LAUT DAN UDARA

ajitio puspo utomo
Chapter #13

Masih Romantisme Nadran

Tetua adat itu pergi entah kemana, aku sendiri tak tahu kemana dia, dikerumunan panitia dia menghilang menjadi misteri tersendiri bagi kami, bagi yang sebagian melihatnya mungkin. Tapi juga itu sekaligus menandakan bahwa ritual dari acara besar tahunan ini telah terlaksana hanya tinggal merayakannya saja. Gong besar yang dibawa salah satu panitia telah ditabuh, jalanan ramai kembali oleh arak-arakan dari berbagai desa. Kami nomer urut tiga terhanyut semarak itu, semuanya, orang tua dan anak-anak, lelaki dan perempuan dan juga yang kusebutkan tadi bule dan pribumi, campur aduk!. Anak-anak dengan handphone canggihnya, menyorot dengan kamera tiga puluh dua megapixels nya didepanku ditambah cahaya flash, ah kau nak!--Umur segitu aku membeli mainan saja tak bisa yang kubisa hanya membuat pistol dari bambu dengan kertas sebagai pelurunya--enaknya dimanjakan oleh keluarga yang kaya. Orang tua dengan masa-masa mereka menjadi anak-anak dimana bernostalgia memberi tahukan kepada cucu-cucunya yang ikut menonton sembari memotret motret. Para bule yang menutupi bajunya setengah terbuka, ah sialan jika saja tak ada Hani disisiku, mungkin aku akan berlari menuju mereka. Dan semua penonton yang bertepuk tangan seakan memberi pujian pada kami dan semuanya yang membuat arak-arakan ini sedemikian hebatnya. Hani kegirangan disebelahku beban pikiran tentang saung tarinya mungkin sejenak hilang oleh perayaan ini--dengan lagu-lagunya dan beberapa orang-orang aneh tanpa baju kemudian seluruh tubuhnya dilumuri oleh minyak oli sehingga hitam legam bahkan wajah mereka pun tak terkena dibuang oleh minyak itu, mereka menyebut diri mereka dayak-dayakan, memeluk siapa saja yang dilihatnya, yang terkena pelukan maka dia dianggap salah satu darinya--Hani terbebas dari belenggu itu, tarian tradisional itu, sekarang Hani menikmati ketradisionalan yang lain yang skalanya jauh lebih besar, mistis, lebih primitif juga lebih semarak.

Aku tak mengatakan bahwa tari topeng adalah tarian yang membosankan untuk dilihat bukan juga tari yang hanya dilakukan ketika ada suatu acara-acara resmi, tapi menurutku semua sisi tradisi yang ditinggalkan leluhur mempunyai pemaknaannya tersendiri. Lihat saja nadranan ini semuanya bergembira. Buah dari Sunan Gunung Jati yang mengislamkan pribumi cirebon didaerah pesisir utaranya, sehingga para warganya menyemarakkan dengan menghormati kerja keras Sunan tersebut lalu diadakanlah acara besar tahunan ini, kemudian tari-tarian, itu adalah bentuk dari menghormati tamu--raja terdahulu atau juga bupati ataupun yang sekasta dengannya--semua itu ada pesan-pesan yang terselubung tak dimengerti, atau juga bisa dibilang begitu-begitu saja. Tapi kita harus tahu untuk menelisik ada apa dibalik itu semua dan sekali lagi tradisi adalah tradisi, pesan dari para leluhur untuk bagaimana caranya menghormati, mensyukuri, titik balik dari bersabar kemudian berdoa. Itulah tradisi yang mengajarkan!

Di urutan kesatu arak-arakan dari desa tuan rumah, tidak bisa dibilang biasa-biasa saja arak-arakan ini bahkan hampir setara dengan kami--Fatur. Haha! Walaupun tak ada yang namanya juara-juaraan dalam semarak perayaan ini, namun diantara yang paling berkilau adalah arak-arakan desa Gunung Jati, diyakini bahwa orang-orang di desa ini memiliki kreatifitas yang "liar" jika membuat arak-arakan ini. Bentukan Naga Barong tingginya hampir empat meter dengan lebar yang tak terlalu tapi panjang hampir delapan meter seperti benar-benar naga asli, jarak diantara urutan kedua pun terlampau panjang, dari urutan kesatu sampai kedua mungkin cukup untuk tiga arak-arakan. Panjang!!! Cat biru dan kuning yang digradasikan membuat kehijauan, seperti lumut yang dilihat dari jernihnya telaga desa kuningan juga ditaburi kerlap-kerlip glitter benar-benar cantik. Benar-benar indah layaknya lukisan Van Gogh yang surealis itu. Di urutan kedua sama tak kalah seninya, aku takjub ketika arak-arakan itu menyemburkan "bisa racun" yang ternyata adalah bedak bayi yang di tiup bersamaan di wajah Gatot Kaca putra dari Bima itu. Di urutan kedua terlihat seperti laga kolosal dengan hewan raksasa, arak-arakan itu berbentuk Gatot Kaca dengan lilitan ular besar berwarna putih yang setiap delapan menit meniupkan bedak bayi. Tinggi Gatot Kaca hanya tiga meter dengan lebar hanya tiga meter agaknya itu menyamakan tingginya agar tidak terlihat cembung dan ularnya sendiri mengikuti tinggi bima hanya saja buntutnya lebih panjang kemungkinan dua meter setengah dari panjang buntut ke belakangnya. Arak-arakan itu dibuat oleh desa trusmi, jika dari desa kami tinggal menuju selatan lurus saja sepuluh menit.

Diurutan keempat ada arak-arakan yang berwujud singa putih. Monoton begitu-begitu saja, yang kelima dan keenam sekilas kulihat seperti perwujudan manusia setengah hewan dan ada pula buaya, mungkin aku tak bisa menyebutkan satu per satu dari setiap arak-arakan itu yang bisa kusebutkan bahwa kemungkinan yang mengikuti arak-arakan ini ada hingga dua puluh lima arak-arakan, sangat banyak. Dan dimulai dari urutan kelima lah musik dangdut paling keras di setel. Mungkin saja, untuk mengimbangi arak-arakan mereka yang "begitu-begitu saja atau kurang ber seni" mereka mengakali dengan musik. Ah agaknya mereka pun pintar dengan musik dangdut yang diputar. Suara-suara kembang api bertalutan seperti suar-suar pemadam kebakaran, bayangkan saja pada pagi ini kembang api sudah diledakkan. Pertanda bahwa kemeriahan acara nadranan dimulai. Kami menikmati!

Orang-orang bersorak sorai tepuk tangan sembari bersiulan layaknya murai batu yang sedang birahi mencari pasangannya. Kami berjalan perlahan menuju titik balik dari gunung jati menuju daerah krucuk klayan, ya titik putar memang selalu disitu. Lalu dari belakang terlihat pasukan berkuda dengan kemricik pada kaki-kakinya. Sepuluh ah bukan dua belas mungkin.

"Awas yang didepan" teriak salah satu penunggang kuda "Jangan sampai tersepak kuda-kuda kami" sontak semua menyingkir

Kotoran kuda terceceran dimana-mana, ah memang sudah wajarnya, dasar kuda!. Hanya tinggal penarik arak-arakan didepan dan para dayak-dayakan yang tak menyingkir malahan penunggang kuda tersebut yang menyingkir sebab jalanan kami harus dicukupkan dengan arak-arakan kami dan para dayakan ini hanya mengikuti dan agaknya mereka juga sebagai pengganggu kecil yang menyerobot setiap pijakan jalan kami.

Para penunggang kuda berhamburan kearah penonton di pinggiran, melakukan atraksi dengan mengangkat kuda-kuda mereka seperti motor yang di jumpingkan. Para dayak-dayakan tetap mencari penonton yang harus menjadi kelompoknya dengan pelukan disetiap perjalanannya. Kami yang menjadi magnet penting acara ini tetap berjalan perlahan menuju titik balik. Sorak sorai dan tepuk tangan tetap menjadi penodrong bagi kami untuk tetap semangat menarik arak-arakan ini. Ito dan Maskul lalu Herman dipinggiran sedang meminum air botol yang disediakan panitia dan setiap arak-arakan yang ikut berpartisipasi mendapat jatah minum air botol hanya satu kardus. Hani masih berada disebelahku melengket seperti lem fox yang terkenal super lengket itu.

Lihat selengkapnya