“Anya, buka pintunya dooong..”
“Iya, sebentar.”
“Anya…..” ucap Indah. Menangis.
“Ke… kenapa kau, Ndah?” tanya saya sambil mengusap-usap mata saya dan melirik jam di dinding. Ini jam 01.30 WIB.
“Masuk. Masuk. Kau kenapa, Ndah?” tanya saya mulai tersadar.
“Aku dan Gunawan… kami…” ucapnya terbata.
“Iya, kau kenapa sama Gunawan?”
“Tadi, pas pulang dari club, kami balik ke motel. Tapi, pas aku bangun, aku sama dia udah ada di satu kamar. Di satu ranjang, Anya.” Saya terdiam. Tidak tahu harus ngomong apa sama Indah.
“Aku takut, Anya. Aku tinggalkan dia di kamar dan langsung lari ke sini. Bagaimana kalau ayah dan ibuku tahu soal ini? Selama ini, aku jaga keperawananku sampai aku bisa menemukan orang yang tepat. Tapi, entah bagaimana, hari ini aku bisa terjebak dalam situasi ini.”
“Kau mabuk?” tanya saya.
“A..aku.. mungkin. Tapi, biasanya, aku nggak minum lo, Nya. Aku cuman joget-joget aja kalau ke club. Sumpah. Aku nggak minum.” Sanggahnya.
“Terus, kenapa bisa kau nggak tahu apa yang terjadi?”
“Aku nggak tahu, Anya. Aku nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi.”
“Apa Gunawan bukan orang yang tepat buatmu, Ndah?”
“Hm… aku juga nggak tahu soal itu. Aku masih ragu. Lagipula, dia masih merintis usahanya. Kami belum bisa membuktikan apa-apa pada ayah dan Ibu. Bagaimana, ini, Anya???” tanyanya mulai panik. Indah mulai menangis. Ia mengatupkan kedua tangannya menutupi wajahnya yang memerah karena malu.
“Dah. Kau udah sholat? Sholat dulu, taubat sama Allah. Kalian ini sedang merintis usaha. Usaha yang kalian rintis itu, rejeki dari Allah. Kalau kalian ingin sukses dan penuh keberkahan, kalian harus bisa mendekat sama yang punya rejeki. Allah.” Ucap saya, mengambikan mukena sutera berwarna putih, pemberian tante Erina.
Dalam kegundahannya, Indah masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Indah sholat dua raka’at, dan bertaubat kepada Sang Khalik. Malam menjadi malam yang terasa hikmat dengan dua orang yang bertaubat kepada Rabb nya. Benar, Allah telah menghendaki yang dikehendaki-Nya, tanpa kita bisa protes terhadap cobaan itu. Semua itu, karena Allah ingin kita kembali kepada-Nya. Terbalut ke dalam kerinduan dan rasa cinta yang mendalam, hanya kepada-Nya saja.
Indah menangis tersedu-sedu. Ia terus berdo’a memohon ampunan kepada Allah SWT. Disini, saya sangat berharap Indah bahagia dan tidak diberi cobaan yang berat oleh-Nya.
“Anya, aku boleh tidur sama kau di sini?” tanyanya menghampiri saya. Saya mengangguk dan bergeser, memberikannya tempat untuk berbaring.
“Kau ingat pas dulu kita kecil sering tidur bareng seperti ini di rumahku?” tanyanya.
“Oh.. tentu. Apa yang kita lakukan ya waktu itu?” tanya saya balik, mencoba mengingat ingatan yang samar.
“Masa kau nggak ingat? Kita… kita nyanyi, kita tertawa, kita bercerita. Banyak, Nya.” Jawabnya.
“Hm…” jawab saya mengangguk.
“Anya, apa yang bakal kau lakukan setelah ini?” tanyanya.
“Aku di wisuda 1 minggu lagi. Setelah itu, mungkin aku akan kembali pulang ke rumah orang tuaku. O ya, papaku baru saja dipromosikan dan pindah ke Surabaya.” ucap saya.
“Wah, om memang keren dari dulu. Kalau begitu, kalian akan semakin dekat.”
“Iya, kenapa ya Ndah. Di saat aku berharap kami semakin menjauh, Allah justru mendekatkan kami.” Ucap saya pelan. “Papa memang hebat. Semua orang di luar sana mengakuinya. Tapi, tidak begitu di rumah.”
“Ha?” tanya Indah.
“Nggak. Menurutmu, aku cocok nggak jadi PNS macam papa?” saya bertanya tentang pendapatnya.
“PNS? Bukannya mimpimu menjadi seorang penulis?”
“Iya.. tapi, orang tuaku berharap aku bisa masuk PNS dengan nilai yang kubawa nanti.”
“Patut di coba. Tapi, aku sangat menyayangkannya. Kau berbakat menulis. Dulu, waktu kita kecil, kau sering ikut lomba bikin puisi, kan. Kau juga sering menulis cerpen di mading sekolah dalam bahas Inggris, yang nggak semua anak seumuran kita waktu itu bisa melakukannya. Tapi, cerpen-cerpenmu bagus. Puisimu juga menyentuh. Akan sangat disayangkan jika kau harus mengubur mimpimu itu.”
“Tapi, aku harus hidup untuk membayar semuanya, Ndah.” Kataku lirih.
“Bagaimana, kalau kau tetap menjadi penulis? Bukankah, kau bisa melihat masa depan? Kau cerita padaku. Kalau kau bisa melihat masa depan. Kau juga berkali-kali melihat buku-buku terpajang, kan? Barangkali, itu memang akan terjadi di masa depan jika kau sungguh-sungguh. Mungkin perlu waktu. Tapi, coba kau lihat lagi.” ucapnya.
“Aku tidak bisa melakukan itu. Penglihaan itu, datang tanpa kusadari. Aku juga tidak tahu kapan itu akan terjadi. Dan aku juga tidak tahu, aku tidak bisa membedakannya. Apakah itu mimpi atau sebuah penglihatan yang merupakan petunjuk masa depan.”
“Tapi kau pernah merubahnya. Bukankah itu petunjuk dan kesempatanmu merubah sesuatu yang berjalan tidak sesuai harapan? Kau hanya perlu keberanian untuk menyadarinya dan merubahnya. Itu kelebihanmu, Anya. Kau bisa merubah sesuatu dengan penglihatanmu.”
“Indah, semua itu ada konsekuensinya. Kau juga tahu itu. Saat ini, aku tidak bisa merubah apapun karena tubuhku sudah tak sanggup menerima konsekuensinya. Selama ini, aku berusaha membiarkan penglihatan itu tetap terjadi apa adanya. Aku tidak berani mengubahnya. Sepertinya, sesuatu yang akan terjadi, memanglah harus terjadi sesuai apa yang diinginkan-Nya.”
“Padahal kekuatanmu itu, bisa saja membantu orang lain menemukan takdirnya yang lebih baik. Itu juga bisa membuatmu terkenal.”
“Ngaco, kau! Kau ingin aku jadi dukun? Nggak. Nggak semua orang menerima itu, Indah.”
“Ya… tapi, aku sangat ingin melihatmu menjadi seorang penulis terkenal. Dan hari ini, aku adalah penggemar pertamamu.”
“Do’akan aku. Ada yang bisa kita lakukan untuk merubah suatu nasib. Yaitu dengan kekuatan do’a. Barangkali, do’amu lebih di dengar oleh Allah dan lebih makbul.”
“Kau benar. Do’a. Ngomong-ngomong, aku akan kembali ke Medan besok. Dan entah, apa kita bisa bertemu lagi.”
“Kau akan baik-baik saja, Indah. Walaupun ujian akan datang padamu, kau dan Gunawan akan baik-baik saja. Namun, jika kau sudah tidak kuat menanggungnya, lari dan datanglah pada Ayah dan Ibumu. Minta maaf pada mereka. Suatu hari, kita bisa bertemu kembali, di keadaan yang sangat berbeda.” Kata saya sambil fokus melihat ke arah langit-langit. Itu adalah penglihatan yang saya lihat untuk hidupnya.
“Kau… baru saja melihat masa depanku. Aku akan ingat baik-baik. Kau bilang, do’a adalah senjata kita merubah nasib. Aku akan mendo’akanmu agar kau tidak perlu menanggung segala konsekuensi itu. Kau juga akan sukses. Kita harus bertemu di masa itu.”
“Iya. Insya Allah.”
Indah mulai menguap. Kami pun tertidur dengan harapan yang sama.
Pagi datang dengan membawa angin sejuk sekaligus kehangatan yang menyegarkan jiwa-jiwa rapuh yang telah lama tidak bertemu. Hari ini, Indah berpamitan. Dengan tangis yang menggebu, Indah memeluk saya dengan erat. Indah meminta saya merahasiakan apa yang kami alami semalam. Gunawan, datang dengan wajah tertunduk. Malu, karena ia telah melanggar janjinya kepada Ibunya Indah untuk menjaganya. Indah dan Gunawan juga berbaikan. Mereka berpelukan, dan saling mengucapkan kata sayang. Di depan saya, Diana dan Yuli, mereka berdua berjanji akan saling menyayangi, melindungi dan tidak akan meninggalkan satu sama lain. Yang paling penting, peristiwa malam itu, tidak boleh terjadi lagi, sampai mereka benar-benar sah menjadi suami isteri.
“Aku pergi dulu, Anya, aku benar-benar berharap kau bisa bahagia. Aku akan selalu mengucap namamu dalam setiap do’aku, agar, suatu hari nanti, Tuhan mengirimkan seseorang yang akan menjadi magnet kebahagiaanmu dan melindungimu dari segala konsekuensi menjadi seorang Anya Arunika. Aku tahu kau akan menjadi orang yang hebat suatu hari nanti. Kau harus percaya itu, Anya. Kau pasti bisa.” Ucapnya sambil memeluk saya sekali lagi.
“Indah, andai saja… andai saja, kita bisa kembali ke masa kecil itu… aku masih ingin bermain dan bercerita kepadamu. Tentang semua hal yang ku pendam selama ini.”
“Ceritakan padaku, nanti, kalau kau sudah siap dan kita bertemu lagi. Anggap ini hutangmu padaku, ya. Agar, kita bisa ketemu lagi. Lain kali, aku akan ajak Riska dan Dian juga ke sini. Bye, Anya. Semoga berhasil.” Ucapnya sambil melambaikan tangannya.
Saya menemaninya sampai menaiki mobil Gunawan. Seketika, saya kembali ke masa di mana saya harus pergi berpisah dengan sahabat karib yang juga penggemar pertama saya itu. Tatapannya sendu. Kami harus berpisah jauh kembali. Tidak ada yang bisa memastikan kami akan bertemu. Dada saya mulai terasa sesak. Perpisahan, adalah hal yang saya benci seumur hidup. Apalagi, harus berpisah dengan orang yang sangat saya sayangi. Kini, saya mulai mengerti perasaan ingin mereka tetap berada di sisi saya menyelamatkan hidup saya. ‘Siapa saja, tolong saya.’
Bandung, 13 Juli 2009
Lulus, artinya, saya harus kembali pulang ke rumah yang tidak ingin saya injak lagi. Saya harus bertemu dengan mereka yang tidak pernah menyambut saya. Hari ini, adalah hari wisuda kami. Semua mahasiswi dan mahasiswa sudah bersama dengan keluarganya sejak seminggu sebelumnya. Termasuk Diana dan Yuli. Ini pertama kalinya, saya bertemu dengan wanita-wanita hebat yang bernama Ibu. Wanita yang rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan putrinya. Ibunya Yuli, membelikan Yuli satu set perhiasan yang dibawanya dari Medan. Sementara Diana, Ibunya membawakannya kebaya yang dijahitnya khusus untuk hari wisuda Diana hari ini. Semua telah bersiap dan tampak rapi.
“Anya, lu kok belum siap-siap. Orang tua lu gimana? Udah di sini?” tanya Diana dan Yuli yang sudah bergegas menuju gedung kampus.
“Ini bentar lagi gue siap.” Jawab saya.
Saya berbohong. Saya tidak punya kebaya untuk saya pakai di hari wisuda. Saya tidak punya seseorang yang mendandani saya. Saya tidak punya perhiasan yang bisa saya pakai untuk menghias leher saya. Saya sedang bingung, bagaimana caranya saya akan ke kampus. Lalu, saya pun berfikir untuk menggunakan jas almamater yang saya gunakan saat saya sidang. Sebenarnaya, sehari sebelumnya, mama sempat menelepon saya dan mengabari saya tentang satu hal.
“Teh, maaf ya, mama nggak bisa nemenin wisuda nya teteh. Papanya masih sibuk di kantor. Anya bisa kan sendiri ke kampus?” kata mama di seberang, enteng.
“Iya, nggak apa-apa kok, ma. Banyak juga yang nggak bisa hadir orang tuanya karena jauh. Nanti Anya sama temen Anya aja.” Jawab saya berbohong.
Saya ingat, mama dan papa memang tidak pernah menghadiri acara di sekolah saya untuk saya. Beda halnya jika itu untuk kakak dan adik saya. Hari ini, saya benar-benar bingung. Pasti semua orang sudah berkumpul di sana. Lalu, saya harus ke mana? Saya kehilangan semangat lagi. Perasaan saya sangat sedih. Akhirnya, dengan menggunakan jas almamater, kemeja putih dan rok hitam, saya meluncur menuju ke depan gerbang kos. Di depan gerbang, saya mengurungkan niat untuk menghadiri wisuda kampus. Malu. Saya memilih menaiki angkot secara asal. Bergantian orang-orang turun dan naik. Tidak ada satupun yang menyadari kehadiran saya. Saya terus berada di dalam angkot itu, mengikuti jalur angkot itu. Saya melihat pemandangan pegunungan sepanjang jalan.
“Mau kemana, Neng?” tanya seorang wanita paruh baya.
“Hm.. ke rumah teman.” Jawab saya asal.
“Oh, rumahnya di daerah Ciumbieuleuit?” tanyanya lagi.
“I.. Iya.” Jawab saya.
“Mangga, neng. Duluan. “ ucapnya.
“Muhun..” jawab saya.
Angkot itu berjalan lagi. Sekarang, sudah berada di tempat yang ramai. Paskal.
“Neng, ini perhentian terakhir. Mau kemana?” tanya supir angkot.
“Ya udah. Saya turun di sini aja, Mang.” Kata saya turun, sambil membayar angkotnya.
Saya berajalan sampai ke sebuah mall. Di sana, saya singgah makan sebentar. Tiba-tiba, ponsel saya berbunyi.
“Gimana, Anya? Udahan wisudanya?” tanya mama.
“Su.. sudah, ma. Ini lagi di kantin mau makan.” Jawab saya berbohong.
“Ini, Nisa juga keterima di kampus teteh. Tapi bukan jalur beasiswa sih. Barusan aja pengumumannya. Kayaknya, papa sama mama dua hari lagi ke sana. Nanti, teteh balik ke sini bareng aja sama mama papa. Abis itu, lamar-lamar kerja.” Ucap mama. Enteng.
“Oh, selamat. Ok, ma.” Jawab saya seadanya. Lalu, saya pun mematikan ponsel saya. Mama mengirimi saya SMS, bertanya ‘mengapa saya mematikan teleponnya’. Saya pun menjawab, ‘sinyalnya nggak ada’. Sebenarnya, saya sudah sangat kecewa. Saya sedang tidak ingin mendengar suara mama atau siapapun.
Selesai makan, saya menaiki taksi menuju Cihampelas. Saya berputar-putar di sana, menghabiskan waktu. Saya membuka laptop saya di sebuah restoran cepat saji. Ingin sekali saya menyapa Indah, dan teman-teman saya melalui facebook. Saat saya membuka facebook, saya melihat beberapa teman kampus yang sudah meng-upload foto-foto wisuda mereka bersama orang tua mereka. Saya menghela nafas panjang. Tiba-tiba, saya melihat profil Kang Angga.
“Assalammu’alaikum, Kang.” Tanya saya melalui chat.
“Hei, Anya. Wa’alaikumsalam. Gimana kabar kamu? Eh, udah lulus, belum?” tanyanya.
“Alhamdulillah, Kang. Udah. Baru aja.”
“Alhamdulillah. Selamat, ya. Akhirnya punya gelar Diploma. Gimana? Kamu masih menulis?” tanyanya lagi.
“Nggak, Kang. Tapi, barangkali Akang ada lowongan. Atau apa, gitu. Barangkali, saya masih punya kesempatan untuk menulis?” tanya saya iseng. Pikiran saya mulai kalut. Saya merasa, daripada pulang, apa lebih baik saya tetap di sini dan bekerja di sini saja. Di Bandung.
“Kebetulan. Ada yang lagi nyari asisten untuk penulis. Kamu mau? Sekalian, kamu bisa belajar bagaimana menulis yang benar. Bakal ada kelas juga.” Tambahnya.
“Serius, Kang? Bayar nggak?”