Menurutmu, apa arti sebuah keluarga?
Apa pentingnya memiliki keluarga, bila keluarga tak pernah terasa utuh?
Terkadang, saya merasa iri dengan keluarga orang lain. Bukan karena keluarga saya kekurangan, tetapi, karena kedua orang dewasa yang saya sebut sebagai orang tua, mereka tidak menginginkan saya sebagaimana orang tua sahabat-sahabat saya yang terlihat sangat sayang kepada anak-anak mereka.
Apa salahnya terlahir lemah dan sakit-sakitan?
Toh, saya tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk menjadikan saya terlahir sebagai anak yang lemah, tukang sakit, dan menghabiskan uang orang tua. Waktu itu, saya tidak pernah bisa mengerti masalah kedua orang dewasa yang seharusnya melindungi saya itu. Saya tidak tahu alasan mengapa mereka ingin sekalli saya hilang dari muka bumi dan meminta saya untuk pergi meninggalkan mereka?
Medan, Maret 1997.
Suatu hari, di komplek perumahan dinas tempat saya dan keluarga saya tinggal, ada sebuah kecelakaan kereta yang menewaskan seorang pria paruh baya. Saat itu, saya dan sahabat-sahabat saya, baru saja pulang dari madrasah, mengaji di sana.
“Eh, wei… tengok sana itu , yuk. Ada apa tuh rame-rame?” kata Indah, sesaat kami berjalan menuju arah pulang ke rumah masing-masing.
Indah, yang pemberani dan sedikit tomboy, menerobos kerumunan orang-orang yang penasaran dengan peristiwa yang terjadi di depan warung Mak Ela. Di sebelah warung Mak Ela, memang ada sebuah rel kereta api. Perumahan dinas yang ada di Padang Bulan, Medan itu, memang dilewati kereta api hampir setiap hari. Warga setempat, biasanya, bergantian menjaga rel itu, agar orang-orang dapat melintas dengan aman.
“Ih… ngeri kali loh woy…. Mati katanya om itu di rel kereta.” Kata Indah, menginformasikan sambil memasang wajah yang sedikit ketakutan.
“Eh.. anak-anak.. pulang.. jangan di sini. Sana, pulang.” Kata Opung yang mencoba menghalangi kami melihat kejadian naas itu.
“Kenapa om itu ada di sana?” tanyaku polos pada Indah.
“Ntah lah, aku dengar dari Mak Ela tadi, Om itu tiba-tiba lompat di situ, nangis-nangis, stress kayaknya abis ditinggal anak istrinya. Ntah kemana.” Jelasnya.
“Kenapa mereka ninggalin om itu?” tanyaku lagi.
“Itu lah kan.. kok tega ya, harusnya keluarga itu tetap sama-sama bagaimanapun keadaannya. Gitu lo, kata Ibukku. Kok ini, om ini ditinggal sendirian. Mati bunuh diri, dia.” Jawabnya.
Saya pun mengangguk-angguk mencoba mencerna perkataan Indah. Kami pun berjalan kembali, menuju ke rumah masing-masing.
Suara sirine ambulans, terdengar sangat kencang. Saya menengok ke arah belakang, mencoba memperhatikan kerumunan dan kereta api yang terhenti di tengah-tengah rel. Semua orang sibuk berbisik, berasumsi sendiri mengenai penyebab kematian orang itu. Namun, saat itu, saya tidak memikirkan bagaimana dan mengapa orang tersebut memilih mengakhiri kehidupannya. Melainkan, saya berfikir, saya juga mengerti dan merasakan kesedihannya di tinggalkan keluarganya. Jika saja itu terjadi pada saya, saya yakin, keluarga saya akan sangat senang.
“Bye, Anya… besok kita ketemu lagi, ya. Kita sekolah bareng, ya.” Teriak Riska, mengagetkan lamunan saya.
“Eh, kalian besok pulang sekolah, kerumahku, ya. Ayahku abis mancing tadi pagi. Ayahku bawa udang raja besar-besar dan banyak. Kita makan udang di rumahku, ya.” Seru Indah. Kami senang sekali Indah mengajak kami makan di rumahnya besok.
Sepanjang jalan pulang, saya terus bertanya-tanya, bagaimana cara saya mengabulkan keinginan mama yang meminta saya tidak terlahir di dunia karena saya hanya menjadi anak yang terus merepotkannya? Saya terus memikirkan kejadian barusan, apakah saya lebih baik di tabrak kereta api saja? Apa itu akan terasa sakit?
“Assalammu’alaikum..” sapa saya kepada semua orang yang ada di rumah, sesampainya saya di rumah.
“Kumsalam. Kok lama banget kamu pulangnya? Main, lagi, ya?” tanya mama.
“Nggak ma, tadi ada kecelakaan kereta…”
“Main aja kerjanya kamu, nanti kalau pingsan di jalan, gimana, itu? Sana. Masuk kamar, ganti baju.” Seru mama.
Saya pun masuk ke dalam kamar saya, menaruh buku ngaji saya, dan membuka lemari saya. Saya mengambil sebuah buku diary yang saya sembunyikan di belakang tumpukan baju di lemari. Saya duduk, dan menulis,
“Hari ini, saya dan teman-teman mengaji di madrasah. Ustad Syahrul, menceritakan tentang kisah seorang pemuda yang bernama Uwais Al Qorni yang sangat menyayangi Ibunya, walaupun ia tidak memiliki ayah, tidak memiliki harta, dan tidak berprestasi. Seluruh hidup Uwais ia tujukan hanya kepada Ibunya, dan Allah SWT saja. Tidak ada satupun orang yang mengenalnya di dunia atas ketaatannya kepada Ibunya dan Allah SWT. Namun, Rasulullah SAW, mengucapkan namanya, sehingga namanya terkenal di langit Allah SWT. Kata Ustad, ia adalah contoh anak yang paling berbakti. Bahwa, sesulit apapun hidup kita, kita tetap harus berbuat baik kepada orang tua. Terutama ibu, yang telah melahirkan kita. Agar kita termasuk anak yang mendapatkan syafa’at Rasulullah di padang Mahsyar nanti. Dan bisa masuk surga bersama keluarga yang kita sayangi.
Memangnya, keluarga saya mau ya, masuk surga sama saya?
Oh ya, dan barusan saja, kami melihat kecelakaan kereta api di depan warung Mak Ela. Saya kasihan dengan om itu. Pasti dia sangat sedih hingga dia berani mengambil keputusan untuk bunuh diri di rel kereta.
Kira-kira, kalau saya juga menunggu kereta itu datang, dan mati seperti om itu, apa keluarga saya akan bahagia? Apa mama akan bahagia kalau saya tidak ada? Apa saya bisa masuk surga karena sudah membuat mama bahagia?”
Begitu tulis saya saat itu. Bagi saya, buku diary ini, satu-satunya yang bisa ‘berkomunikasi’ dengan saya karena tidak ada satupun orang di rumah ini, yang mau mendengarkan cerita saya.
Saya terus berfikir, bagaimana caranya agar saya bisa membuat mama bahagia.
“Assalammu’alaikum…ma.. pa..” teriak A Indra dari luar mengagetkan saya.
“Wa’alaikumsalam. A Indra udah pulang? Gimana les nya? Kok pulangnya kesorean, a?” tanya mama lembut kepada a Indra.
“Iya mah. Tadi aa liat ada yang kecelakaan kereta di depan warung Mak Ela, ma…” kata a Indra bercerita kepada mama. Mama mendengarkan a Indra bercerita sambil sesekali mengucap istighfar dan mengelus dadanya. Tak lama kemudian, papa, a Putra dan teh Irma, datang dan mendengarkan dengan seksama cerita dari a Indra. Semua bersahut-sahutan bercerita. Papa, yang cukup kenal dengan keluarga orang yang tertabrak itu dari warga sekitar, pun, ikut bercerita menimpali cerita a Indra.
“Begitulah, kalau hidup nggak pernah bersyukur. Anak nakal, hanya nyusahin orang tua. Jadinya, orang tua nggak sanggup, bunuh diri. Makanya, kalian, jangan begitu sama orang tua. Orang tua capek merawat membesarkan kalian, kalian jadi anak harus tahu diri, sayang sama orang tua. Jangan bisanya nangis-nangis nggak jelas, pura-pura sakit, dan nyusahin orang tua aja!” kata mama, sambil melotot ke arah saya. Saya pun menunduk. Takut.
“Ya udah lah. Oh ya, besok papa ada dinas 3 hari sama Pak Direktur ke Jakarta. Anya. Sini.” Panggil papa meminta saya mendekat.
“Papa minta tolong sama Anya, ya… jangan bikin mama jengkel dan marah. Kalau Anya sakit, Anya kan sudah besar, bisa ambil makan dan obat sendiri, jangan merepotkan mama. Kasihan, mama masih harus rawat adik Nisa yang masih kecil. Ngerti, kan? Jangan dikit-dikit nangis, sugesti diri Anya kalau itu nggak sakit. Ok?” kata papa mengingatkan saya. Saya pun mengangguk. Dalam hati saya, saya ingin menjawab papa, “Tapi Anya juga masih kecil, pa”
“Anya tahu nggak. Dulu tuh, ada film judulnya Ari. Itu tentang anak yang namanya Ari. Filmnya sedih, banget. Orang tua Ari tuh jahat banget sama Ari padahal Ari itu anak yang baik dan pintar. Suka dipukul, dijewer, dikurung di kamar mandi. Anya kan nggak. Jadi, papa minta, Anya baik-baik yah sama mama.” Lanjut papa.
….
Hari ini, kami berjanji akan ke rumah Indah makan udang raja, sepulang sekolah. Karena hari ini, saya nebeng dengan ayah Indah, sepulang sekolah, saya langsung ke rumah Indah.
“Eh… ada Anya. Selamat siang, Anya. Gimana, kabarnya, manis? Sehat? Anya suka udang, nggak? Ini, tante masakin udang raja, kemarin om yang tangkap di tambak. Cobain ya, makan sama Indah dan yang lain.” Kata Ibunya Indah, lembut, sambil mengelus kepala saya.
Rumah Indah, adalah tempat pelarian bagi saya. Entah mengapa, saya merasa sangat nyaman dan aman ketika berada di rumah Indah. Ayah dan ibu Indah sangat penyayang dan juga baik hati. Indah, anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Indah sangat di manja oleh ayah dan ibunya. Setiap kali mama memarahi saya, ayah dan ibu Indah, pasti akan membela saya dan menyembunyikan saya di rumah mereka bersama Indah. Hampir semua orang di komplek ini, mengetahui bahwa mama sangat lelah mengurus saya. Bahwa, mama sering mengeluhkan tentang keadaan saya kepada semua orang. Bahwa saya, adalah anak pungut yang tidak diakuinya terlahir dari rahimnya karena kondisi saya yang berbeda dari saudara-saudara saya.
Memang benar, sering saya memperhatikan diri saya di cermin. Saya tidak secantik teteh saya, saya juga tidak se-menggemaskan adik saya. Saya juga, tidak tinggi seperti papa dan aa-aa saya. Tubuh saya kurus, kulit saya kuning langsat, saya pendek, di bawah mata saya kehitaman, dan bibir saya selalu terlihat pucat. Barangkali, memang benar saya ini anak pungut. Lalu, siapa orang tua saya sebenarnya?
“Gimana? Enak, kan?” tanya Indah kepada kami.
“Enak banget.” Jawab kami serentak.
“Nah.. ini.. sirup markisa pakai es. Seger, nih… enak kan??” tanya ibunya Indah, tante Erina, sambil membawakan kami se-teko besar sirup markisa pakai es batu. Kami tertawa-tawa dan sangat senang.
Adzan Ashar pun berkumandang. Pertanda, bahwa saya harus segera pulang. Saya pun berpamitan kepada tante Erina dan om Broto, juga Indah. Saya, Riska, dan Dian, berjalan pulang menuju ke rumah kami masing-masing. Di tengah jalan, kami mampir ke masjid sebentar untuk sholat Ashar di sana. Kami juga sempat bertemu Ustad Syahrul dan menyalaminya. Setelah itu, kami berjalan masing-masing menuju ke rumah kami. Saking senangnya, saya bersenandung lagu dari Trio Kwek-Kwek, grup penyanyi anak-anak yang popular kala itu.
“Assalammu’alaikum” sapa saya, saat membuka pintu rumah.
“Kumsalam. Dari mana aja, kamu? Main terus, kamu, ya. Pulang sekolah, bukannya pulang, malah keluyuran aja kerjanya kamu tuh. Kenapa sih, kamu sehari aja nggak pernah bikin mama nggak jengkel sama tingkah kamu?”
“Ini, apa? Nulis-nulis apaan kamu, ini? Jadi kayak gini isi pikiran kamu sama mama kamu yang ngelahirin kamu? Gimana bisa anak seumuran kamu, kecil-kecil mikir kayak gini sama orang tua sendiri? Bilangin mama jahat dan nggak sayang sama kamu! Kalau kamu nggak nakal, nggak sakit-sakitan, nggak ngerepotin orang tua, tingkahmu nggak bikin orang tua marah-marah, mana mungkin papa sama mama marah-marah sama kamu? Ha?! Nggak sayang gimana? Itu, sekolah, baju sekolah, makan kamu, semuanya emang nggak dibeli dari uang mama papa? Obat kamu kalau sakit? Kamu pikir itu berapa habisnya?! Ini lagi! Gila kamu, ya! Masa anak sekecil kamu udah ada pikiran mau bunuh diri?! Emangnya kamu diapain di rumah ini??? Kamu nanya-nanya siapa orang tua kandung kamu? Sana cari, kalau kamu bisa. Pergi yang jauh!!! Iiiihhh” kata mama marah, sambil merobek-robek buku harian, yang menjadi teman saya satu-satunya.
“Kenapa mama marah dan benci sama Anya? Anya tadi cuma ke rumah Indah ma, di undang makan, Anya juga mampir ke masjid sholat Ashar dulu sama teman-teman Anya. Kenapa mama marah?” tanya saya terisak sambil memungut sobekan-sobekan buku diary saya. Saya tidak mengerti mengapa mama sangat marah pada apa yang saya tulis di dalam buku diary itu. Karena, semua hal yang tertulis di dalamnya, adalah hal-hal yang selalu saya dengar hampir setiap hari dari mulut mama. Saya hanya menuliskannya kembali.
“Ya Allah, malah ngejawab!! Kamu ini sakit-sakit, jangan-jangan sakit jiwa ya, kamu! Jadi anak terlalu banyak menghayal yang nggak-nggak. Sini kamu!!” kata mama sambil menarik baju saya.
Plak! Tangan mama mendarat tepat di pipi kanan saya.
“Gemes banget aku sama anak ini. Banyak tingkah! Coba aja kamu nggak saya lahirkan ke dunia ini, hidup mama nggak akan miskin dan capek kayak gini ngurus anak kok susah banget dibilangin!” kata mama sambil menangis dan melotot ke arah saya.
Aa Putra yang melihat kejadian itu, menghampiri saya, dan menyuruh saya masuk ke dalam kamar. Saat itu juga, saya mendengar adik bungsu saya menangis kejar. Dari balik pintu kamar, saya memegangi pipi saya yang terasa sangat perih. Dari balik pintu juga, saya mendengar suara mama yang terus menenangkan adik saya yang menangis. Mama terus meminta maaf pada adik saya karena telah membuatnya terkejut dan menangis. Saya masih merasa sangat syok, dan terkejut. Badan saya, seketika gemetar. Saya pun berdiri, berjalan menuju ke arah tempat tidur saya. Saya membaringkan tubuh saya sambil memegangi pipi saya yang sudah tidak terasa sakit. Saya diam menatap ke arah tembok. Rasanya, tubuh saya seketika membeku dan terasa sangat dingin. Keringat mengucur dari kepala saya. Air mata saya pun, tiba-tiba mengering, hati saya terasa sangat sakit. Saya meliukkan badan saya, berharap ada seseorang yang mendatangi saya dan memeluk saya, memberikan kehangatan kepada saya saat ini.