Layang-Layang

Aliya Sani
Chapter #8

Alasan Aku Mendekat PadaNya "Allah memberi ujian bukan karena marah, melainkan karena Allah Sayang"

Ini bukan pertama kalinya saya bermimpi tentang Ka’bah. Kali ini, saya dibawa ke dalam suasana yang begitu khusyuk. Saya sama sekali tidak merasakan kekhawatiran, kebingungan, apalagi ketakutan. Saya melihat tubuh saya yang sudah semakin tinggi. Saya juga memakai setelan jubah dan jilbab panjang berwarna putih sampai menutupi setengah badan. Ada perasaan yang tidak pernah saya rasakan seperti sebelumnya. Saya merasa saya mulai mengerti rasa ingin selalu mendekat kepada-Nya. Saya menangis di depan rumah-Nya, menyesali atas segala kejadian-kejadian yang menyedihkan. Saya menangisi seluruh prasangka saya terhadap-Nya atas penciptaan saya di muka bumi ini. Nafas saya terasa turun naik tak beraturan, beriringan dengan derai air mata yang terus saja mengalir. Saya begitu ingin di ampuni atas kesalahan saya karena telah lahir ke dunia ini. Saya ingin di ampuni atas dosa saya yang telah banyak membuat orang tua saya menjadi membenci saya. Perlahan, saya berjalan menuju ke arah depan sambil menahan sesak di dada karena terbayang dengan ucapan mama dan papa. Pantaskah saya berada di sini dan mengadu pada-Nya? Saya menciumi batu suci yang diturunkan dari surga itu. Saya tidak bisa menggambarkan aroma ketenangan yang dipancarkannya. Hening. Suasana yang tadinya ramai dengan orang-orang yang sedang berkeliling mengelilingi Ka’bah, tiba-tiba semua hilang dan menjadi sepi. Hanya ada saya di depan Ka’bah.

“Saya mohon ampun, Yaa Rabb. Jika memang kelahiran saya adalah sebuah kesalahan, maka ambillah kembali saya ke pangkuan-Mu. Biarkan mereka bahagia seperti seharusnya.”

           Tiba-tiba saja, saya melihat sosok diri saya dari kejauhan.

           ‘Bruk!’           

           Saya terjatuh di tengah orang-orang yang kembali terlihat ramai berkeliling mengelilingi Ka’bah sambil mengucap asma-Nya. Beberapa orang datang berbondong untuk mengangkat saya keluar dari kerumunan itu dan menyingkir dari sana. Mereka membawa saya ke tepi, sambil mencoba memukul-mukul pipi saya, membangunkan saya. Saya panik. Saya mulai bingung dengan apa yang saya lihat. Ini terasa sangat nyata. Saya mondar-mandir mencoba memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba, saya melihat sosok diri saya yang terbaring, sedang tersenyum. Jiwanya telah bertemu dengan Rabbnya di rumah-Nya yang suci. Kini, jiwa yang begitu sesak, telah bebas dan tidak terasa lelah lagi. Ia telah terbebas dari belenggu dendam dan sakit hati yang membekas dari kejadian di masa kecilnya. Sosok diri saya itu, telah meninggalkan dunia dengan sejuta kata maaf yang telah diberikan kepada mereka yang selama ini meninggalkannya sendirian di ruang yang hampa dan gelap di dasar hatinya.

Saya pun terbangun, sambil tersenyum. Mimpi itu, benar-benar mimpi yang sangat indah. Saya tidak tahu apakah mimpi itu bagian dari sebuah mimpi atau sebuah pertanda masa depan saya. Atau, barangkali, itu bentuk sebuah harapan yang selama ini terpendam dalam benak saya.

Sejak saya beranjak dewasa, saya mulai bisa memposisikan diri saya agar saya semakin ‘tidak terlihat’. Dan beberapa kejadian yang cukup ‘ajaib’ juga terjadi sepanjang perjalanan saya mencari jati diri.  

Awalnya, saya fikir, itu hanya sekedar suara-suara yang tidak jelas dan mimpi yang aneh. Namun, seiring berjalannya waktu, hal itu terus berulang dan terjadi tepat sesuai dengan apa yang saya lihat. Mereka bilang, itu hanya ‘déjà vu’. Tapi, bagi saya, itu bukan sekedar ‘déjà vu’, karena tidak sedikit dari peristiwa yang saya lihat, saya bisa merubahnya. Kelainan itu, sempat membuat saya panik dan merasa takut. Namun, perlahan, saya menyadari. Hal itu, masih lebih baik dibandingkan dengan terus merasa terpuruk atas kesalahan ambigu yang tidak berdasar dan tidak pernah saya lakukan. Saya merasa, kini saya memiliki sebuah beban untuk merubah hidup orang-orang yang saya lihat dalam mimpi saya. Orang-orang yang tidak beruntunglah yang bisa merasakan betapa sakitnya ketika keberuntungan tidak pernah berpihak pada dirinya. Semakin sering saya mendalami, dan semakin sering saya melihat kepada masa lalu dan masa depan orang lain, semakin saya memahami makna mengapa Tuhan memberikan penglihatan itu kepada saya. Barangkali, Tuhan tidak ingin saya terus bersedih, dan ingin membuat saya sibuk. Tapi, saya fikir, Tuhan sedang mencoba memberikan saya jawaban, bahwa, di luar sana, banyak orang yang juga tidak seberuntung saya. Barangkali, Tuhan ingin mengatakan kepada saya, bahwa kelahiran saya bukanlah sebuah kesalahan apalagi hukuman. Allah tidak marah atas kehadiran saya. Terkadang, orang tua tidak bisa memahami makna ridho Allah yang sebenarnya. Kadang, mereka hanya bersembunyi di balik kata, “ridho Allah adalah ridho orang tua. Marahnya orang tua adalah marahnya Allah.” Tidak. Ujian yang selama ini mengikuti hidup saya, bukan tanda bahwa Allah marah pada saya, melainkan, tanda betapa besar Allah menyayangi saya. Karena, tidak semua orang diberi ujian yang sama. Hanya orang-orang yang tetap percaya dan bertakwa kepada-Nya lah, yang akan menuai sebuah janji yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Bandung, 2007

           “Ka, tolong dirubah deh naskahnya. Ini nggak banget. Nggak bakalan laku, kalau masalah keluarga yang sedih-sedih begini. Coba kamu cari ide yang lain. Sekarang tuh, lagi musim cerita-cerita persahabatan sekolah kayak AADC (Ada Apa Dengan Cinta). Coba deh. Kamu pasti punya kan, pengalaman yang menyenangkan saat SMA? Itu aja kamu jadiin cerita, terus, kamu kirim lagi naskahnya ke saya.” kata Kang Angga.

           Ika, dari nama Arunika, begitu ia memanggil saya. Di tahun ini, akhirnya saya keluar dari rumah dan berkuliah di sebuah universitas swasta, jurusan teknologi komputer, di kota Bandung. Walaupun, penuh pertengkaran untuk bisa keluar dan mendapatkan izin dari papa dan mama saat itu, tetapi, akhirnya, saya bisa meyakinkan mereka untuk mengizinkan saya karena saya lolos beasiswa. Sehingga, papa hanya membayar setengah dari SPP saya waktu itu. Selain itu, saya juga berjanji akan menjaga nama mereka baik-baik. Tidak sakit, tidak merepotkan orang lain, dan bekerja paruh waktu untuk membayar sisa uang kuliah saya. Saya juga berjanji, bahwa saya akan kuliah bersungguh-sungguh dan mengembalikan semua modal yang telah mereka keluarkan untuk biaya sekolah saya.

           “Tapi Kang, tolong di kasihkan dulu sama directornya. Dibaca, Kang. Bukankah arah FTV juga harus bisa jadi trendsetter, Kang? Saya yakin, orang-orang akan suka.” Ucap saya, memohon kepada Kang Angga.

           Kang Angga adalah, senior yang saya temui saat saya magang di sebuah majalah lokal sebagai design layout di Majalah, tempat kami bekerja. Kang Angga, sangat perhatian kepada mahasiswa baru yang kerja di majalah itu. Suatu hari, Kang Angga keluar dengan alasan, ia telah diterima di salah satu Production House yang memproduksi banyak FTV di masa itu. Hubungan saya dengan Kang Angga masih akrab dan juga baik. Kami sering berkomunikasi melalui Facebook atau Friendster. Kami sering saling meninggalkan komentar penyemangat agar kami semangat menjalani hari-hari kami. Suatu hari, Kang Angga mengirim pesan kepada saya, di tengah tugas kuliah yang menumpuk.

“Assalammu’alaikum, Anya.”

“Eh.. Kang… Wa’alaikumsalam. Ih, Kang, kan udah pernah di bilang, jangan panggil Anya.”

“Oh, iya, lupa. Ikaaaaa… kumaha, damang?”

Pangestu, Kang. Aya naon, ih? Tumben..”

“Ini, Akang lagi nyari naskah baru buat diajukan ke PH. Terus Akang inget deh sama kamu. Kamu kan jago tuh bikin cerita, cerpen, puisi. Kamu mau coba bikin naskah, nggak?”

“Naskah untuk FTV?”

“Iya… mau, ya… lumayan bayarannya buat tabungan biar bisa pulang ke Makassar.”

“Tapi, saya teh nggak tahu caranya, Kang.”

“Nanti Akang kirimin deh, contoh naskah AADC. Mau? Tapi itu kan film, kamu cuman bikin setengahnya aja. Cuman nyontek cara penulisannya aja. Atau nggak, besok, Akang mampir deh di kos-an kamu. Kita bahas. Gimana? Mau?”

“Dari mana tuh naskahnya? Emang boleh ya?”

“Ya.. ada yang ngasih, buat kenang-kenangan. Nggak boleh, tapi kan cuman dipakai buat kamu belajar aja. Gimana? Mau, nggak?”

“Ya.. ok deh. Saya coba, Kang. Nuhun, ya, Kang.”

“Siiip. Besok Akang sms lagi ya kalau udah di depan kos.”

“Ok”

           Saat saya naik kelas 2 SMP, papa tiba-tiba mendapatkan surat dinas untuk pindah ke kota Makassar. Saat itu, kami sekeluarga sangat senang karena papa akan naik pangkat dan kehidupan kami akan semakin membaik. Saya menghabiskan waktu remaja saya di kota Makassar. Budaya, bahasa, bahkan makanannya sangat berbeda dengan Medan, tempat saya besar dna tumbuh.

“Anya, kamu jangan lupain kita ya, Nya.” Kata teman-teman saya waktu itu. Mereka sangat sedih, karena kini, kami benar-benar akan terpisah. Hanya surat-surat lah ynag menghubungkan kami waktu itu.

           Kehidupan SMA, saya jalani seperti layaknya anak-anak lain. Saya tidak pernah berharap lebih dengan pertemanan, karena saya takut akan mengecewakan mama dan papa. Tapi, saya fikir, masa SMA justru membuat saya tumbuh semakin kuat dan percaya diri. Teman-teman Makassar saya, banyak mengajarkan saya tentang keihklasan, dan juga cara pandang yang positif. Mereka menemani masa remaja saya, yang masih diwarnai dengan drama sakit, sering ke UKS, dan tiba-tiba mimisan di kelas. Masa itu juga, saya mengetahui tentang penyakit yang selama ini saya derita. Penyakit yang selama ini, membuat papa dan mama saya sangat geram dan benci kepada saya. Karena, kalau saya sakit, pasti saya akan menghabiskan uang mama papa untuk berobat.

“Anya, kita ke rumahku mi saja, nah. Nanti, saya mintakan papaku cek kan ki penyakitta.” Kata salah satu sahabat saya, yang bernama Ridho. Ridho, dikenal sebagai anak dari dokter yang cukup terkenal di daerah Maros. Ayahnya, adalah dokter umum, yang praktik di rumahnya selalu ramai.

“Jangan mi, dho. Ndak ada uangku,” jawab saya, saat Ridho, Imma, Inna menemani saya di UKS sekolah karena saya tiba-tiba mimisan lagi untuk yang kesekian kali saat di kelas.

“Ndak usah mi bayar. Nanti saya yang bilang. Tenang mko.” Jawabnya lagi. Benar saja, sepulang sekolah, mereka menunggu saya di dalam mobil Ridho menuju ke rumahnya.

           Sesampainya di rumah Ridho, ia mengantarkan kami ke sebelah garasinya yang dijadikan klinik pribadi, tempat ayahnya berpraktek.

“Anya. Masuk.” Kata Ridho. Teman-teman saya pun, ikut mengantarkan saya masuk ke dalam sebuah ruangan yang bernuansa putih.

“O, ini temannya Ridho yang suka bantu kerjakan PR Bahasa Inggris dan Kimia, ya?” tanyanya tersenyum ramah.

“I.. Iya, Om.” Jawab saya pelan.

“Ayo, naik ke kasur. Saya periksa dulu, ya.” Ucapnya lagi sambil memakai stetoskop dan mulai memeriksa.

“Duduk sini.” Ucapnya. “Yang lain, bisa ke luar dulu, tunggu di dalam sama Ridho”

Lihat selengkapnya