Matahari begitu cerah pagi ini, secerah suasana hati Lavina yang tengah mengendarai motor pink miliknya menuju sekolah. Jarak rumah dan sekolah tak terlalu jauh. Terkadang, Lavina mengendarai motor sendiri ke sekolah. Menikmati berkendara bersama orang-orang yang beraktivitas pada pagi hari seperti dirinya.
Butuh dua puluh menit untuk sampai ke sekolah bertembok bata dan bercat krem itu. Saat pintu gerbang sudah terlihat, Lavina merasa lega, pagi ini tak ada drama. Biasanya, ada saja tragedi yang tiba-tiba terjadi. Seperti dia jatuh sendiri saat belok atau menyerempet kendaraan lain. Dia terlalu ceroboh dalam hal berkendara. Dia bahkan jarang menggunakan mobilnya karena takut mobil kesayangannya itu tergores akibat kecerobohannya. Lavina lebih memilih naik motor atau diantar sopir. Namun sebenarnya, dia lebih suka jika diantar-jemput Arsenio.
Motor hitam Arsenio menyalipnya di pintu gerbang. Lavina langsung membuka kaca helm dan berusaha mengejar kekasihnya. Dia memilih memarkirkan motor cute-nya bersebelahan dengan motor ninja hitam milik Arsenio. Begitu kontras seperti pemiliknya.
“Pagi, Arsenio Abrisam,” sapa Lavina dengan binar mata secerah matahari.
“Pagi, Lav.”
“Tidurmu nyenyak semalam? Kamu tidur awal, ya?”
“Iya.”
“Pantes kamu nggak balas pesanku,” Lavina pura-pura cemberut. “Ayo, ke kelas bareng,” seru Lavina.
Mereka berjalan beriringan tanpa obrolan.
“Kamu nanti les?” tanya Lavina, mencari obrolan.
“Iya.”
“Widy juga. Kalau aku lesnya nanti aja, setelah UTS. Aku baru nulis puisi, lho. Kamu mau baca, nggak?” ucap Lavina mencoba mencari bahan obrolan lagi.
Arsenio mengangguk, Lavina buru-buru membuka tasnya, mengambil notebook berwarna pink dengan gambar bunga lili putih di kover depan.
“Ini aku pinjemin. Baca, ya? Kalau sudah selesai kembaliin. Oh ya, notebook aku yang kemarin sudah selesai dibaca?”
“Belum.”
“Kok, belum? Jangan-jangan belum dibaca, ya? Harus dibaca, lho. Biar kamu tahu, sayangnya aku buat kamu,” ucap Lavina terang-terangan.
Lavina tak pernah malu menunjukkan rasa sukanya pada Arsenio. Baginya, cinta itu harus diungkapkan agar orang yang dicintai tahu, sehingga tak akan ada penyesalan di belakang. Orang lain mungkin tak harus tahu perasaannya, tapi Arsenio harus.
Mereka memasuki lift yang sudah penuh siswa-siswi SMA Nuski. Lavina kebingungan ketika ada beberapa anak yang turun di Lantai 2 karena dia terlalu imut dibandingkan yang lain, dia terdesak. Untung saja Arsenio menariknya ke pojok dan memunggunginya.
Lavina mencolek-colek bahu Arsenio dan berjinjit. “Makasih,” bisik Lavina. Arsenio membalas dengan senyum tipis dan kedua mata menutup sesaat, kebiasaannya yang terlihat cute di mata Lavina.
***
Hal yang dinanti di sekolah adalah waktu istirahat. Seperti saat ini. Berkutat dengan pelajaran dari pagi membuat energi Lavina terkuras. Dia menarik Lolita dan Widy ke kantin di Lantai 2, tempat anak kelas XII menjadi penguasanya. Lavina memesan bakso urat dengan porsi double kesukaannya dan segelas es jeruk.
“Lo makan apa kesurupan, sih?” tanya Lolita.
“Kesurupan. Gue laper banget. Fisika dan Arsenio bikin tenaga gue habis. Kepala gue juga sedikit pening,” Lavina bersin setelah bicara.
“Kenapa lagi cowok lo itu? Kenapa nggak udahan aja, sih?” Lolita menyerahkan tisu yang dia bawa.
“Jangan! Semua masih bisa dibicarakan baik-baik,” seru Widy.
“Setop! Jangan mulai berdebat. Arsenio nggak kenapa-kenapa, Lolita Sayang. Cuma tadi, gue sempat lari ngejar dia, jadi gue laper banget sekarang.”
“Ngapain lo ngejar dia?” tanya Widy.
“Kerjaan Lavina kan memang ngejar Arsen. Lo lupa?” balas Lolita dan langsung mendapat jitakan maut dari Lavina.