LAUT DAN UDARA

ajitio puspo utomo
Chapter #11

Mantra

Esoknya Hani mendatangiku seperti janjinya kemarin. Kali ini dia datang dengan membawa motornya juga membawa Rini sepupunya. Memang aku tak pernah meminta nomer ponselnya karena dia menggunakan WA--aplikasi canggih dengan menggunakan jaringan internet jika berkomunikasi--yang aku sendiri tak ada. Itu sebabnya aku sedari tadi menunggunya dari pagi dan dia baru datang jam sepuluh agak siang memang. Jangan tanya mengapa aku tak berani meminta nomer ponselnya sebab secara langsung ini adalah urutan kasta bagiku, bisa dibilang penghinaan. Hp ku berkasta sudra paling rendah dari yang lain sedangkan dia ada diantara brahmana atau diatasnya yang kutaktahu apa sebutannya. Dan mana ada zaman sekarang masih menggunakan pulsa, saling sms, sudah bukan zamannya yang ada nanti aku ditertawakan olehnya kalaupun ada hanya orang-orang tua, para supir truk tembak atau kuli-kuli bangunan, tapi juga sebagian dari mereka sudah menggunakan WA dan hp mereka canggih-canggih. Ah, hanya sebuah hp! Tapi tetap aku tak menggubris hal sepele dihatiku itu. Aku tetap bisa bertemu dengannya, toh, aku sudah tahu rumahnya, tetangga desaku.

"Kamu sudah bilang pada anak-anak desamu? Bahwa nanti ada les tari topeng di desa Cideng?" dia bertanya dengan halus lewat suaranya

"Loh, ya belum Hani!" jawabku kaget. Sebenarnya tak ada waktu untuk mengumpulkan anak-anak didesa ini apalagi anak-anak perempuan yang mau menari. Akupun kemarin disibukkan dengan penggarapan arak-arakan yang hampir selesai dan waktu pelaksanaan nadran hanya tinggal beberapa minggu lagi. Sebenarnya mencari anak-anak perempuan di desaku juga agak sulit, bukan karena jumlah melainkan karena peminatan dari anak-anak tersebut. Kebanyakan di desaku anak-anak perempuan suka bernyanyi bukan menari. Ibu mereka membolehkan anak-anak perempuan mereka menjadi apa saja, asal jangan menari! Sebab menari di daerah Cirebon apalagi di desaku sama dengan menjual diri. Anggapan dengan menyematkan kata "biduan" telah tertancap di desa ini maklum saja desaku kental dengan aroma agama. Seorang perempuan yang disawer (dibayar dengan berjoget di atas panggung) itu merendahkan dirinya, keluarganya. Ditambah menggunakan pakaian-pakaian ketat, mungkin ada beberapa menggunakan pakaian yang tertutup bahkan kerudung, namun harga diri tetaplah terjual. Bagi sebagian orang itu adalah hiburan tapi di desaku itu adalah aib. Dan sekali lagi ini bukan tarian dangdut yang mayoritas senonok itu, ini tari tradisional--tari topeng!

"Aku masih disibukkan dengan menggarap arak-arakan, memang hampir selesai tinggal tahap pengecatan saja" tambahku

Raut wajahnya sedikit murung, tertunduk, senyumnya tak lagi ada. Baru aku tahu dia kecewa denganku. Tapi Hani sayang, itu baru kemarin, mari kita sekarang berjuang bersama mewujudkan impianmu dan nenekmu itu.

Disebelahnya Rini terus memandangiku, aku menginstrospeksi diriku apakah ada yang salah dengan tampilanku. Bajuku atau mungkin sarungku yang agak melorot tapi kupastikan sempurna tak ada yang kurang dan lebih, hanya kesederhanaan. Sarung dan baju kaos. Hani masih terdiam, cepat-cepat aku harus membuat hatinya bungah kembali, aku tak mau membuat dia lemah diawal juga sedih hanya karena aku belum dapat mengumpulkan anak-anak perempuan yang ingin les tari.

"Sekarang aku tak menggarap arak-arakan itu, jadi ayo kita cari anak-anak perempuan yang mau ikut les tari topeng Hani, disanggar tarimu" kataku. Hani mengangkat kepalanya lagi, tesenyum malu padaku. Di otakku aku berpikir saat itu dia gembira lagi, ah memang! perempuan memang seperti itu mudah terjebak kata-kata, selayaknya seorang lelaki adalah benar-benar dikatakan lelaki untuk bisa pandai melihat isi hati juga perasaan perempuan, melunakkannya, menghibur dan membuatnya senang dalam keadaan apapun dan sepengecut nya lelaki untuk tidak menautkan hatinya pada satu wanita dan menganggap hanya sebuah objek kepuasan entah itu dhohir maupun batinnya!

Hani terbangun dan terbelalak, matanya bersinar, katanya "Baik din!" dengan tersenyum. Rini ikut-ikutan tersenyum, senyumnya tipis manis sama seperti Hani sepupunya dia mengilhami perasaan Hani pada dirinya sendiri. Ditaruh motornya depan teras rumah, ditariknya tanganku "Ayo Din!" katanya. Cepat-cepat dia berjalan mencari anak-anak perempuan di desa ini. Rini mengikuti dari belakang, aku merasa diawasi dengan senyum dari Rini. Mungkin dia senyam-senyum sendiri dibelakang melihat sepupunya menggandeng tangan seorang lelaki--seorang aku dan aku merasa seperti tertusuk anak panah yang hangat dari senyumnya.

Lihat selengkapnya