Saya pun sampai di kantor papa. Beberapa ruangan terlihat gelap. Saya sangat takut. Namun, saya harus memberanikan diri dan menguatkan tekad saya. Saya turun dari sepeda, dan memarkirnya di aspal. Saya menelusuri setiap lorong dan ruangan yang sudah terlihat gelap. Sampai di ujung, di sebelah lapangan tenis, ada sebuah ruangan yang masih terang. Perlahan, saya mendekat ke ruangan itu. Saya mengintip ke ruangan itu. Itu papa. Papa sedang menatap sebuah komputer di depannya. Tapi…. Siapa wanita yang memakai baju berwarna putih dan rok pendek, yang sedang duduk di pangkuan papa? Mengapa wanita itu mengganggu papa dan tertawa manja ke arah papa? Tiba-tiba saja, seluruh tubuh saya gemetar. Kaki saya terpaku di tempat. Saya takut masuk ke dalam.
“Jadi, istrimu sudah mengendus dan curiga sama kamu, ya, mas?” tanya wanita itu sambil tertawa.
“Yah, biasalah. Instingnya sangat tajam. Sayang sekali, dia benar-benar bodoh. Harusnya dia tanya alasanku berpaling hati darinya.” Jawab papa santai.
“Iya, ya, mas. Kasihan, kamu. Istrimu terlalu egois.” Ucap perempuan itu.
“Dimana-mana, laki-laki akan memperlakukan perempuan seperti ratu, kalau perempuan itu juga bisa memperlakukan laki-lakinya seperti raja. Seperti pemimpin di rumah itu. Bukan seperti pesuruh! Bahkan, untuk mengirim uang ke orang tua dan adikku saja, aku harus diam-diam. Kalau tidak, bisa habis aku dilempari barang olehnya. Hari ini saja, dia melempariku dengan Al-Qur’an ke arah mukaku, hanya gara-gara Anya sakit.” Jawab papa.
“Mungkin, dia sudah tidak mencintaimu, mas. Lepaskan saja dia.” Ucap perempuan itu, sambil membelai pipi papa.
“Aku tidak bisa melakukan itu. Apalagi anak-anak masih sangat kecil. Dan Anya, aku sangat mengkhawatirkan anak itu.” Kata papa, tertunduk.
“Oh.. Anya. Anak kamu yang nomor 4 itu, ya? Yang sering banget sakit?”tanyanya.
“Iya. Kamu tahu nggak? Masa dia tadi saranin aku membuang Anya ke panti asuhan. Sudah gila, apa, dia! Padahal dia kan ibu kandungnya.” Kata papa sambil menghela nafas panjang.
“Udahlah, mas. Barangkali itu memang yang terbaik. Kamu harus ikhlas. Kamu fikirkan saja pelan-pelan untuk kebaikan hidup kamu, mas. Sayang loh, karirmu pasti akan bagus ke depannya. Kamu juga masih tampan. Pasti masih banyak wanita yang mau bersama kamu. Aku, beliin kopi, ya, mas.” Kata perempuan itu sambil berjalan ke arah pintu.
Saat di luar pintu, sejenak wanita itu berhenti dan menoleh ke arah saya. Dia tersenyum. Lalu, pergi begitu saja. Saya pun pelan-pelan mengetuk pintu kantor papa, dan perlahan masuk ke dalam, berpura-pura tidak melihat adegan yang membuat saya semakin kecewa. Saya harus bisa membuat papa pulang dan berbaikan dengan mama. Tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Termasuk perempuan tadi.
“Loh, Anya ngapain ke sini? Sama siapa? Sini. Sini. Duduk di sini.” Kata papa sambil menggandeng tangan saya dan menyuruh saya duduk di sofa. Seketika, sekujur tubuh yang tadinya tidak terasa sakit, malah terasa sangat perih dan sakit.
“A.. Anya minta maaf, pa. Karena sakit, dan membuat papa dan mama bertengkar.” Kata saya pelan, sambil menahan air mata.
“Nggak.. nggak apa-apa, Anya. Kamu nggak usah berfikir yang aneh-aneh, ya. Kamu masih kecil, hiduplah bahagia saja. Nggak usah fikirin tentang mama sama papa. Kami baik-baik saja. Anya pulang, sana. Istirahat. Biar besok bisa sekolah, jadi anak yang pinter.” Kata papa menatap sendu ke arah mata saya.
“Mas. Ini kopinya. Eh, Pak. Ini kopinya.” Kata wanita berambut hitam itu menghampiri papa.
“Oh, iya. Taruh di meja, Ri.” Seru, papa.
“Ini, anaknya, ya, Pak? Cantik. Halo.. saya tante Ria. Nama kamu pasti Anya. Ya kan?” tanyanya, sembari duduk di samping saya dan menyodorkan tangannya. Saya sangat tidak menyukainya. Senyumnya terasa sangat palsu. Saya menatap ke arah papa. Saya hendak bertanya, namun, saya takut. Papa pun berdiri, dan mematikan komputernya. Tiba-tiba, kepala saya terasa sangat pusing. Saya berbaring di sofa sambil menunggu papa bersiap-siap. Sementara, tante Ria pamit pulang lebih dahulu. Kepala saya semakin terasa sakit. Masih banyak hal yang saya ingin sampaikan pada papa.
“Haduh, panas lagi. Kita ke dokter, ya, sayang. Tahan, ya..” kata papa sambil meraba dahi saya. Saya merasakan papa yang menggendong tubuh saya dan membawa saya ke dalam mobilnya. Papa membaringkan saya di kursi tengah. Ia juga sempat berpesan kepada satpam kantor untuk mengantarkan sepeda teh Irma ke rumah dan menitipkan pesan kepada mama, bahwa papa dan saya pergi ke klinik Medika untuk berobat.
“Seandainya saja.. seandainya.. kamu tidak ada, Anya.. mungkin saja hidup kami tidak akan sesulit ini. Tika sudah banyak berubah. Dahulu dia wanita yang cantik, lembut dan mengagumkan. Sejak kelahiranmu, semua menjadi kacau. Wajahnya berubah. Dia tidak pernah lagi tersenyum padaku. Aku benar -benar merindukan Tika yang kucintai dahulu. Aku harus apa sekarang? Aku tidak bisa meninggalkanmu. Tidak bisa. Seandainya saja… Plis, Anya… seandainya saja kamu bisa pergi dari hidup kami… “ kata papa terisak dan menangis.
Dalam keadaan setengah sadar, saya mendengarkan papa bergumam dan menangis dengan kencang. Betapa sakit hatinya. Betapa lelah hidupnya. Papa, yang tidak pernah menangis atau tampak lemah di hadapan kami saat di rumah, kini terlihat sangat goyah. Bahunya gemetar dan air matanya jatuh sangat deras. Berulang kali ia memukul setir mobil sambil memohon.
“Pa…” kata saya lirih, bangun dari tidur saya.
Papa mengusap matanya, “Eh, sudah bangun. Ayo, kita ke dalam. Kita periksa dulu, ya.” Kata papa sambil membuka pintu mobil dan menggendong saya.
Malam sangat gelap hari ini. Langit terasa sangat luas dengan bintang bertebaran, berkelap-kelip. Papa, yang tadi terlihat ringkih dan lemah, tiba-tiba berubah menjadi lebih tegas dan kuat. Tangannya yang besar, menopang tubuh saya yang kecil dan kurus. Papa berlari menyusuri lorong dan beberapa mobil ambulans. Sesampainya di pintu rumah sakit, beberapa orang berbaju putih menghampiri kami dan membawakan sebuah kursi roda. Salah seorang laki-laki, mendorong kursi roda saya, sedangkan yang lainnya, menemani papa ke sebuah tempat.
“Silahkan, ikut saya, Pak. Di isi dulu administrasinya.” Kata seorang laki-laki itu.
“Anya, ikut sama mas perawat. Nanti papa menyusul.” Kata papa.
Orang itu membawa saya ke sebuah ruangan yang terlihat sangat sibuk. Orang-orang mondar -mandir dan berteriak. Beberapa orang, banyak yang terbaring. Ada yang terluka di bagian kepala, ada yang merintih kesakitan, ada yang tertidur lelap dengan selang di tangannya.
“Sini, naik ke atas kasur, ya. Saya cek dulu.” kata perawat itu.
‘Andi.’ Nama yang tertera di kanan bajunya. Kulitnya putih, tubuhya tinggi, rambutnya keriting. “Siapa, namanya?” tanyanya sambil memeriksa tubuh saya dengan sebuah alat.
“A..Anya..” jawab saya lirih.
“Ooo… namanya bagus. Anya kelas berapa sekarang?” tanyanya lagi.
“Kelas 4.” Jawabku.