Tahun 1999.
Apakah kamu pernah mendengar, tentang dunia yang akan berakhir dan menuju ke sebuah ketidakpastian? Saat itu, banyak orang yang ketakutan kalau-kalau kiamat akan datang lebih cepat. Hampir seluruh orang merasa bahwa mereka harus merubah cara hidup mereka, meningkatkan ibadah mereka, lebih banyak bersedekah dan lain sebagainya. Namun ternyata, masa itu hanyalah masa yang ‘terprediksi’ oleh manusia yang hanya memiliki sebuah keterbatasan. Untuk pertama kalinya, di umur saya yang hampir menginjak 11 tahun, saya mulai merasa, bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan.
Hal-hal yang tidak mungkin bisa dirubah sesuai dengan apa yang kita inginkan. Di usia ini, saya mulai mengelola kebijaksanaan dalam diri saya untuk menerima segala sesuatu yang pernah terjadi, adalah bagian dari hidup saya yang malang sebagai seorang anak perempuan yang hanya menginginkan sebuah kasih sayang yang tulus tanpa dibanding-bandingkan atau disesali keadaannya. Orang-orang bilang, saya tumbuh dewasa terlalu cepat dibandingkan dengan anak seumuran saya yang kebanyakan masih ingin bermain. Namun, saya mulai memahami, bahwa ada sesuatu yang memang tidak harus berjalan sesuai dengan keinginan saya. Menerima dan mengalah adalah jalan satu-satunya bagi saya agar dunia di sekitar saya terasa damai dan tidak berisik dengan segala tuduhan-tuduhan, yang sebenarnya itu sudah menjadi takdir yang harus terjadi. Saya mulai bisa menerima bahwa segala yang harus terjadi, memang harus terjadi. Dari semua kejadian yang terjadi dalam hidup saya, hampir semua pengalaman itu, membuat saya menjadi pribadi yang keras. Saya berusaha fokus pada apa yang ‘mereka’ ingin saya capai dalam hidup saya, meskipun saya tidak menyuikainya dan harus kehilangan masa kecil saya. Saya tumbuh dan besar bersama ‘mereka’ yang menuntut kesempurnaan datang dari saya. Karena itu, saya juga mulai belajar untuk menahan segala rasa sakit yang datang. Menahan tangis dan emosi. Saya merasa saya harus fokus untuk ‘bahagia’, yaitu, ‘membahagiakan’ mereka.
Tahun ini, menjadi tahun dimana saya harus fokus pada tujuan saya. Sekali lagi, tujuan itu adalah ‘membahagiakan’ mereka yang menuntut kesempurnaan dalam diri saya. Saya mengasah ilmu saya, saya memiliki target bahwa setiap semester saya harus berada di dalam peringkat. Saya juga berjuang keras, agar saya selalu bisa mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat antar sekolah, maupun secara nasional.
Apa saya bahagia?
Ya, saya harus bahagia, walapun ada hal-hal yang harus saya korbankan. Saya tidak lagi bermain dengan sahabat-sahabat saya. Saat waktunya istirahat, saya hanya singgah membeli roti atau makanan di kantin sekolah, yang kemudian saya bawa ke dalam kelas sambil menghafal buku pelajaran saya, kalau-kalau saja, nanti ada kuis dari guru agar saya bisa cepat pulang dan tidak ditinggal papa lagi. Rasa takut ditinggalkan, menyimpan sebuah trauma besar di benak saya. Seakan-akan, seluruh tubuh saya langsung bereaksi saat ada hal-hal yang bisa saja membuat kejadian masa lampau terulang kembali. Saya mulai menjadi egois pada diri saya. Saya mengabaikan teman-teman yang bercengkrama satu sama lain untuk menghibur saya. Saya berusaha menghindari mereka penuh dengan rasa bersalah yang amat dalam. Namun, benar kata mama. Tidak ada yang dapat menolong saya kalau saya sakit atau kesusahan, kecuali keluarga saya. Karena itu, keluarga harus saya dahulukan. Kini, selain saya takut ‘dibuang’ dan ‘ditinggalkan’, saya sangat takut meninggalkan keluarga saya. Mereka tidak salah. Takdirlah yang membuat saya harus dititipkan kepada mereka.
Keegoisan saya, sedikit membuahkan hasil. Saya tidak lagi mendengar mama mengeluh dan menggerutu kepada saya. Saya tidak lagi melihat papa dengan tatapan marah dan seperti tidak ingin bertemu. Saya tidak lagi melihat saudara-saudara saya sebagai saingan saya, dalam mendapatkan kasih sayang orang tua. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar saya, dan hanya keluar saat makan saja. Saya membuat begitu banyak catatan-catatan penting untuk dipelajari. Kini, laci kecil yang menyimpan semua kenangan, tidak lagi pernah terbuka.
Tahun 2000.
Tahun ini, tahun yang sangat berkesan bagi saya dan sahabat-sahabat saya. Tahun ini, adalah tahun dimana mulai banyak lagu-lagu yang bagus dan berkesan. Tahun ini, disebut tahun milenium. Tahun dimulainya peradaban teknologi yang baru dan mutakhir. Segala hal yang berwarna silver dan milenium, menandakan sebuah sejarah yang berkembang menjadi lebih berteknologi dan beragam. Banyak acara tivi dan kartun yang sangat menarik. Dari Jepang, dari Latin, India, Inggris, Amerika. Semuanya bisa kita lihat melalui saluran televisi. Di tahun ini juga, saya dan sahabat-sahabat saya, akan menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu, SMP. Seperti halnya dunia yang mulai bekerja dengan cara yang berbeda dari sebelumnya, kamipun mulai memiliki cara pandang yang berbeda-beda mengenai tujuan hidup kami di masa yang akan datang.
Sudah hampir satu minggu lamanya, sekolah libur karena kami baru saja selesai ujian nasional. Perasaan mendebarkan meliputi hati saya yang kala itu, sudah belajar dengan sangat sungguh-sungguh agar bisa lulus SD dengan nilai sempurna. Saya sangat berharap, nilai NEM saya saat itu, bisa menembus sekolah-sekolah negeri favorit sesuai harapan mama dan papa. Mama papa saya bilang, masa depan kita tergantung pada nilai yang kita usahakan hari ini. Hanya orang-orang yang pintarlah yang bisa menempati posisi teratas dan mendapatkan kehidupan yang layak. Karena itu, pantang bagi saya, hanya bermain-main dalam hidup. Saya harus bisa menjadi bagian dari orang-orang teratas itu agar tidak ada yang bisa meremehkan saya di kemudian hari.
Selama libur sekolah, saya menghabiskan waktu untuk meraih hati mama dengan banyak membantu mama mengajak adik saya bermain. Saya merasa, satu-satunya cara agar mama menyukai saya, adalah dengan menyukai hal yang disukai oleh mama. Adik saya, salah satunya. Semua hal yang diinginkan adik saya, saya akan berusaha berlapang dada untuk memberikannya kepadanya. Dari mainan, buku yang dicoretinya, pensil kesayangan saya yang dilemparnya, sampai, rambut saya yang kadang dijambak olehnya saat dia sedang kesal saat saya tidak membolehkannya memakai baju micky mouse kesukaan saya. Padahal, saya hanya berjarak 2 tahun dengan adik saya. Tubuh saya, lebih pendek dan lebih kurus juga kecil dibandingkan adik saya yang bertubuh besar, dan sudah mulai setinggi dengan saya. Tidak ada kamus, ‘tidak’ atau menangis lagi saat mama menyuruh saya melakukan sesuatu. Misalnya, memasukkan kerupuk yang baru digoreng mama ke tempat kerupuk, membelikan bahan masakan yang kurang, seperti garam atau gula di warung. Atau, kadang, membeli minyak dengan jirigen ke kedai Mak Ela. Saya juga menghabiskan waktu dengan menontotn film kartun bersama adik saya. Kadang kami tertawa bersama saat ada adegan yang lucu. Di masa liburan sekolah, aa-aa saya, yang sudah berkuliah, justru tidak libur dan sibuk di kampus. Sementara teteh, yang memasuki jenjang SMA, sibuk dengan pesantren kilat di sekolah, selama libur sekolah.
Suatu sore, saat papa baru saja pulang dari kantor, papa menanyakan sesuatu kepada saya yang sedang asyik menonton film kartun Doraemon di ruang tivi bersama adik saya.
“Anya, mau ikut papa mama ke kondangan, nggak?” tanya papa.
“Nggak, pa. Anya di rumah aja mau nonton.” Jawab saya.
“Ya sudah. Kalau gitu, hari ini Anya boleh main di luar dan nginap di rumah Indah kalau Anya mau.” Kata papa saat itu, mengejutkan saya.
“Beneran, pa?” tanya saya tidak percaya. Saya langsung berdiri dari tidur saya di depan tivi. Wajah saya tampak sangat senang, dan hati saya seperti sedang berbunga-bunga.
“Iya. Satu hari saja, tapi, ya. Jangan sampai merepotkan mereka dan bikin malu di sana.” Pesan papa. Saya pun mengangguk. Saya bergegas menuju ke depan telepon, dan menekan nomor telepon rumah Indah. Saya memberitahunya, kalau saya dibolehkan bermain hari ini dan menginap di rumahnya. Indah, sangat senang. Katanya, dia akan segera menelpon teman yang lain untuk mengajak mereka menginap juga.
“Ngapain sih malah nyuruh anak ini nginap di rumah orang. Nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Kita juga yang kena.” Kata mama khawatir.
“Sudahlah. Cuman sehari saja. Biarkan saja. Lagipula, nanti mereka semakin jarang bertemu. Anak-anak itu, akan melanjutkan sekolah SMP-nya di yayasan itu. Anya kan tidak.”jawab papa pada mama.
“Ya sudah kalau kamu bilang begitu. Pokoknya kalau ada apa-apa, aku, nggak mau tanggung jawab. Padahal kan, Anya bisa di rumah saja, jaga rumah. Biar dia bantuin mama di rumah.” Ucap mama merajuk.
“Sudahlah, senakal-nakalnya Anya, memangnya dia bakal bikin apa sih? Dan ini, keluarga Pak Brotoseno, kalaupun Anya memecahkan satu saja piring di rumahnya, atau meminjam sepeda Indah, dia tidak akan marah. Lagipula, Anya dan Indah kan bersahabat. Tidak mungkin mereka akan bertengkar. Tidak perlu berlebihan.” Kata papa.
“Itu yang aku tidak suka. Karena aku tidak setara dengannya. Setiap Anya habis nginap di rumahnya, Ibunya menitipkan banyak sekali makanan. Kadang, dia membelikan baju buat anak kita. Memangnya kita ini pengemis, apa?! Sombong banget!” ucap mama kesal.
“Sudahlah. Sudah. Cepat siap-siap.” Seru papa.
Setelah saya selesai memasukkan baju ganti dan buku pelajaran saya ke dalam tas, saya berpamitan kepada mama dan papa. Saya mengayuh sepeda saya dengan riang menuju bundaran pesawat, sebuah taman di depan komplek, tempat kami berjanji akan bertemu.
“Anya..” sapa mereka riang. Saya menghampiri mereka. Kami berlompatan sambil bergandengan.
“Ih.. senang kali aku, lihat kau lagi, Nya. Akhirnya kau dah dibolehin main sama mamakmu. Kangen kali kami, lo…” kata Riska.
“Iya, Nya. Aku juga. Kangen kali sama kau.” Kata Dian menimpali.
“Eh, dah lama kita woy, nggak main, kan. Siapa… yang mau jadi Ranger Merah??” kata Indah sambil bercanda.
“Aku.. Aku.. Aku..” kata kami sambil saling menyikut dan tertawa.
“Dah, lah. Nggak paten kali rebutan, hompimpa aja kita, woy.” Kata Dian. Kami pun ber-hompimpa, untuk menentukan siapa yang akan menjadi ranger merah, pink, putih dan biru.
Kami berlarian mengitari taman pesawat sambil menirukan adegan power ranger di televisi. Kami berimajinasi seolah-olah kami sedang melawan monster pohon yang mengitari taman. Kami menggerak-gerakkan tangan kami, menirukan power ranger yang berubah dari manusia biasa, mejadi manusia super dengan senjata di tangannya. Kami menirukan bunyi suara, menggerakkan kaki, menendang-nendang ranting cemara yang pendek, seolah-olah sedang berantem dengan musuh.
“Awas, Ranger Merah, di belakangmu. Ciaaaat” kata Riska sambil meninju ranting di sebelah Indah, si Ranger Merah. Sayangnya, ranger merah tertembak musuh. Sayapun, menghampiri Ranger merah, “Kamu tidak apa-apa, ranger Merah?” tanya saya padanya.
“Teman-teman, ayo kita berkumpul dan satukan kekuatan.” kata Ranger Pink, atau Dian.
Kamipun menirukan formasi penyatuan kekuatan para Ranger, persis seperti yang kami lihat di televisi. Dan berakhirlah. Monster pohon telah dikalahkan oleh para Rangers. Kami tertawa. Rasanya, bahagia sekali bisa bermain lagi dengan mereka. Kami pun mengatur nafas kami yang sempat tersengal-sengal karena berlarian dan melompat. Kami duduk di atas taman, saling menyenderkan bahu masing-masing. Kami menikmati sejenak angin sore yang lembut dan dingin. Kami melamun menatap ke arah langit yang mulai memerah, tanda senja akan segera datang.
“Jadi, kau sekolah dimana, nanti, Nya?”tanya Riska.
“Nggak tahu aku keterima dimana. Moga aja aku keterima di salah satu SMP Negeri favorit sesuai harapan papa mamaku. Do’ain ya woy..” jawab saya.