Tahun 1999.
Tahun demi tahun, berganti. Setiap peristiwa di belakang, selalu menyimpan sebuah kenangan yang begitu lekat di dalam hidup saya yang sebenarnya tidak lagi ingin saya buka. Dua tahun sejak kecelakaan itu, begitu banyak hal yang rasanya tidak ingin saya ingat. Saya dengan terpaksa harus melepas semua kebahagiaan saya bertemu dengan orang-orang yang selama ini menyayangi saya tanpa alasan apapun. Ini sudah saatnya saya harus berpisah dengan luka masa kecil saya. Ini sudah saatnya saya memaafkan seluruh kepingan-kepingan masa kelam yang terangkum dalam bekas luka yang masih tergambar jelas di punggung saya. Seperti menyisakan sebuah tanda lahir, bahwa saya terlahir untuk menyimpan dan menyerap semua luka dari orang-orang yang saya sayangi.
Tahun ini, saya menginjak kelas 5. Kelas saya, sudah mulai di pisahkan dengan sahabat-sahabat saya yang pemberani, karena saya masuk kelas khusus. Prestasi saya meningkat. Karena, selama dua tahun ini, saya mencoba membuktikan diri saya dan seakan menerima tantangan untuk bisa menjadi anak yang baik dan pintar. Semua itu, ternyata tidak sia-sia. Saya menutup setiap album yang bisa membuat saya tertawa dan terkenang hal-hal yang menyenangkan. Saya berfokus pada pencapaian saya, yaitu, diakui di dalam keluarga. Saya sangat takut dibuang.
….
Bel sekolah, berbunyi. Kami berbaris rapi di depan sekolah, menunggu guru memberikan satu pertanyaan. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan lebih cepat, maka lebih cepat juga dia bisa masuk dan memilih kursi.
“Sebutkan isi UUD 1945 alinea ke 2!” ucap pak guru membuka pertanyaan. Syukurlah, saya sudah belajar tadi malam dan berhasil menjawab pertanyaan itu dengan benar. Akhirnya, saya bisa menempati tempat duduk di depan meja guru, bersama dengan teman baru saya, Suci. Hari ini, adalah hari perkenalan kembali. Banyak teman dari kelas lain yang saya tidak kenal. Awal pelajaran, terasa sangat menyenangkan, karena pak Hamzah yang mengajar, adalah guru Sejarah yang sangat humoris dan ramah. Pelajaran Sejarah jadi terasa seperti pelajaran mendongeng. Sangat seru. Kami dibawanya masuk ke dalam imajinasi para pahlawan yang memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Atau, saat Ia menceritakan tentang Sejarah Kerajaan Majapahit, Kerajaan Islam terbesar saat itu.
“Anya. Ayo kita ke kantin.” Ucap Suci saat bel istirahat berbunyi. Kami pun berjalan menyusuri lorong sekolah, melewati UKS, ruang BP dan beberapa kelas. Seketika, saya menunduk. Malu, takut, dan merasa kenangan yang tadinya sudah tertutup rapat, terbuka kembali.
“Selamat jalan, bu Sita…” teriak serentak dari salah satu kelas yang kami lewati. Langkah saya terhenti. Ada perasaan takut, bercampur sedih ketika bu Sita yang baru saja keluar dari ruangan kelas 3-A, berdiri tepat di depan saya. Suci, yang melihat bu Sita keluar, langsung menghampirinya dan menyalaminya.
“Eh, Suci. Sekarang sudah kelas 5, selamat ya. Semoga kalian jadi anak yang pintar dan berprestasi. Anya. Sini, nak.” Panggilnya pelan sambil mengulurkan tangannya. Saya melangkah pelan menuju ke arahnya. Memeluknya. Menangis. Aroma tubuhnya yang hangat, mengingatkan saya kembali ke memori kala itu.
“Jangan menangis. Anya sama Suci jadi teman yang baik selamanya, ya. Saling jaga. Jangan mudah menyerah. Anya, Maafkan ibu Sita, ya. Ibu Sita harus pergi jauh dari Anya. Karena ibu ditugaskan oleh yayasan untuk melanjutkan pendidikan di Aceh. Jangan lupa selalu sholat dan berdo’a. Barangkali, suatu saat nanti, kita bisa bertemu kembali. Saat itu, ibu pasti akan bangga melihat Anya.” Katanya sambil memeluk saya dan mengelus punggung saya.
“Apa bu Sita pergi karena saya dan orang tua saya?” tanya saya pelan, padanya.
“Oh, tidak, nak. Ini karena bu Sita dapat tugas. Do’akan ibu sukses, ya, nak.” Ucapnya sambil berdiri dan melambaikan tangannya kepada kami dan juga murid-muridnya yang di dalam kelas 3. Semua murid bersedih dengan kepergiannya. Beberapa guru dan ibu kepala sekolah juga mengantarnya ke depan gerbang sekolah hingga menaiki sebuah mobil berwarna abu-abu. Saya berbalik, saya berlari melewati ruangan UKS dan ruangan BP lagi, mengejar mobil bu Sita sambil melambaikan tangan. ‘Bu Sita… jangan pergi. Maafkan Anya.’ Kata saya dalam hati.
Suci yang melihat saya, menghampiri saya sambil melihat heran. Saya pun menghapus air mata saya, dan berjalan kembali dengan Suci ke arah kantin. Indah, Riska dan Dian juga sudah pergi. Saya terpisah karena prestasi saya yang berbeda jauh dengan mereka. Kini, mereka ada di gedung kelas lama, yang letaknya cukup jauh tepat di bangunan belakang sekolah. Jam pelajaran kami juga jadi berbeda. Di kelas saya, ada jam pelajaran ekstra setelah pulang sekolah. Jam pelajaran yang khusus membahas materi-materi dan soal-soal dari berbagai mata pelajaran. Kelas ekstra ini disiapkan sekolah, khusus untuk anak-anak berprestasi yang nilainya melampaui target sekolah. Yang akhirnya nanti, akan mewakili sekolah untuk setiap perlombaan sekolah, cerdas cermat daerah, maupun nasional. Biasanya, ada satu atau dua anak dari kelas biasa yang akan ikut. Namun, itu sangat jarang terjadi karena sekolah menetapkan nilai khusus bagi siswa-siswi yang dapat mengikuti kelas ekstra.
Setelah beristirahat, saya dan Suci kembali ke kelas. Hari ini, bel sekolah berbunyi dua kali. Pertanda, bahwa kami dipulangkan cepat. Saya bergegas menuju ke depan gerbang sekolah. Mencari becak wak Abdul yang sedang menunggu. Saya duduk, dan berdiam sebentar menunggu Indah, Riska dan Dian keluar dari kelasnya. Sayang, mereka sepertinya sudah pulang duluan dengan mobil Indah.
Fikiran saya kembali kosong. Saya melihat rompi yang saya pakai, yang menunjukkan prestise anak dari kelas khusus, berbakat dan ber-IQ tinggi di sekolah. Sejak kejadian dua tahun lalu itu, semuanya berubah. Di rumah pun, saya sudah jarang menjumpai mereka, karena mama melarang saya bermain dan menyuruh saya belajar agar saya tidak jatuh ke kelas biasa. Pernah, suatu hari, saya membangkang dan pergi ke luar rumah diam-diam. Saya melilhat teman -teman saya sedang asyik bermain karet di lapangan bola depan masjid. Saya menghampiri mereka dan tertawa bersama mereka. Sayangnya, mama langsung menjemput dan menyuruh saya pulang. Seluruh teman saya, langsung lari dan kabur karena ketakutan.
‘Apa keputusan saya ini sudah benar?’ Barangkali, ini masih terlalu dini bagi saya untuk memaafkan dan melupakan yang terjadi? Karena semua orang yang tulus menyayangi saya, kini, malah pergi dari hidup saya’. Fikir saya dalam hati.
“Assalammu’alaikum.” Sapa saya sesampainya di rumah. Mama masih memasak di dapur. Saya pun masuk ke kamar dan memberitahu mama bahwa saya akan langsung belajar untuk besok. Saya mengunci pintu kamar saya. Melepas rompi dan melemparnya ke atas tempat tidur. Saya membuka jendela yang mengarah ke arah taman bunga anggrek milik mama. Kupu-kupu berwarna putih, tiba-tiba masuk ke dalam kamar saya dan terbang mengitari setiap sudut kamar saya. Pagi ini, cuaca masih sangat cerah. Rasanya, saya ingin sekali berada di luar sana bersama dengan teman-teman saya.
Tiba-tiba saya tersentak. Ada sekelebat penglihatan yang aneh yang mengingatkan saya. Ada wajah bu Sita yang menangis, memohon kepada mama dan papa untuk melepas saya. Tiba-tiba, hati saya terasa sesak. Saya menundukkan kepala saya di tepi jendela. Menangis.
“Anya. Kenapa itu? Kamu nangis-nangis?” tanya mama berteriak dari luar.
“Nggak, ma. Anya lagi ganti baju.” Jawab saya, bohong.
Saya langsung duduk di meja belajar saya, mengambil kunci laci yang saya simpan di kotak pensil saya, dan mengambil buku diary saya. Saya membuka buku diary yang telah lama saya simpan. Perlahan saya membuka dan membacanya kembali.
“Hari Sabtu.
Hari ini, Nia dan Butet datang menjenguk lagi. Mereka membawakan saya kue lemper dan risol yang dibuat Butet. Rasanya enak sekali. Kira-kira, jam 12.30, papa datang saat Butet sedang mengisi air minum di luar bersama Nia. Papa bertanya pada saya, apa saya sudah boleh pulang hari ini. Lalu, papa keluar lagi, mungkin bertanya pada dokter. Tak lama, saya mendengar suara yang ramai dari luar. Ternyata ada Indah dan Ibunya, ada Riska, Dian yang juga datang bersama mama-mama mereka. Mereka menjenguk saya dan membawakan banyak makanan dan mainan juga komik. Saya senang sekali. Hari ini sangat ramai. Saya lihat papa kembali dan mengobrol dengan mama-mama teman-teman saya. Mereka menemani saya hingga sore. Dan mereka memberikan semangat kepada saya agar saya segera sembuh dan bersekolah lagi.
Papa bertemu dengan Butet. Papa berterimakasih kepadanya karena telah membantu merawat saya selama di Rumah Sakit. Papa mengulurkan sebuh amplop kepada Butet. Tiba-tiba, wajah Butet yang ramah menjadi berubah. Butet berusaha menolak amplop itu. Namun, papa memaksa. Akhirnya, Butet dan Nia pergi dan berpamitan pulang.
Saya bertanya pada papa, dimana mama dan kakak- kakak saya dan adik saya. Papa bilang, mama tidak suka ke rumah sakit. Mama memang tidak suka bau rumah sakit dan bau orang sakit. Jadi, hanya ada papa saja yang menemani saya hari ini. Papa terus modar mandir.
“Dok. Gimana? Apa bisa saya bawa pulang?” tanya papa pada dokter Irwan.
“Ini, saya mau lihat dulu, ya, Pak.” Kata dokter, sambil memeriksa perban luka di seluruh tubuh saya bersama Andi. Andi tersenyum pada saya waktu itu.
“Besok, ya, Pak. Baru bisa pulang.” Kata dokter lagi.
“Haduh.” Ucap papa.
Dokter pun pergi, dan hanya ada saya dan juga papa di sini. Saya ingin sekali bertanya pada papa. Apa benar, papa ingin saya pergi dari hidupnya? Namun, saya tidak berani. Dan, tiba-tiba saja, papa bilang, papa pamit pulang, dan akan datang besok sore untuk menjemput saya. Saya sangat sedih. Barangkali, papa memang ingin saya pergi dari hidupnya. Tapi, mengapa papa baik pada saya?”