Pagi-pagi sekali aku bergegas mandi selepas sholat subuh di mushola, merias dan mewangikan tubuhku, minyak wangi bapak yang bertema dan beraroma lovely kucuri sedikit dari kamarnya, bapak memang suka wewangian yang kalem dan lembut. Hari ini adalah Nadran, dan Hani setuju untuk ikut bersamaku bersama pemuda desa ini, aku sedikit gugup membawanya tak lain dan tak bukan karena nanti ada saja umpatan-umpatan kecil dari teman-temanku ini, ejekan-ejekan yang bersifat mereka tak merestuiku bersama dengan Hani. Ya mereka iri!. Telah lama aku saksikan dia murung karena tak kunjung ada peminatan dari anak-anak untuk mau ikut les tari tradisional--tari topeng. Dengan sigap dan lugas seperti para aktivis mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan nyelenah para DPR langsung saja aku membuat perjanjian dengannya "Jika kau ikut nadran nanti Hani, akan kupastikan ada anak-anak yang mau ke sanggar tarimu!" pungkasku menjanjikan. Hani tak pikir panjang dia langsung mengiyakan saja ajakan tanpa kepastian itu. Hei lihatlah! Lelaki mana melihat seorang perempuan, gadis pula terus-terusan murung oleh impiannya yang tak kunjung bersinar. Tataplah matanya, ketahui gerak-geriknya lalu pasang kata-kata paling menjanjikan di seluruh tubuhnya! Itu menurutku yang tak banyak bisa aku lakukan terhadap kemurungannya.
Kepadanya kusampaikan jika hendak berangkat tunggu aku di gapura desa pukul setengah sepuluh. Dengan Rini dia menunggu di depan gapura sebelah pedagang baso, meneduhlah disitu. Aku yang sudah rapih dari subuh ini dan bukan hanya aku saja teman-teman yang lain pun ikut terlihat rapih. Sepatu Kw yang kami beli di pasar plered seharga tujuh puluh ribuan bermerek new basket, dengan t-shirt polo hitam buatan entah aku tak tahu berjalan beririrngan menindak dan menarik arak-arakan besar itu diatas gotrok yang beralaskan kayu-kayu reng. Kami sama seperti pada film-film barat dengan pakaian jas serba hitam atau lebih tepatnya Men In Black hanya lebih banyak pemerannya ditambah tidak adanya alien disekitaran.
Kami beriringan menarik gotrok itu, terlihat seperti semut yang menemukan remah roti atau secuil kerupuk jatuh yang ukurannya tiga kali lipat dibanding tubuhnya. Hani dan Rini ikut disebelahku, sejurus kemudian teman-temanku tampak terlihat mempersolek tampilannya Herman dan Ito yang merapihkan kerah baju, Toya dan Maskul merapihkan rambutnya kesamping kanan Fatur kekiri dan Syahrul serta Rofi tak ikut kalah merapihkan bajunya , wajar saja Hani dan Rini adalah kecantikan natural yang sifatnya abadi tak rusak oleh debu-debu jalanan. Semuanya hampir bersalaman tangan pada dua gadis itu, entahlah ketika ada yang menyalami Hani dari setiapnya hatiku panas dan berdarah, apalagi yang kutakutkan adalah Syahrul si tampan anak Pak Rt, didepannya aku kalah jauh tak sebanding. Tak tahan! Walau ada Fatur dan Rofi disitu dan mereka tak luput dari ingin bersalaman tetap saja itu membuatku jengkel. Apakah ini cemburu? Iya, benar cemburu. Entahlah jika kulihat Rini sepupu bermata horisontal dari Hani itu, dia malah menikmati berjabat tangan dengan teman-temanku. Ah, muda dan cantik jelita wajar saja!
Aku diuntungkan oleh Mang Kamsar yang ikut bersama kami katanya dihadapan pemuda-pemuda desa "Yang di sebelah kanan punya Udin, jangan macam-macam" sambil tertawa, yang dimaksudkan adalah Hani. Sontak semuanya ikut tertawa namun sekarang lebih menjaga sikap, didepan Hani didepanku. Dan untuk Syahrul sendiri dia kuawasi sebab dalam keadaan apa saja dan dimana saja pasti lelaki tetaplah lelaki! Pun juga Hani karena dia seorang wanita yang punya sifat banding- membandingkan kusuruh dia tetap di sebelahku baik dari sisi manapun wanita juga tetap wanita, wanita mana yang tak suka dengan Syahrul! Dan sebagai lelaki aku suka dengan Syahrul sekaligus iri, namun ini hanya dalam konteks pengaguman bukan yang lain. Ah, dia yang tampan aku yang apa adanya!