Audy
"Menurut Lo self acceptance itu penting ga?" Gue melontarkan pertanyaan begitu melihat Andrea di dapur kost. "Lo mau tau jawaban gue dari sisi gue sebagai teman Lo atau mahasiswa psikologi?"
Lagi lagi Andrea selalu memberikan dua opsi jawaban untuk gue. Gue menghela napas lalu membuka kulkas mengambil botol besar pepsi yang gue beli kemarin, "Bagi pepsi Lo, dari tadi gue pengen minum itu soda tapi gatau punya siapa."
Gue menyodorkan botol pepsi ke Andrea agar dia menuangkan sendiri ke gelasnya, "Dua duanya." Jawab gue memilih opsi yang diberikan. "Dy? Seriusan Lo tolol apa gimana?" Mulutnya ga berubah, masih perlu di sekolahin.
"Gue pengen tau semuanya Re, gue kalut banget. Rasanya beban pikiran gue semakin penuh dari gue udah ga temenan bareng Marissa dan Juli selingkuhin kak Geo. Gue ngerasa kenapa orang di sekitar gue yang gue anggep baik, tapi ternyata begitu ... Juli nyakitin kak Geo, temen Aidan, padahal Aidan sebaik apa memperlakukan gue, gue makin ngerasa ga pantes jadinya ada di lingkungan baik."
Akhirnya gue bisa meluapkan emosi impulsif gue di depan Andrea. Tapi Andrea masih diam, mematikan kompor dan memberikan gue pindang goreng lengkap dengan lalapan dan sambal terasi. "Makan dulu, ngeluapin emosi butuh banyak energi."
"Menurut Lo sendiri penting ga?" Gue menoleh mendengar pertanyaan Andrea. Aidan dan Andrea itu 11 11 setengah soal hal begini, mereka selalu menjawab pertanyaan dengan balik bertanya sampai kita sendiri menemukan jawaban. "Penting?" Jawab gue ragu-ragu.
"Buat jawab hal sesederhana itu aja Lo ragu Dy, pantes hidup Lo rumit."
Sialan, tapi bener sih.
"Menurut gue self-acceptance itu penting. Karena Lo bakalan bisa nerima diri Lo sendiri apa adanya, Lo jadi lebih damai dan bahagia. Lo nggak akan ngerasa terbebani penyesalan dan khawatir gimana orang lain menilai Lo. Saat Lo udah bisa nerima diri Lo sendiri, Lo bakalan lebih percaya diri dan lebih mudah ngejalin healthy relationship. Lo bisa lebih jujur dan autentik di hubungan, karena Lo nggak ngerasa harus pura-pura jadi orang lain. Itu jawaban gue sebagai temen Lo."
"Kalo dari sisi mahasiswa psikologi?" Gue bertanya tanpa malu, sambil memperhatikan Andrea yang mencuci bekas makannya di wastafel, "Gue bukan psikolog Lo, kalo Lo mau tau, pergi sendiri ke sana." Andrea meninggalkan gue sendiri di dapur, pertanyaan di kepala gue adalah apa gue perlu ke psikolog lagi?
"Belajar buat berhenti meluk dan sentuh luka Lo terus, kalo Lo ga berhenti Lo ga akan pernah bisa sembuh. Lo yang paling tau diri Lo, jadi Lo seharusnya tau gimana caranya nerima diri Lo sendiri. Karena emang cuma Lo yang bisa menerima diri Lo sepenuhnya ... Jangan jadi orang impulsif, kalo Lo merasa perlu ke profesional datengin, gue harus kerja di panti." Andrea berdiri di dekat pintu dapur sebelum akhirnya dia menjauh turun dari tangga untuk bekerja.
Gue kira, punya Andrea bakalan membantu gue menemukan emosi dan solusi semua hal yang terjadi, tapi kenyataannya ga bisa. Andrea hanya bisa berperan sebagai teman gue atau sodara tiri gue bukan sebagai seorang psikolog, karena kita saling kenal. Gue gatau kenapa, tapi kata Andrea ga boleh karena bakalan menganggu proses perawatan.
Karena kepala gue rasanya penuh, gue memutuskan untuk cari angin di sekitar Alun-Alun Utara sampai Wijilan. Tahun 2022 masa memasuki new normal, jalanan udah mulai ramai penduduk lokal yang berolahraga atau sekedar menikmati pagi seperti gue, walaupun masih pakai masker. Karena segala aktivitas di luar dilakukan dengan peraturan yang diterapkan oleh pemerintah.
"Sendirian aja?" Gue menoleh, Gema Akbar Maulana ... Sahabat Aidan Adinata. "Iya kak, soalnya deket kost gue, jadi gue cari angin aja keluar, sumpek soalnya di kost terus hehe."
"Lo doyan gudeg?" Gue mengangguk tanda jawaban iya, "Gue mau ke gudeg Yu Djum 167 di Wijilan, lo mau ikut?" Gue sebenernya udah makan bareng Andrea, tapi rasa ga enakan gue ga bisa nolak ajakan kak Gema, mau ditaruh mana nanti muka gue kalo kak Gema bilang gue sombong atau nolak ajakan dia. Gue ga boleh keliatan jelek di lingkungan Aidan.
"Boleh kak, gue juga belum makan." Gue dan Kak Gema jalan kaki dari Alun Alun Utara dekat museum Sonobudoyo menuju Wijilan. Gue memperhatikan kak Gema yang mengeluarkan rokok dari saku celana semi cargonya, "Hubungan Lo sama Aidan aman kan?"
Aman? Emang hubungan gue sama Aidan keliatan ga baik baik aja sekarang?
"Hah?"
"Bener kata Aidan, Lo penjual kelomang, ha ho ha ho."
Sialan.
"Emang hubungan gue sama Aidan keliatan kayak apa?" Gue bertanya, kak Gema cuma melirik gue sekilas sambil menghisap rokoknya, "HTS." Jawabnya. Iya sih, gue sama Aidan emang ga punya status pasti soal hubungan, masa gue harus nanya 'kita ini apa sih?' atau 'kok Lo ga nembak gue?' kesannya kayak gue yang ngebet dan gatau diri. Lagian gue cukup sadar diri, kalo Aidan pantes dapetin yang lebih baik dari gue, yang ga rumit dan bisa mencintai dirinya sendiri.