Tangerang, Tahun 1995.
Nama saya Anya Arunika.
Saya ingat betul, nama itu adalah nama yang diberikan oleh emak dan abah, kakek dan nenek saya satu-satunya, yang sangat menyayangi saya.
Hari itu, adalah hari lebaran. Hari pertama kalinya, kami sekeluarga kembali pulang ke kampung halaman mama dan papa, di kota Tangerang. Setelah hampir 10 tahun lamanya mama dan papa merantau ke kota Medan, karena pekerjaan papa, yang seorang Pegawai Negeri Sipil.
Pagi-pagi buta, mama membangunkan kami dengan tergesa-gesa. Mama menyuruh kami untuk segera bersiap karena hari ini kami akan menaiki kapal laut dari Pelabuhan Belawan menuju Pelabuhan di Jakarta. Papa, yang tampak sangat senang sejak kemarin karena akhirnya bisa kembali pulang ke rumah, sibuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Ini menjadi perjalanan lintas pulau pertama kalinya, bagi saya dan saudara-saudara saya. Ini juga menjadi pengalaman pertama kami bertemu dengan saudara- saudara yang ada di kota Tangerang.
Cuaca sangat cerah hari ini. Kapal-kapal besar terlihat gagah terparkir di pinggir Pelabuhan. Orang-orang juga sangat ramai berlomba-lomba memasuki kapal. Saya, yang masih berumur 7 tahun waktu itu, merasa sangat takjub melihat sebuah kapal besar berwarna coklat di depan kami. Imajinasi liar saya, menggambarkan sebuah situasi yang hanya dipahami seorang anak kecil. Kapal besar itu, tampak seperti wahana bermain yang penuh bunga, yang terbuat dari coklat. Saya sangat tidak sabar untuk segera menaikinya. Papa menggandeng kami dan menuntun kami perlahan menaiki kapal. Kami terus berjalan melewati lorong hingga sampai ke sebuah ruangan di tengah kapal. Di sana, banyak tempat tidur yang berdampingan dan berjejer. Banyak juga orang-orang dari daerah lain yang ikut naik kapal ini dan sebagian, ada yang sedang menggelar tikar di ujung tempat tidur sambil makan bersama dengan keluarganya. Saya merasa sedikit takut karena saya tidak mengenal orang-orang ini.
Klakson kapal pun berbunyi dengan sangat kencang, menandakan bahwa kapal akan segera berlayar. Kami duduk manis di atas tempat tidur. Saya melihat sekeliling orang-orang yang mulai ramai menyaksikan ke luar kapal. Beberapa orang ada yang berdiri di pinggir kapal sambil melambai-lambaikan tangan mereka kepada kerabat-kerabat yang ada di daratan, yang mengantarkan mereka, dan beberapa orang ada yang menaiki tangga menuju ke atas untuk menyaksikan deburan air laut yang bergesekan dengan badan kapal, ada juga yang sedang menikmati angin laut sambil berharap akan melihat atraksi lumba-lumba di tengah laut. Kapal mulai bergoyang-goyang dan membuat saya merasa sedikit pusing. Saya melihat papa yang terus tersenyum senang, sambil menghitung uang dan memasukkannya ke dalam beberapa amplop berwarna putih. Sedangkan mama, terlihat bersenandung lagu kesukaannya, sambil memeluk dan menggendong adik saya yang masih berumur 5 tahun. Mama sangat sayang pada adik bungsu saya. Kata mama, adik bungsu saya membawa rezeki yang sangat banyak kepada keluarga kami, karena adik saya itu lahir di bulan mulia, bulan Nuzulul Qur’an.
Tak lama kemudian, abang-abang saya dan teteh saya, berlarian menuju ke depan, melihat arus air laut yang diterjang oleh kapal. Saya mengikuti mereka dari belakang. Kami berlarian di sekitar dek, berlari ke sana ke mari. Angin berhembus sangat kencang. Air laut nya pun terlihat sangat biru, luas sekali. Seperti tidak memiliki batas. Di atas kapal, ramai orang asyik berfoto dengan kamera yang disebut tustel. Persis seperti milik papa. Saat saya sedang asyik menikmati angin yang melegakan dada, ada seorang anak laki-laki menghampiri kami. Dia menarik-narik baju kami. Anak itu, bermata sipit, berkulit putih, dan berpakaian sangat rapi. Ia tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia. Saya melihat abang pertama saya menghampirinya dan mengajaknya ke bawah. Kami berlarian dan mengajaknya bermain petak umpet di sekitar ruangan kami.
“Hee… aa… jangan lari-lari, awas jatoh,” seru papa.
“Pa. Kami punya teman baru, nih. Tadi dia ikutin kami di atas, sekarang ikut kami lagi ke bawah,” jelas aa kepada papa.
“Siapa namamu? Dek berapa?” tanya papa pada anak itu. Anak itu hanya terdiam.
“Ini. Makan roti ini sama-sama. Duduk di sana. Jangan lari-lari.” Seru papa.
Saat kami sedang asyik makan roti, tiba-tiba saja dua orang dewasa yang memakai baju sangat rapi, berteriak, “Ahong.. Ahong…” kata mereka sambil melirik-lirik ke arah sekitar.
Anak yang sedari tadi bersama kami pun, berdiri dan melambaikan tangannya ke arah mereka. Ke dua orang dewasa tadi langsung berlari menghampiri kami. Mereka meminta maaf kepada papa karena telah merepotkan kami. Mereka juga berterima kasih karena mereka menganggap kami telah menemukan Ahong dan menjaganya.
“Mari kita foto bersama. Siapa tahu, suatu hari nanti, bisa bertemu lagi.” kata Ayah Ahong dengan logat yang tidak familiar di telinga saya.
Kami pun berfoto di tangga menuju dek atas, tempat Ahong dan keluarganya menginap. Ayah Ahong, lalu memberikan kami foto itu sebagai kenang-kenangan. Ia menuliskan alamat mereka tinggal, dan menyampaikan kepada kami bahwa mereka sebentar lagi akan turun di pelabuhan berikutnya. Saya merasa sangat sedih. Ahong…teman asing yang kedua orang tuanya sangat ramah dan baik hati, begitulah saya akan mengingatnya.