Layang-Layang

Aliya Sani
Chapter #9

Sebuah Penglihatan

Bandung, 2009

           Hari ini, saya memutuskan untuk pulang kembali ke kos-an setelah bekerja meliput acara Inbox SCTV di SMANDA Bandung. Ini pertama kalinya, saya merasa, saya bertanggung jawab atas sebuah penglihatan yang diberikan Allah kepada saya. Waktu saya di kota ini juga hanya tiga tahun. Persis seperti janji yang saya setujui dengan papa dan mama saat memilih pergi meninggalkan rumah dan memililh hidup mandiri di kota Bandung sebagai mahasiswi.

“Bu! Permisi, Sebaiknya Ibu turun di sini sekarang. Hati-hati, Bu. Orang itu berusaha nyopet.” Kata saya pada seorang Ibu paruh baya di dalam sebuah angkot saat dalam perjalanan pulang menuju kos dari kampus.

           Ini bukan pertama kalinya saya memperingatkan seseorang. Dengan percaya diri, saya memberitahu seseorang yang akan terkena musibah untuk berhati-hati. Awalnya, saya tidak terbiasa dengan semua penglihatan yang saya lihat. Tiba-tiba saja, ada sebuah gambaran peristiwa yang melibatkan orang yang sedang bersama saya, atau berada di depan saya.

           Awal mula penglihatan ini muncul, adalah setelah saya divonis leukimia oleh dokter Arif. Sejak saat itu, mama dan papa berusaha memanggil ‘orang pintar’ untuk menyadarkan saya. Mereka beranggapan kalau saya sedang diguna-guna atau di sihir oleh orang yang sejatinya membenci keluarga kami. Mama dan papa menyuruh saya meminum ramuan mantra yang telah dido’akan oleh ‘orang pintar’ tersebut. Naas, saat itu, keadaan saya malah makin melemah. Semakin saya berusaha menutupinya dengan berpura-pura sehat, semakin lemah badan saya.

           Suatu hari, saat kaki saya yang mulai terasa kaku dan sulit untuk berjalan, di urut oleh ‘orang pintar’, saya berdo’a pada Allah, memohon kesembuhan melalui apapun yang dikirimkannya. Karena, saya sangat takut. Saya takut dan saya tidak suka dengan sosok ‘orang pintar’ yang mengurut kaki saya, yang justru membuat kaki saya semakin sakit. Selain itu, saya juga sudah tidak menyukai minuman mantra yang selalu diberikannya. Saya pasrah pada Allah. Di tengah kepasrahan saya, tiba-tiba sebuah lebah masuk ke dalam rumah. Saya, yang terbaring lemah, merasa ketakutan. Saya mencoba memberitahukan mama dan papa kalau ada seekor lebah besar masuk ke dalam rumah. Namun, tidak ada satupun orang yang menggubrisnya. Semua fokus dengan do’a yang dimantrai ‘orang pintar’ itu. Tiba-tiba saja, lebah itu menyengat kaki saya yang sedang terasa kaku. Lalu, lebah itu pun menghilang. Tak lama, kaki saya terasa sedikit panas. Dan tiba-tiba saja, saya mulai bisa menggerakkan kaki saya. Saya bingung. Itu peristiwa Ajaib pertama yang saya alami seumur hidup saya. saya pun perlahan, menekuk lutut saya. Semua orang terkejut, termasuk ‘orang pintar’ itu. Setelah hampir seminggu saya terbaring di kasur karena kaki saya yang terasa kaku dan membengkak, selama itu juga ‘orang pintar’ itu mengobati saya dengan berbagai ramuannya. Tetapi, di hari saya memasrahkan hidup saya pada Allah, Allah mendatangkan lebah itu untuk menyembuhkan saya. Sayangnya, ‘orang pintar’ itu malah merasa ia yang telah berjasa membuat kaki saya sembuh.

           Di situ, saya yakin, Allah tidak pernah meninggalkan saya. Oleh karenanya, setiap penglihatan yang diberikan-Nya melalui sebuah ingatan atau Gambaran seketika, saya mencoba menelaahnya dan menggunakannya sebagai kesempatan saya merubah sesuatu.

 

Maros, 2005  

Peristiwa Ajaib lainnya, adalah, ketika mama mengundang seorang ustadz ke rumah untuk me-ruqyah. Lagi-lagi, alasan mama adalah untuk mengobati saya, anak yang nakal di mata mama. Saat itu, saya baru saja pulang dari sekolah. Tiba-tiba, di dalam rumah, saya melihat mama yang sedang menangis dan sesekali berteriak. Suasana rumah, sedikit menakutkan. Ada hawa yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata saja. Saya menyelinap ke dalam rumah dengan sangat hati-hati, karena saya sangat takut mengganggu ritual yang sedang berlangsung itu. Papa, yang duduk di atas sofa, melihat ke arah saya, dan menunjuk ke arah saya agar saya mendekat ke arahnya. Saya memperhatikan bagaimana ustadz itu membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang cukup familiar di telinga dan ingatan saya. Saya melihat mama yang berguling-guling di karpet sambil mengucapkan sesuatu yang tidak jelas. Hari itu, hanya ada saya, papa, mama dan Nisa. Nisa kini sudah remaja. Parasnya sangat cantik, seperti mama. Ia juga mulai menjadi lebih religious. Ia sudah memakai jilbab besar hampir menutupi seluruh tubuhnya walau dia masih SMP. Karena perubahannya itu, mama tentu saja menjadi semakin sayang padanya. Mama sering membandingkan saya dengannya, dan sering juga mengatakan kepada saya, bahwa Allah telah memilih Nisa sebagai jembatan surga mama dan papa. Sementara saya??? bukan. Mama berfikir, saya sebaliknya.

Bagi saya, saya tidak bisa menilai seseorang apalai diri sendiri, sebagai orang beriman dan menjadi jembatan surgawi bagi kedua orang tuanya. Di dalam keluarga saya, mama sangat keras terhadap hal-hal syari’at sejak melihat Nisa mulai memakai jibab besar. Namun, bukan berarti selama ini saya tidak menjalankan perintah-Nya. Saya sholat, mengaji, dan juga memakai jilbab walaupun bukan jilbab yang sangat besar. Hanya Jilbab yang cukup menutupi dada. Namun, cara berpakaian saya lah yang membedakannya dengan adik saya. Dan, saya tidak senang mengumbar tentang ibadah saya. Saya tidak terang-terangan mengaji di ruang tamu, atau, saat mama dan papa mengetuk pintu kamar saya, contohnya. Saya lebih memilih berhenti mengaji dan bersiap. Mengapa? Karena saya malu. Saya takut di komentari. Saya takut saya masih banyak kurang dalam beribadah. Saya sangat takut Allah tidak menerima ibadah saya jika seseorang melihatnya. Sementara, keinginan saya, hanya ingin diterima oleh-Nya jika suatu waktu Ia memanggil saya.

Lihat selengkapnya