“Ini, buat bayar SPP bulan ini. Langsung di kasih ke guru di gedung administrasi sekolah, jangan di nanti-nanti, ya.” Kata papa berpesan kepada kami sebelum berangkat ke sekolah.
Hari ini, saya memilih untuk bersekolah daripada beristirahat di rumah. Kejadian semalam, membuat saya menjadi sangat takut untuk berada di rumah. Fikiran saya terus terganggu oleh tatapan mama dan papa yang marah kepada saya. Hati saya juga terasa sangat sakit. Mata saya masih ingin menangis, namun, saya faham bahwa tangisan saya hanyalah tangisan yang tidak akan bisa terdengar oleh siapapun di rumah itu. Itu hanya akan membuat mereka semakin tidak menyukai saya.
Sesampainya di gedung administrasi sekolah, saya menyerahkan sebuah buku SPP berwarna pink yang berisikan uang sekolah bulan ini.
“Ini. Sudah lunas, ya. Disimpan baik-baik, ya, bukunya. Jangan sampai hilang. Kembali ke kelas dan hati-hati, ya, nak, ya.” Kata bu Permata, guru yang bertugas di gedung administrasi sekolah. Saya pun mengangguk, dan memasukkan kembali buku SPP itu ke dalam tas. Saya melihat banyak siswa yang juga berbondong-bondong membayar SPP hari ini. Beberapa, di antar oleh ibu dan ayah mereka.
Cuaca begitu cerah hari ini, sinar matahari yang hangat masuk mengintip ke dalam ruangan. Terdengar suara tawa di sana-sini. Di tengah kehangatan suasana ini, saya merasa waktu saya sedang berhenti. Saya merasa bingung dan takut untuk melangkah. Saya bingung, tidak tahu harus memikirkan apa. Saya terus berjalan tertunduk, di tengah sinar matahari yang mulai meninggi.
Ciiiiiiiit……. BAM!!!
“To… tolong! Tolong itu. Hei…” teriak sebuah suara.
Sebuah bus berwarna putih, tiba – tiba menabrak tubuh saya yang mungil dari arah kanan saya. Tubuh saya terseret bersamaan dengan laju bus sekolah yang terus mengerem, hingga akhirnya saya berada tepat di bawah kolong bus sekolah. Tawa riang yang sedari tadi saya dengar, berubah menjadi tangisan dan teriakan minta tolong. Jantung saya berdenyut sangat cepat. Saya sangat terkejut dengan yang barusan saja saya alami. Kepala saya terasa sakit. Punggung dan tangan kiri serta kaki kiri saya juga terasa panas. Saya bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Saya terdiam di bawah kolong bus yang mesinnya masih menderu dan terasa panas. Saya merasa takut. Saya menghembuskan nafas dengan cepat. Saya ingin menangis, namun, saya takut orang-orang akan mendengarkan tangisan saya. Saya malu. Saya membuka mata saya perlahan, melihat bus mesin yang terasa panas itu ada tepat di atas wajah saya. Beberapa kali tetesan yang sangat panas mengenai mulut saya. Pahit.
“To.. tolong, Ya Allah.. ayo, panggil ambulans. Ambil apa, ini tolong, keluarkan anak ini.” Kata sebuah suara yang terus terdengar sangat khawatir.
Orang itu, mencoba menangkap kaki saya, dan memanggil-manggil saya. Saya mendengar orang-orang mulai berkerumun dan mengintip dari setiap sudut. Saya malu. Saya takut. Namun, entah kekuatan datang dari mana, saya langsung memberanikan diri untuk membuka mata saya, berguling ke kanan, berdiri dan langsung berlari menghindari kerumunan. Orang-orang memanggil-manggil saya, namun saya tidak ingin menggubrisnya. Saya terus berlari, dengan menggandeng tas saya yang terputus, berlari ke arah kelas saya. ‘Saya tidak boleh ketahuan.’ Saya takut, mereka akan melaporkannya kepada orang tua saya dan orang tua saya akan marah pada saya. Saya terus berlari, tanpa memperdulikan rasa sakit di sekujur tubuh saya.
Sesampainya di kelas, ketua kelas saya, menyapa saya. “Anya. Kamu kenapa? Bajumu kok kotor, Nya?” tanyanya.
Saya pun duduk di kursi saya. Di belakang. Melipat tangan saya di meja, bersiap untuk belajar. Nafas saya masih terasa panas, jantung saya berdegup dengan sangat kencang. Saya menatap ke depan dengan tajam. Kosong. Pikiran saya kosong. Takut. Saya tidak boleh menangis.
“Nak, kamu nggak apa – apa, nak? Dimana yang sakit? Ayo, kita ke UKS dulu, nak.” Kata seorang pak Guru yang memakai baju olahraga, menghampiri saya dengan tergesa-gesa. Saya melihat ke arahnya. Wajahnya teduh, keningnya mengkerut. Ia merasa sangat cemas. Saya melihat ke sekeliling. Seluruh teman kelas saya mengelilingi saya dan memperhatikan saya dengan wajah yang penuh dengan keheranan. Beberapa siswa dari kelas lain, juga mengintip-ngintip dari jendela kelas.
“Nak, ayo.. ke UKS, nak. Sama bapak, ya.” Katanya lagi. Saya menggelengkan kepala saya. “Nggak apa-apa, Pak.” Jawab saya pelan sambil terus menggelengkan kepala saya. Saya merasa malu. Saya merasa takut dengan tatapan semua orang. Saya benar-benar berharap mereka segera pergi dan tidak menggubris saya.
“Pak. Bajunya sobek, Pak. Berdarah.” Kata ketua kelas melihat punggung saya yang penuh dengan lecet.
Saya kemudian refleks menyandarkan punggung saya ke arah bangku. Benar saja, sakit, perih, rasanya. “Ayo, nak. Berdiri, kita ke UKS, ya.” Kata pak Guru, memegang lengan saya dan membantu saya berdiri. Namun, saat saya hendak berdiri, kepala saya seperti bergoyang, dan sejak saat itu, saya tidak ingat apa-apa.
Pukul 11.30
Suara adzan Dzuhur yang berkumandang, membangunkan saya. Dengan perlahan, saya membuka mata saya. Kepala saya masih terasa sangat pusing. Saya melirik ke arah kanan, lalu ke kiri. Saya berada di sebuah ruangan berwarna coklat. Ada meja belajar saya di dekat ujung jendela yang terbuka. Gordennya melambai-lambai karena terhembus oleh angin. Gorden berwarna coklat keemasan, senada dengan warna cat tembok kamar saya. Saya mencoba duduk. Kasur saya beralaskan sebuah perlak. Saya memegangi kepala saya, yang terasa sangat sakit. Saya melihat ke arah badan saya. Kaki saya penuh dengan daun-daun berwarna hijau yang ditempelkan. Begitu pun dengan tangan kiri saya. Saya hanya memakai celana pendek dan sebuah kaos yang tipis bergambar mickey mouse. Saya mencoba berdiri, namun, badan saya terasa sangat sakit. Saya pun berbaring kembali sambil mengerang.
“Aduh” kata saya, saat punggung saya menyentuh perlak. Saya pun mengingat kejadian beberapa saat lalu, di sekolah.
….
“Kok bisa sih pak anak kami tertabrak bus sekolah?” tanya mama kepada pak Iqbal, pak guru yang ada di UKS.
“Iya, bu. Kami selaku pihak yayasan memohon maaf atas kelalaian supir bus sekolah kami. Kami tadinya mau bawa Anya langsung ke rumah sakit.”
“Udah. Udah. Saya minta kompensasi saja, pak. Kami yang akan bawa anak kami pulang.” Kata papa, melirik ke belakang, melihat saya yang setengah tersadar.
….