Seakan dunia ini benar-benar berpihak padaku untuk bisa mendekati Hani, sekembalinya aku kerumah tanpa sadar aku benar-benar terikat dengan kertas dan pulpen di kamarku--menjadi penyair lagi--bagai judul puisi dari penyair legendaris tanah air ini: Acep Zamzam Noor. Fatur, dia memang benar-benar teman yang membuatku menjadi pria beruntung, kepadanya kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya seluas semesta ini dan juga orang yang harus bertanggung jawab atas susah tidur yang kuhadapi malam ini. Bagaimana tidak, sepulang dari membeli cat itu aku hanya terpikir oleh Hani. Pertanyaan bapakpun aku acuhkan "Darimana? sudah makan?" aku hanya langsung bergegas mandi. Seperti angin lalu, aku memang salah tapi bapakpun tak biasanya menanyakan hal-hal kecil seperti itu malahan aku tau itu bukan sifat asli bapak. Bapak tetaplah orang angkuh namun menyanyangi anaknya bukan dengan hal-hal seperti itu, aku sendiri tak menanggapinya. Atau mungkin dia habis mendapat bonusan kerjanya sehingga sewaktu kulihat di meja makan ada bungkusan plastik hitam, dan ternyata saat kubuka itu adalah nasi padang lengkap dengan paru, sayur singkong, dendeng dan ada sambal balado juga. Rendang mewah dan sederhana.
Yang membuatku susah tidur bukan hanya tentang memikirkan Hani dilembaran-lembaran kertas putih yang membuatku mengalami insomnia love tetapi juga memikirkan kapan dia akan menemuiku atau sekedar melihat arak-arakan yang nanti akan kami buat--aku buat. Bodohnya, aku tak menanyakan 'kapan?' padanya, lebih bodoh lagi aku tak menanyakan nomer ponselnya atau WAnya untuk sekadar sms membuka chating dengannya. Tapi aku memang benar-benar anak desa yang tak tahu menahu tentang WA punya handphone canggih saja tak ada, aku sendiri hanya punya ponsel warisan Pakde Surya kakak Ibuku itupun Nokia E63 Java. Tapi, hal paling penting dari semua itu jika aku tak bertemu dengannya lagi maka akan sia-sia pembicaraan romantis dengannya sewaktu ditoko cat itu.
Pelajaran keempat: terkadang cinta itu membuat kita ceroboh dan bodoh!.
Disisi lain otakku memikirkan Hani yang membuatku tak berhenti menulis puisi-puisi, sudah puluhan lembar kutulis lalu kusobek, terus seperti itu. Dikamar ini tepat pukul 19:20 hingga 00:31, aku belum dapat tidur juga dan beberapa buku catatanku mulai menipis sebab selalu kusobek. Akupun tak mengerti mengapa aku menulis sampai segitunya. Menurut Rumi "Untuk apa lagi nahwu (kata-kata), jika sudah mahwu (mabuk)". Aku ingin memahami itu, karena dalam keadaan seperti ini aku berada didalam keduanya. Disatu sisi aku ini seperti pemabuk, disisi yang lain aku tertelan oleh cinta yang meluap-luap dan anehnya menulis adalah obat bagiku. Jika tak diminum segera maka akan menyebabkan sistem imun ditubuhku tak beraturan. Tapi satu hal yang pasti aku tahu, Rumi berada jauh level 'cinta' nya daripadaku dia memandang semua adalah 'cinta' sehingga dapat dipastikan dia 'gila' karena itu, untuk memikirkan tubuhnya saja dia berobat pada 'cinta'. Sedangkan aku masih berada pada taraf 'cinta' adalah pada satu orang, yang membuat perasaan batiniyyah belum atau masih terbatas. Mungkin ini adalah ujian "pecinta pemula" sepertiku.
*****
Setelah satu bulan
Sudah lama sejak aku terakhir kali bertemu dengan Hani di toko itu. Dia tak kunjung datang menemuiku atau sekedar melihat arak-arakan yang kami buat. Akupun maklum, mungkin dia sedang serius dalam mengembangkan bagaimana caranya mendapatkan murid-murid disanggar seninya. Tapi, aku juga mengharapkan apa yang ia 'katakan' waktu itu bahwa, dia akan melihat arak-arakan nanti atau sekedar melihat pembuatannya, walau aku juga salah karena tak menanyakan 'kapan' padanya. Aku selalu berharap dia akan datang, saban hari aku selalu bolak-balik ke gardu Rofi yang luas itu. Untuk penggarapannya memang hanya di hari minggu tutur Fatur, tapi apakah salah jika aku selalu kesitu, hitung-hitung aku juga adalah penjaga arak-arakannya dan sesekali mengerjakan projek nyisikki bambu. Menyisikki sisi-sisi bambu agar lugut (rambut-rambut pada bambu yang membuat gatal kulit) hilang, kalau kata orang kota mengkuliti sisi-sisi bambu menjadi tipis sehingga lembek. Kadang aku sendiri dan kadang beberapa warga yang antusias menyambut nadranan ikut membantu seperti mang kamsar yang setiap sore ikut membantu bahkan, bukan hanya di hari minggu saja.
Sekarangpun aku sedang bersama mang kamsar, sudah empat hari dia selalu menemaniku menyisikki bambu-bambu ini yang nantinya akan digunakan sebagai rusuk-rusuk dari arak-arakan ini. Mang Kamsar sendiri bilang padaku bahwa dulu dia sangat suka nadranan sampai-sampai jika sudah ada acara tahunan ini berlangsung maka Mang Kamsar akan langsung bolos sekolah untuk dapat melihatnya.
"Dulu, mamang suka sekali liat nadranan di gunung jati. Sampai-sampai sekolah saja bolos din. Dulu hiburan yang paling meriah yah cuma nadranan, itupun satu tahun sekali" sembari nyisikki dengan sebilah goloknya, sembari menceritakan masa lalunya yang lucu dan lugu padaku.
"Hmmmm... dulu yang punya tv jarang yah mang?"
"Disini ndak ada malahan din, hanya keluarga Rofi" tuturnya
"Iya, mang si Rofi udah memang keluarga 'berada' " balasku. Jika sudah tentang keluarga Rofi maka aku akan langsung mengiyakan hal-hal yang berbau kekayaan. Bapaknya saja anggota DPR daerah.
"Waktu itu mamang sering kerumah paman si Rofi cuma untuk menonton kartun, nama kartunnya mamang ngga tahu. Hanya saja dulu yang buat ingin menonton tv adalah keberkumpulannya. Jadi satu tv untuk semua warga desa, hahahah" tuturnya dengan bercanda.
"hahaha" kutimpali ketawanya