Ini tahun terakhir saya sebagai mahasiswa. Tabungan saya, sudah cukup rasanya untuk membawa saya kepada impian saya suatu hari nanti. Ini saatnya, saya membawa ijazah dan menunjukkannya kepada mama dan papa.
Tahun ini, saya merasa saya harus mulai fokus pada tugas-tugas kuliah saya. Saya sangat ingin belajar dengan serius agar semua bisa selesai tepat waktu. Dan akhirnya, untuk mengejar target itu, saya juga harus menghempaskan kesukaan saya pada menulis. Saya menyimpan semua cerita-cerita yang belum pernah ter-publish di sebuah folder yang saya tulis dengan judul “FOLDER MATI JANGAN DIBUKA”. Semua mimpi itu harus saya kubur dulu, demi ijazah Diploma Ilmu Komputer, agar bisa digunakan untuk mendaftar sebagai PNS, sesuai keinginan mama dan papa.
Saya juga keluar dari seluruh pekerjaan paruh waktu saya. Saya mulai tidak menggubris teman se-kos saya yang sering mengajak keluar untuk menenangkan pikiran. Saya lebih memilih untuk menyendiri saja di dalam kamar kos berukuran 3x3m persegi.
“Di, hati-hati. Ingat, kamu harus pulang sebelum jam 8 malam ya, Di. Karena kalo nggak, HPmu bakal dicopet orang.” Kata saya mengingatkan Diana yang hendak pergi dengan teman lelakinya, menonton konser di lapangan Gasibu.
“Ika, lu bikin takut aja deh. Tiap kata yang keluar dari mulut Ika kayak orang tua gue. Iya, Mbah Ika. Udah, sono, ngaji lagi. Doa’in gue, ya.” Katanya sambil tertawa.
Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 22.45 WIB, pintu kamar saya diketuk.
“Ika…Ika… lu udah tidur?” tanya Diana.
“Kenapa, Di?” tanya saya balik sambil membukakan pintu kamar dan membiarkan Diana dengan wajahnya yang sangat gelisah, masuk ke dalam kamar.
“Hp gue… Hp gue ilang, Ka. Mampus gue ni bakalan dimarahin sama Nyokap.” Katanya cemas sambil mondar-mandir.
“Udah. Udah. Duduk dulu. Nih, minum. Lu tadi pulang jam berapa, emang, Di?” tanya saya balik, sambil mengumpulkan kesadaran saya yang terkaget karena dibangunkan Diana.
“Nggak tahu, gua nggak liat jam, Ka. Ini gua baru balik. Sekarang jam berapa?” tanyanya sambil melihat ke arah dinding.
“Yah.. kan gua udah bilang tadi, jam 8 aja pulangnya. Bener, kan?” ucap saya lagi sedikit merasa kecewa dan prihatin.
“Lu… kok bisa tahu, Ka, gua bakal kehilangan Hp?” tanyanya mulai penasaran.
“Nggak tahu, Di. Gua… mimpi… ngeliat lu di copet.” Jawab saya.
“Udah, gitu, aja? Trus kok bisa kejadian? Lu…. Bisa ngelihat sesuatu, ya, Ka?” tanyanya mulai sedikit ketakutan.
“Ng… nggak, Di. Itu tebakan gue aja, kali. Nggak usah takut, gitu, lah. Apa ya namanya? Déjà vu. Nah. Itu… anggep aja gitu…” jawab saya menjelaskan dengan terbata.
“Aneh lu, Ka. Haduh… gimana nih? Gua bilang apa sama Nyokap?” tanyanya mulai khawatir.
“Ya udah, jujur lah.. lu minta maaf sama nyokap lu, Di. Terus, belajar yang serius mulai sekarang. Ntar lagi kita kan lulus.” Ucap saya.
“Ya… tapi nyokap bakal marah nggak ya? Bakal maafin gue nggak ya?” tanyanya.
“Ya… kalo marah, wajar dong. Elu harus terima. Kan emang salah, Di. Orang tua lu kan ngarep lu hidup baik-baik di kota orang, belajar yang bener, mereka udah berkorban banyak buat kita. Gua pikir, kalo cuman dimarahin mah, nggak apa-apa. Anggep aja Pelajaran hidup lu. Biar lain kali bisa hati-hati. Dan, kalau gua lihat nih ya, nyokap lu keyaknya baik banget, Di. Sayang banget sama lu. Ya pasti aja dia bakal maafin lu dan akhirnya beliin lu Hp baru lagi. Gua lihat, di masa depan, lu bisa lulus di perusahan besar dan ngebiayain kehidupan nyokap lu. Lu juga punya keluarga yang harmonis. Suami yang baik dan juga karirnya bagus. Kayaknya, kalian satu kantor deh.” Jawab saya.
“Ka. Serius, lu ngomong apa sih? Lu bisa lihat masa depan gue ya? Kok lu tahu mamak gue kayak gimana? Ka.. gue merinding, nih.”
“Ya Allah, Di… imajinasi lu ada aja. Ya amiiin aja gitu.. kali beneran.” Kata saya sambil tertawa kecil. Saya juga sedikit terkejut, semua itu keluar dari mulut saya.
“Iya, Ka. Sebenarnya juga gua abis putus sama si Adit. Gila, lu tahu nggak? Dia mau ajak gua ke motel tadi… ya ampuun.. untung nggak mau, gua nya. Ka, makasih ya. Sejak awal kita pindah di sini, lu selalu dengerin gue curhat. Hidup lu pasti beruntung banget ya. Pasti orang tua lu bangga banget punya anak kayak lu, Ka. Pinter, Sholeha. Gua tiap ke kamar lu, jadi tenang bawaannya.” Ucapnya.
“Ya, alhamdulillah kalo lu ngerasa kayak gitu, Di. Ya udah, tidur sono. Besok ada kuliah nggak, lu? Gua ada kelas pagi, besok. Harus nyerahin tugas.” Jawab saya melihat jam sudah di pukul 23.30.
“Ok, Ok. Thanks, ya, Ka. Gua akan ngikutin saran lu. Suatu hari nanti, kalau gua masih inget, ya, pasti gua bakal hubungin lu.” Katanya sambil berpamitan ke lantai 2, ke kamar kos nya.
Keesokan Harinya….
“Ika, katanya lu ada kelas pagi? Lu belum bangun? Kok gorden lu masih tutupan? Ika.” Teriak Diana dari luar.
Hari ini, seperti biasa, badan saya melemah. Ada satu hal yang saya tidak bisa kontrol. Yaitu, energi saya. Ya, setiap saya selesai mendapatkan penglihtan mengenai masa depan atau masa lalu orang lain, tiba-tiba energi saya terkuras, dan badan saya melemah. Kepala saya juga menjadi pusing. Badan saya gemetar, kedinginan. Sampai hari ini, saya masih bingung mencari jawabannya.
Drrrttttt….. Drrrrrttttt……
HP saya terus bergetar. Dengan sepenuh kekuatan, saya mencoba mengangkat teleponnya.
“Ika, lu nggak ke kampus?” tanya Nia di seberang. Teman sekelas saya.
“Ni.. gue kayaknya nggak enak badan.” Jawab saya lemas.
“Oh.. trus, lu sama siapa sekarang? Mau gue temenin ke Rumah Sakit nggak?” tanyanya lagi.
“Nggak apa-apa, ntar lagi sembuh. Sori ya, Ni..”
“Ok, Ika. Cepet sembuh, ya. Nanti gue sampein ke Pak Agus.”
“Thank You.”
Setelah menutup telepon dari Nia, Hp saya berbunyi kembali.
“Anya, lu nggak ke kampus? Kenapa kamar lu tutupan?” tanya Diana.
“Eh, Iya, Di. Gue sakit kayaknya.” Jawab saya sekenanya.
“Ya udah, bisa buka pintu kan? Mendingan sarapan dulu. Nih, gue beliin nasi uduk kesukan lu tadi di depan.” ucapnya dari seberang.
“O.. Ok. Bentar.” Jawab saya, sambil mencoba merangkak meraih gagang pintu.
“Ya ampun, Ika.. muka lu pucet banget. I.. Itu mimisan? Lu mimisan, Ka???” ucap Diana terkejut.
“Pak.. Pak.. tolongin Ika, Pak.” Teriak Diana.
“Ya Allah, aya naon, neng Diana? Ya Allah.. Neng Ika sakit, ya? Mukanya pucet banget. Itu hidungnya juga berdarah, euy. Yuk lah, bapak anter ke puskesmas.” Kata Pak Satpam penjaga kost.
“Iya, pak. Mending di bawa ke Rumah Sakit, Pak.” Jawab Diana, panik.
Mereka berdua membantu saya dengan memampah saya agar bisa menaiki angkot yang sudah di pesan menuju ke RS Hasan Sadikin, Bandung. Diana, adalah anak baik-baik. Saya merasa terhubung dengannya karena latar belakang kejiwaan yang hampir sama dengan yang dirasakannya akibat masa kecil yang melukai harga dirinya. Diana dan Ibunya, adalah korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dari ayahnya Diana sejak Diana masih kecil. Ayah dan Ibu Diana bercerai saat Diana menginjak remaja. Sejak saat itu, Ibu Diana berprofesi sebagai buruh cuci di Cirebon. Diana masuk ke universitas ini, dengan uang pinjaman dari majikan Ibunya Diana, yang kebetulan, anak dari majikannya Ibunya itu, juga ikut mendaftar. Sayangnya, anak dari majikan Ibunya Diana, tidak lulus. Dan Diana, diterima, sama seperti saya. Berkat beasiswa dari kampus ini dahulu. Diana pernah bercerita, bahwa dia sangat ingin membahagiakan ibunya. Hari-hari di masa kecilnya, adalah masa yang paling kelam dalam hidupnya. Ia sama sekali tidak ingin kembali ke masa yang sangat melelahkan itu. Rasanya, rumah bukanlah tempat yang aman baginya. Diana juga sering kabur dari rumah saat masih kecil. Kini, satu-satunya harapan ibunya hanyalah Diana. Ibunya sangat ingin melihat Diana menjadi anak yang sukses dan memiliki keluarga yang bahagia. Perbedaannya dengan saya, Diana masih memiliki Ibu yang benar-benar menyayanginya dan mengharapkan kehadirannya. Sebaliknya, saya tidak memiliki itu. Sampai hari ini, saya berjuang keras agar saya bisa merasakan bagaimana rasanya dianggap berharga oleh mama atau papa.
“Dok, tolong teman saya, Dok.” Kata Diana panik sesampainya kami di depan ruang IGD Rumah Sakit.
Sekali lagi, saya masuk ke dalam Rumah Sakit. Selang infus terpasang di tangan saya. Perlahan, saya memperhatikan Diana mengotak-atik Hp saya. Diana sedang mencoba menelepon seseorang. Saya meraih tangan Diana. Saya hendak menghentikannya.
“Di.. jangan telepon orang tua gue, ya, Di.” Kata saya pelan. Diana menutup teleponnya dan mencondongkan wajahnya yang manis ke arah saya.
“A.. Apa, Ka?” tanyanya.
“Jangan telpon orang tua gue.” Jawab saya setengah sadar.
“Ika, lu lagi sakit.. keluarga lu harus tahu kondisi lu. Mereka pasti khawatir banget sama lu, Ka.” Ucapnya mencoba menelpon lagi.
Saya menggelengkan kepala saya. Saya mencoba meyakinkan Diana kalau hal itu tidak perlu ia lakukan. Saya memintanya mengambil tas saya dan mengeluarkan kartu asuransi dari dompet saya. Sewaktu saya akan berpindah ke Bandung, papa menyerahkan kartu kesehatan milik saya yang masih tertanggung di kantornya. Namun, setelah saya memahami semuanya, rasanya, saya malu untuk memakai uang papa terus-menerus. Pelan-pelan, saya mempelajari pentingnya asuransi di tengah-tengah masa kuliah saya sebagai mahasiswa baru. Itu semua karena saya tidak ingin berhutang kepada orang tua saya. Saya sangat pesimis, apakah saya bisa mengembalikan semua yang sudah mereka keluarkan untuk saya suatu hari nanti. Hal pertama yang saya lakukan sesampainya di kota Bandung, adalah membuat asuransi kesehatan dan asuransi jiwa. Karena itulah, saya bekerja paruh waktu kesana kemari di sela-sela kuliah saya. Saya tidak punya waktu untuk berkumpul atau bersenang-senang seperti yang lainnya.
Diana menuruti perkataan saya. Dia mengambil kartu asuransi saya, dan memberikannya kepada administrasi Rumah Sakit. Ternyata, saya harus di rawat inap di RS ini. Lagi, dan untuk ke sekian kali, saya merasakan kekakuan di kaki kiri dan tangan kiri saya. rasa sakit itu kambuh, hingga membuat saya tidak sadarkan diri.
….
“Anya itu, emang sering banget sakit-sakit. Sampe tante sama om lelah banget ngerawatnya. Mungkin, karena anaknya juga bandel, kali, ya. Makanya dia dihukum sama Allah dengan penyakit. Tiap di rumah, dia suka suruh-suruh tante dengan ngebentak-bentak. Duh.. kalau dia ngomong itu, sakit banget hati tante.”
Saya mendengar dengan samar suara yang sangat familiar di ingatan saya. Wanita itu, sedang mengeluh kepada seseornag tentang saya sambil menangis tersedu-sedu. Saya memperhatikan ke sekeliling saya. Ternyata saya masih berada di Rumah Sakit. Saya perhatikan di samping saya, ada sebuah tas besar dan tikar di bawah kasur saya. ‘Milik siapa?’
Tiba-tiba, sesosok wanita berambut ikal masuk ke dalam. Mama…. ‘sedang apa mama di sini?’
“Loh, Anya udah bagun? Alhamdulillah… akhirnya Anya bangun. Mama khawatir banget. Sebentar ya, mama panggilin papa.” Kata mama sambil mengelus kepala saya. Refleks, kepala saya menghindar dari tangan mama. Saya tidak punya alasan apapun mengapa saya menghindar. Itu hanya gerakan refleks dari alarm tubuh saya, yang ketakutan.
“Ika.. gimana kabar lu?” tanya Nia dan teman sekelas saya.
“Ni… kenapa lu ada di sini?” tanya saya heran.
“Iya, si Diana kemarin sore ke kampus. Ngasih tau anak-anak kalau lu sakit dan di rawat di sini. Jadi, kita hari ini pada jenguk lu, dan nggak tahunya ketemu sama nyokap lu. Nyokap lu baek banget, Ka. Kayaknya lu harus minta maaf deh sama orang tua lu. Biar lu nggak di hukum sama Allah biar cepet sembuh. Gue nggak tahu kalau lu dari kecil sering sakit. Lihat nyokap lu, gua jadi keinget sama nyokap gua juga deh jadinya.” Ucapnya mulai menangis.
“Nia, lu apaan sih?! Si Anya lagi sakit, malah lu ceramahin. Nggak mungkin deh kayaknya Anya begitu. Dah, Nya. Nggak usah didengerin. Gimana keadaan lu sekarang?” kata Anne.
“Ng… nggak tahu, Ne. Kaki gue.. eh.. kaki gue kenapa nih?” tanya saya mulai panik. Kaki yang kemarin terasa sangat sakit, tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Sakitnya mengingatkan saya ke masa lampau, saat tabrakan dengan bus sekolah. Rasa sakit itu terasa kembali, seperti kembali kepada kenangan yang sangat ingin saya lepas namun tidak bisa. Seperti layang-layang, yang selalu terikat pada benangnya.
“Kenapa kaki, lu?” tanya Ade danAnne berbarengan. Panik.
“Nggak bisa digerakin.” Kata saya pelan.
“Hah? Lu.. jangan pura-pura, Ka. Kata nyokap lu tadi, lu dari kecil suka berhalusinasi dan pura-pura sakit supaya orang-porang simpati sama lu.” Kata Nia. Tatapannya tajam menatap ke arah mata saya. Ia tampak mulai tidak menyukai saya. Ia menganggap saya pembohong dan anak yang durhaka kepada orang tua saya. persis seperti yang dikatakan oleh mama tentang saya.
Perasaan apa, ini? Saya sangat takut melihat tatapannya. Seketika, kepala saya terasa berputar. Apa benar selama ini, semua kejadian di masa lampau hanya halusinasi saya saja? Apa benar saya hanya berpura-pura selama ini?
“Gue nggak pura-pura, Nia.” Kata saya mulai menangis. Dengan segenap tenaga, saya mulai mencoba menggerakkan badan saya. Saya mengangkat kaki saya turun dari tempat tidur untuk membuktikan semuanya. Apa benar saya sedang berpura-pura?
Bruuk!!
“Ika. Ya Ampun. Nia! Lu stop deh! Lu mah, bukannya bikin temen sembuh, malah jadi stress. Udah lu balik aja, sono.” Kata Anne memarahi Nia sambil memapah saya.
“Ika, maafin gue. Gue nggak tega denger nyokap lu ngomong gitu. Gue inget nyokap gue, soalnya. Maaf, Ika, gue kebawa perasaan gue.” Ucap Nia sambil memeluk saya dan membantu saya naik ke atas tempat tidur.
Tiba-tiba, mama dan papa datang bersama dokter. Dokter itu membawa sebuah koper yang berisikan suntikan dan cairan.
“Loh, ada apa ini?” tanya dokter heran dengan situasi di dalam kamar saya.
“Nggak apa-apa, dok.” Jawab Anne sambil mencubit lengan Nia.
“Sebentar, ya. Saya mau perikas dulu. Ok. Sekarang jangan nangis ya, di tahan. Cuman sedikit kok sakitnya. Ini akan saya injeksi supaya cepat sembuh dan bisa berjalan lagi.” kata dokter.
Saya bingung. Bisa berjalan lagi? Apa maksudnya?
Dokter menyuntikkan obat melalui tulang belakang saya, sebanyak 3 kali suntikan. Di lutut saya 1 kali, masing-masing lutut kiri dan kanan. Di sendi mata kaki saya, 1 kali, masing-masing sendi mata kaki kiri dan kanan. Setelah itu, dokter juga menyuntik selang infus saya dengan sebuah cairan.
“Yah.. sudah… jadi, ini injeksi steroid, untuk menghilangkan rasa sakit dan kekakuan pada sendi lututnya dan syaraf belakang. Tidak apa-apa, 3 hari lagi sudah bisa jalan lagi.” kata dokter menjelaskan.
“Anya sakit apa, Dok?” tanya Anne.
“Oh.. nggak apa-apa kok. Nanti kita cek darahnya lagi ya.” Kata dokter. Teman-teman saya pun, berpamitan pulang saat papa dan mama hendak keluar menuju ruangan dokter.
“Lu, sih, Nia. Kalo ngomong sembarangan.” Kata Anne.
“Gua mana tahu kalau nyokapnya bohong, Ne… kan nyokap gua kagak begitu. Kasian Anya.”
“Ya nggak bisa lu samain dong, Nia. Beda.” Kata Anne menegaskan.
Sembari mereka pergi beranjak, hati saya ada sedikit perasaan senang. Saya senang karena mereka tahu siapa yang berbohong. Semua kejadian yang menimpa saya antara mama dan papa bukanlah halusinasi saya. Semua itu nyata saya rasakan. Mungkin karena itu juga, bekas luka terseret bus sewaktu saya kecil, tidak pernah benar-benar hilang, dan malah membentuk seperti sebuah tanda lahir yang melekat. Walaupun terasa sakit saaat mengingatnya, namun, itu satu-satunya bukti bahwa seluruh kehidupan saya nyata. Bukan halusinasi seperti yang mama dan papa selalu ucapkan kepada saya, ataupun orang-orang. Saya tidak berhalusinasi, dan saya tidak gila.
Malam pun tiba. Mama dan papa melihat kondisi saya.
“Karena kata dokter tiga hari sembuh, semua administrasi juga aman, makanan dan suster juga bagus-bagus. Papa dan mama pamit pulang ke Makassar. Papa nggak bisa bolos lama-lama. Dan mama, harus kembali ngurusin adik kamu sekolah. Kasihan, adik kamu sendirian di rumah. Kamu kan sudah dewasa. Sudah bisa mandiri, kan?” tanya papa.
Saya pun mengangguk. Saya menyalami papa dan mama yang hendak pergi meninggalkan saya sendirian di Rumah Sakit. Kali ini, perasaan saya justru sangat senang. Saya mengharapkan mereka pulang, walaupun saya tahu mereka tidak perduli pada kondisi saya.
….
Seperti sebelum-sebelumnya, saya merasa senang dan tenang berada di rumah sakit. Orang-orang di sini sangat ramah dan baik. Mereka tidak jijik merawat dan mengelap badan saya . Mereka juga tidak sungkan menyuapi saya di saat kepala saya terasa sangat pusing. Beberapa suster, ada yang cukup cerewet bercerita dalam Bahasa Sunda, walaupun saya tidak terlalu paham. Namun, saya benar-benar terhibur. Dokter yang memeriksa saya, juga sangat terampil. Dalam sehari, Ia akan melihat kondisi saya sebanyak 3 kali. Lalu, Ia juga membantu saya untuk perlahan-lahan menggerak-gerakkan kaki dan tangan saya. Dokter mengajarkan saya sebuah terapi untuk menguatkan sendi-sendi lutut dan tangan saya.
Tibalah waktunya saya kembali ke kos-an dan ke kenyataan saya sebagai mahasiswi. Hari ini, saya berencana menemui dokter untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyakit saya.
“Autoimun. Rhematoid Artrhitis namanya. Dan sepertinya, kamu ada penyempitan pembuluh darah di bagian otak belakangmu yang sebelah kanan. Itu juga yang mempengaruhi mengapa kamu tidak bisa menggerakkan kaki dan tangan kirimu.” Kata dokter Ilham memberitahu saya tentang penyakit yang saya derita.
“Maksudnya, apa, dok? Apakah itu penyakit yang berbahaya?” tanya saya sedikit terkejut.
“Untuk saat ini, tidak. Karena cepat ketahuan, ya. Asal kamu rutin minum obat, mudah-mudahan tidak akan kembali lagi. Jadi, penyakit itu, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh kamu. Biasanya, karena genetik. Atau stress berat dan pola makan yang tidak sehat. Apa di keluargamu atau keluarga besarmu ada yang mengalami sakit serupa?” tanyanya.
“Nggak tahu, Dok. Maaf Dok, artinya, rutin minum obat, artinya saya harus ke sini terus?” tanya saya.