Layang-Layang

Aliya Sani
Chapter #7

MABID "Hati Yang Menjadi Terang"

Apakah ada hal yang paling membuatmu merasa paling dihargai di dalam sebuah keluarga?

Apakah ada hari dimana kamu merasa berhasil telah membuat semua orang yang meremehkanmu, berpaling dan bertepuk tangan mengakuimu?

           Ketika semua kerja keras dan pengorbanan itu, terbayar oleh satu ucapan, “Wih, keren banget. Hebat. Lihat tuh. Kalian harusnya bisa jadi seperti dia.”

Bagaimana rasanya? Apalagi, kata-kata itu, keluar dari orang yang selama ini tidak pernah melihat keberadaanmu dan menginginkanmu pergi jauh dari hidupnya.

Tahun 2001

           Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan masuk sekolah. Dari tiga sekolah negeri yang saya daftarkan dengan NEM saya, ternyata ketiganya masuk. Ini pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bahwa diri saya hebat. Ini pertama kalinya, saya merasa sangat sayang pada diri saya sendiri.

“Ayo, semua. Udah siap? Cepetan. Kita ke SMP ini dulu, lihat pengumuman Anya. Kira-kira masuk nggak, ya?” ucap papa pagi-pagi.

           Ini hari libur. Semua orang berada di rumah. Papa mengajak kami semua untuk melihat pengumuman masuk SMP Negeri. Perasaan berdebar terus menghantui saya sepanjang perjalanan, terlebih lagi, semua keluarga saya ikut untuk mengecek nilai dan peringkat saya. Saat kami sampai di SMP pertama yang saya daftar, papa bergegas menerobos orang-orang yang berkerumun di papan pengumuman. Papa mencari-cari nama saya.

“Ada…. Wih. Keren… Anya, selamat, ya. Kamu diterima di SMP ini. SMP favorit, lagi. Keren, Anya. Hebat. Anya pintar karena Anya sangat mirip sama papa.” Kata papa. Matanya berbinar, senyumnya lebar merekah, pipinya memerah. Papa memeluk saya sambil menepuk-nepuk punggung saya. Ternyata, keberuntungan itu memang ada.

“Tapi, ini sekolahnya kejauhan. Siapa yang nganter? Banyak SMP deket rumah, kok malah lulus di sini?” jawab mama ketus.

“Ya sudah, kita lihat yang lain.” Kata papa lagi sambil menyuruh saya masuk kembali ke dalam mobil.

“Tuh, lihat. Anya aja bisa sekolah masuk negeri. Keren kan, dia peringkat 9, loh. Nilainya masuk 10 besar.” Kata papa membanggakan saya di depan saudara-saudara saya.

           Papa terlihat sangat senang. Bahunya yang kala itu gemetar karena menangis, kini bahunya gemetar karena bahagia. Ia merasa ada cerita yang Ia bisa banggakan kepada teman-temannya di kantor, tentang saya. Kami pun berbalik arah menuju ke tempat ke dua dan ke tiga. Dari semua SMP yang saya daftarkan, semuanya masuk dalam peringkat 5 dan 10 besar. Betapa bangganya papa saat itu kepada saya. Ia yakin, bahwa saya akan bisa meneruskan kesuksesannya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di pemerintahan.

“Kamu harus serius, nggak semua orang bisa masuk sekolah negeri favorit. Kalau kamu sudah dewasa, kamu pasti mudah masuk kuliah negeri dan jadi PNS yang sukses seperti papa.” Katanya.

‘Ternyata, papa ingin kami mengikuti jejaknya menjadi seorang PNS.’ Pikir saya dalam hati.

Lihat selengkapnya