang"

Dia menatapku, dan kemudian menundukkan kepala lalu mendongakkannya ke langit

"Sudah din"

"Saya pernah membaca syarah hikam 'saat diberi sesuatu engkau gembira, dan saat ditolak sesuatu engkau kecewa. Maka simpulkanlah bahwa yang seperti itu adalah bukti kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu' itu bukti bahwa kita tak harus melihat bagaimana hasil akhir nanti. Apakau ingat kalimat itu sewaktu mesantren dulu?" gumamku dengan sindiran hikam yang kubaca

"dan saya juga pernah baca dari buku orang india namanya Siddharta Gautama 'yang terpenting bukanlah sampai pada tujuan, tapi melakukan sebaik mungkin."

Mendegar ucapanku dia melamun lagi tapi kali ini lain dari ekspresi lamunannya sewaktu aku baru datang tadi. Fatur hanya diam, dia seakan flashback mendengar ucapanku yang sama yang dibacakan kyai sewaktu mengaji syarah hikam di pesantren, fatur terngiang akan kata-kataku padahal aku hanya mengulang kata-kata yang telah kupelajari saja dengan menambahkan sedikit akulturasi india. Tanda-tanda seperti ini biasanya masuk langsung ke hati dan dialiri pikiran yang jernih untuk membongkar kesulitan-kesulitan yang sudah terlalu lama keruh, kemudian menjadi tindakan tanpa memandang resiko apapun sebab, dia mempunyai bekal kepercayaan dari kata-kata yang masuk melalui pikiran itu sendiri.

Fatur bangun lalu masuk rumahnya lewat pintu belakang dan meninggalkanku sendiri di pohon kersem teduh itu, wajahnya berbungah terlihat setitik senyum walau agak tumpul. Dan saat itu aku sadar dia akan kembali menjadi fatur yang bersemangat sama seperti kami mesantren dulu. Inilah kelahiran sang seniman arak-arakan. Dia mulai membuat siasat dengan secarik pulpen juga kertas yang baru ia ambil dari dalam.

"Din, optimis optimis optimis" dengan mengagetkanku dari pintu itu

"Oke"

"Saya sudah buat list bahan pentingnya saja, kekurangannya kita cari solusinya bersama-sama" imbuhnya dengan suara menggelegar layaknya petir di siang hari.

"Bagus!!!"

Dia memberikan tulisan itu padaku lalu memberitahukan bahwa yang ada pada kertas itu adalah bagian-bagian pentingnya saja. Aku membaca bahan-bahan dari daftar list tersebut hanya terdapat: cat kuda terbang dengan warna putih, merah dan oren kemudian kuas, kayu balok atau reng, tepung ketela tanah atau disini biasa disebut aci campu lalu beberapa karet ban yang harus kita beli didesa kebarepan sebab disana adalah pusat dari pembuatan karet untuk alas-alas interior mobil, sisanya kita manfaatkan bahan-bahan yang tak terpakai gumamnya.

Yang membuat heran diriku adalah mengapa fatur menempatkan aci campu kedalam bahan inti untuk membuat arak-arakan nanti, tak masuk akal memang anak itu. Tapi itulah kerja seniman membuat masterpiecenya dengan hal-hal nyeleneh, nanti kita lihat saja untuk apa ia menambahkan aci campu itu. Akupun penasaran!

Siangnya fatur menyuruh kami--para pemuda desa untuk berkumpul di gardu Rofi yang luas itu untuk memberitahu bahwa kita akan mulai mencari bahan-bahan persiapan arak-arakan hari ini juga. Terdapat beberapa tim yang dibagi untuk mencari bahan 'ini-itu' yang diinginkan Fatur dan sudah tercantum dalam listnya. Rofi, Ito, Toya dan Maskul mencari bahan yang tak ada dalam listnya dia menyuruh mereka untuk mencari bambu sebagai 'rusuk-rusuk' / 'tulang-tulang' arak-arakannya nanti. Rofi, Syahrul, Trisno dan Herman membeli ban karet di desa Kebarepan sana dan sekaligus mencari beberapa bahan di list tersebut. Sedangkan aku diberi "pekerjaan mudah" oleh sang maestro desa ini hanya disuruh membeli cat kuda terbang warna merah, oren dan putih. Mungkin ini kepekaan fatur terhadap ucapanku waktu itu, dia seakan mengistimewakanku diantara teman-teman yang lain, yang padahal ucapanku itu hanyalah repetition dari kyai pesantren dan buku india yang kubaca. Namun aku tak bisa menolak! Dan Fatur sendiri memilih untuk membantu mencari bambu di utara pemakaman desa ini. Disitu terdapat anak sungai yang jernih yang ditumbuhi pepohonan rimbun khususnya bambu pethuk. Warga desa sendiri meyakini mitos bahwa bambu pethuk adalah salah satu bambu bagi 'penghuni alam gaib' bambu yang didalamnya terdapat 'khodam/isi'. Namun tim Fatur tak fokus untuk mencari bambu itu mereka lebih memilih bambu biasa. Bambu pethuk sendiri bukan bambu yang dapat dibuat sebagai kerajinan sebab, tekstur dari ketebalan bambu itu sangat keras.

Awalnya kusangka membeli cat ini sangatlah mudah tinggal hanya membelinya di toko-toko cat atau di toko-toko material bangunan yang biasanya juga terdapat cat yang di jajakan. Namun setelah kusadari langkah demi langkah yang kutempuh untuk mencari cat ini amatlah butuh perjuangan ekstra sebab, mencari cat kuda terbang ini sangatlah menyulitkan. Hanya ada beberapa toko yang menyediakan cat ini tetapi masalahnya ada pada warna yang tak sesuai--tak diinginkan fatur sang kepala ide ini. Juga mengapa cat ini sulit didapatkan karena logo dari kemasan kaleng cat ini bergambar UNICORN dengan sayap!!! inilah mengapa cat ini sulit didapat!. Melihat unicorn saja aku belum pernah, dasar Fatur sialan!

Langkahku gontai tak terarah menuju kemana lagi, toko demi toko sudah ku datangi mataku menyalak menyilak-nyilak seisi tiap-tiap toko namun tetap tak ada. Aku berhenti sejenak melepas penatku dan menunaikan sholat ashar dimasjid al-jami' desa cideng. Aku berhenti disana sebab langkahku terhenti disana, bayangkan saja dari ujung desaku menuju desa cideng hanya dengan jalan kaki. Memang jika ada kendaraan seperti motor tak terlalu jauh dirasa ditempuhnya, namun ini hanya berjalan, berjalan!

Lihat selengkapnya