Bandung, 10 Juli 2009
”Anya, Ayo, cepat. Masuk ke dalam pesawat. Kamu ngapain sih daritadi?” seru mama yang memperhatikan saya sibuk menelepon.
Hari ini, saya akan kembali ke rumah kami di Surabaya. Dimana, papa dipindahtugaskan sejak beberapa bulan yang lalu. Rumah baru, suasana baru, lingkungan baru lagi.
“Papa ingin kamu serius mencari kerja. Tapi, karena nilaimu jelek begini, paling kamu cuman bisa dapet kerjaan di swasta yang gajinya nggak seberapa. Selama di Surabaya nanti, kamu lanjut ambil S1 aja. Cari kampus yang murah-murah aja sambil kerja dikit-dikit. Minimal akreditasinya B.” Kata papa, mengingatkan.
“Anya, ingin pindah jurusan, pa. Jurusan yang sesuai minat Anya. Anya tidak sanggup mempelajari ilmu komputer.” Ucap saya, memohon.
“Jurusan apa?” tanya papa.
“Mungkin sastra? Atau Hubungan Internasional? Atau, komunikasi?” jawab saya, setelah sebulan ini, saya mencari tahu informasi tentang jurusan-jurasan tersebut.
“Berarti kamu harus ngulang? Empat tahun bisa lulus?” tanya papa.
“Insya Allah. Anya coba maksimalkan.” Jawab saya mantap.
“Ok. Nanti sesampainya di Surabaya, kita cari. Intinya, orang tua itu udah pasti ingin anaknya itu hidup sejahtera. Kalau kamu nurut sama orang tua, yakin lah kamu pasti bakal berhasil. Kuliah yang bener, daftar PNS. Hidup enak sampe pensiun. Jadi, nggak usah ngoyo-ngoyo, lah.” Kata papa.
Saya mengangguk, tidak ingin berdebat dengan papa tentang konsep ‘sejahtera’. Saya juga tidak akan membantah apa-apa. Untuk saat ini, mungkin memang waktu saya belum tepat. Saya terus melihat ke arah ponsel saya. Kang Angga belum membalas satu pun pesan saya padahal, saya hanya ingin berpamitan dengannya dan meminta maaf padanya sekali lagi.
“Ayo, masuk. Anya duduk dekat jendela.” Kata papa saat kami sudah di dalam pesawat.
Pemandangan di sekitar pesawat memang luar biasa. Hamparan awan putih dan tebal seperti gumpalan permen kapas yang manis. Cuaca begitu sangat cerah di hari keberangkatan kami menuju ke kota Surabaya. Matahari tampak bersinar ramah menyappa, yang membuat suhu di dekat jendela, terasa lebih hangat. Saya masih kepikiran tentang kota Bandung. Tentang pengalaman dan orang-orang yang mengisi hidup saya. Saya mulai berfikir ke belakang. Barangkali, selama ini, saya lah yang telah meninggalkan mereka yang selalu bersedia berada di samping saya. Bu Sita, Ustad Zul, Butet, Andi, Ridho, teman-teman, dan Kang Angga. Barangkali, saya lah yang selama ini telah memberikan luka dan kesan yang menyakitkan bagi mereka. Saya benar-benar pengecut. Saya tidak bisa mengambil langkah saya sendiri dan keluar dari genggaman tali yang menjerat kaki saya.
“Kepada penumpang yang berbahagia. Sebentar lagi, kita akan segera mendarat di Bandara Internasional, Juanda di Surabaya. Cuaca saat ini sangat cerah berawan. Pastikan Anda menegakkan sandaran kursi dan melipat sandaran tangan, dan memasang sabuk pengaman. Saya Captain Adrianto, mengucapkan terimakasih telah terbang bersama kami. Semoga kita bisa bertemu kembali di waktu berbahagia lainnya.” Kata sebuah suara dari speaker pesawat.
Perjalanan Bandung-Surabaya hanya membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam saja. Saya merasakan pesawat mulai turun perlahan. Saya melihat kota Surabaya dari atas pesawat. Kotanya tertata rapi dan cerah. Kira-kira, apa yang akan saya temukan di kota ini?
Sesampainya kami di lobby terminal, sembari menunggu koper, saya menyalakan ponsel saya kembali. Berharap Kang Angga merespon pesan saya. Ada 5 panggilan tidak terjawab dari Kang Angga. Saya pun meneleponnya balik.
“Ha.. Halo, Kang?” tanya saya kepada seseorang di seberang sana. Hening.
“Maaf, ini Anya, ya?” jawab suara seorang perempuan yang sedikit terisak.
“I.. iya.. Kang Angganya mana, ya?”
“Angga…. Angga sudah meninggal dua minggu lalu. Dia kecelakaan sepulang dari syuting.” Jawab suara di seberang terus menangis. Hening beberapa saat.
“Ha.. halo? A.. apa.. benar Kang Angga sudah meninggal?” tanya saya masih tidak percaya.
“Iya. Ini, saya, tetehnya. Anya, Angga sering cerita tentang kamu.” Ucapnya. “Angga bilang, kamu harus berhasil dan jangan menyerah dengan mimpi kamu, ya, dek. Angga juga meminta maaf, jika Angga banyak salah ke kamu. Kami semua sangat terpukul, Angga pergi secepat ini. Semoga kamu sehat-sehat, ya.” Tambahnya. Saya masih terpaku, seolah suasana yang ramai di bandara hening seketika. Sekali lagi, saya hanya bisa mendengar detak jam dan detak jantung yang berdetak sangat cepat. Waktu terasa terhenti kembali. Saya benar-benar tidak tahu harus apa. Saya berada di posisi kaki saya sedang terjerat, tidak bisa kemana-mana. Saya ingin sekali lagi bisa berlari, tetapi saya tidak tahu tujuannya. Telepon itu pun ditutup.
“Ayo, ngapain kamu melamun? Kita cari makan dulu.” kata mama menyuruh saya berdiri.
Saya mengikuti mama dan papa berjalan menuju ke sebuah mobil Kijang yang sudah menunggu. Langkah demi langkah terasa berat. Sekali lagi, saya merasa saya tidak ingin berada di sini. Air mata saya tidak bisa jatuh sekarang. Saya menahannya. Saya takut mama dan papa akan salah paham. Saya, harus mengatakan kepada siapa bahwa hati saya sedang terasa tersayat-sayat. Sakit sekali. Ternyata, ini lah rasanya. Seperti inilah sakitnya, mendengar seseorang yang sangat berarti di hidupmu, pergi tanpa berpamitan untuk selamanya. Kini, saya merasakannya. Saya tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Sosok yang ramah dan hangat. Sosok yang sangat optimis, sosok yang sangat percaya akan kemampuan saya. Sosok pertama di hidup saya, yang memberikan saya sebuah ‘harapan.’ Mungkin, bisa dibilang, dia cinta pertama saya. dia adalah orang, yang saya sangat ingin bergantung padanya. Namun, saat ini, di hari saya mendengarnya telah pergi meninggalkan saya untuk selamanya, bahkan, saya tidak bisa berduka secara leluasa untuknya. Hati saya sangat sangat sakit.
Mama dan papa, mengajak saya ke kedai nasi rawon yang terkenal di daerah Surabaya. Dengan senang, mama dan papa menyuruh saya untuk mencoba makanan yang sebenarnya saya tidak selera dengan melihatnya saja. Saya juga tidak terlalu suka dengan lontong kupang yang ada di sebelahnya. Tidak cocok di lidah saya. Apalagi, hati dan pikiran saya, tidak bisa menoleransi keadaan yang ada di depan mata saya sekarang. Hati saya sedang dirudung duka yang sangat mendalam. Saya pun memakan perlahan, rawon yang tidak saya sukai itu. Rasanya hambar. Ntah karena hati saya sedang bersedih, atau memang rasanya yang seperti itu. Saya terus terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.
Kami menaiki mpbil kembali, menuju rumah. Rumah baru yang akan saya tempati bersama mama dan papa. Kini, hanya ada saya dan mereka saja. Sebenarnya, saya sedikit merasa cemas dan khawatir. Saya membuka ponsel saya. Mencoba mencari nomor Andara. Saya mengiriminya sebuah pesan, “Andara, apakah kamu mengetahui kondisi Kang Angga saat ini?” tanya saya dalam pesan itu seolah-olah kabar yang baru saja saya dengar, adalah palsu. Saya belum bisa menerima kabar itu sebagai kenyataan yang sangat pahit. Saya harus bertanya kepada seseorang. Seketika, Andara langsung menghubungi saya.
“Anya, Angga sudah meninggal dua minggu lalu. Saya dihubungi asistennya. Terjadi kecelakaan saat Angga mau pulang dari lokasi syuting. Kita do’akan Angga, ya. Kalau kamu sempat, main ke makamnya. Dekat dengan rumahnya. Oh, ya. Kamu dimana sekarang? Terakhir aku dengar dari Angga, kalau kamu akan kuliah lagi di Surabaya?” tanyanya.
“Jadi, benar dia sudah meninggal? Hm.. saya baru aja sampai di Surabaya.”
“Well done. Semoga kuliahmu berhasil, Anya dan semoga kamu sukses, ya.”
“Terima kasih, Andara. Bye.” Jawab saya sambil menutup teleponnya.
“Siapa yang meninggal, teh?” tanya mama penasaran.
“Teman kampus. Kecelakaan.” Jawab saya singkat.
“Innalillahi wa innailaihi roji’iun.” Jawab mama. Hening.
Benar. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Sesungguhnya, kita millik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali. Saya mengucapkannya berulang-ulang sampai air mata yang tadi terasa beku, mencair perlahan-lahan. Dengan sigap, saya segera meghapusnya. Takut mama papa akan salah paham dan marah. Kini, saya benar-benar sendirian. Seketika, saya ingat bahwa saya pernah mendapatkan sebuah penglihatan yang sama persis dengan kejadian yang Kang Angga alami hingga merebut nyawanya. Saya tertunduk lesu. Saya merasa bersalah. Seandainya saja, saya bisa membuatnya waspada saat kami bertemu terakhir kali. Namun, saya sdar, saya bukanlah Tuhan. Takdir telah terjadi dan harus terjadi sesuai kehendak-Nya.
Mulai saat ini, saya harus benar-benar menjaga perkataan dan sikap saya di depan mama dan papa. Saya harus menurut apapun perkataan mereka. ‘Maafkan saya, Angga. Sekali lagi, saya ingkar pada janji itu. Semoga Allah mengampuni dosamu, dan memberimu surga yang terindah.’
…..
Surabaya, 20 Desember 2010
Sudah satu tahun saya bertahan menjadi Anya Arunika versi anak dari mama dan papa. Selama satu tahun itu, saya terus berusaha keras untuk tidak membangkang atau mencari jati diri saya. Sekali lagi, saya fokus pada tujuan utama yang ingin di capai oleh mama dan papa.
Ini, juga menjadi tahun dimana saya jatuh cinta lagi. Namanya Rendy. Ternyata, dia juga berasal dari kota Jakarta yang kebetulan melanjutkan pendidikannya di sini. Dia seorang jurnalis salah satu televisi untuk wilayah Jawa Timur. Di mengambil jurusan Public Relation untuk mengembangkan bakatnya dalam branding image sebagai seorang penyiar televisi. Sekali lagi, saya banyak belajar darinya. Ternyata, Allah masih baik. Di balik diri saya yang bersembunyi, Allah memberikan saya seorang teman yang justru menjerumuskan saya kembali ke dunia menulis secara diam-diam.
Berulang kali, Rendy mengajarkan saya, dengan membuat suatu intisari cerita dari peristiwa yang kami baca di koran. Ia meminta saya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa siaran. Untuk pertama kalinya, dia mengetahui kalau saya sangat hobi menulis sebuah cerita.
“Tulisanmu bagus, loh. Ceritanya menyentuh. Pasti, kamu bisa jadi penulis yang bukunya di pajang di Gramedia seluruh Indonesia.” Katanya.
“Masa sih? Nggak lah. Aku masih harus banyak belajar.”
“Iya, kelas kita kan ada. Kamu tinggal nerapin ilmu itu, branding bukumu, gaya penulisanmu, sama diri kamu sendiri yang membedakan kamu dengan penulis lain.”
“Hm, mungkin, aku coba pelan-pelan.”
“Gini. Kamu mau nggak ngisi kolom cerpen di kantorku? Nanti aku coba bicarakan sama redaktur, deh.”
“Serius?”
“Iya, lah. Serius. Lumayan loh.”
“Boleh juga. Sebagai gantinya, kamu mau apa nih? Contekan lagi???”
“Yah.. beliin aku teh atau kopi tiap hari. Sama, contekin pelajaran deh.” Katanya sambil tertawa. Kami menjadi akrab seketika saat berbicara, karena umur kami juga sama. Di antara mahasiswa lain, mungkin kami lah yang paling tua se-angkatan kami. Rendy punya cerita sendiri mengapa Ia memilih berkarir lebih dahulu menjadi penyiar lalu berkuliah.
“Itu cita-citaku dari kecil. Aku sangat senang waktu datang kesempatan untuk bisa membawakan berita pagi di televisi nasional versi Jawa Timur. Sekarang, aku kuliah yah, supaya aku bisa terbang lebih tinggi. Kalau kamu?” tanyanya suatu hari.
“Ntah. Cita-citaku, ingin jadi anak berbakti aja.” Ucap saya yang dianggapnya bercanda.
“Emang kayak gimana? Kamu nggak pernah punya cita-cita? Kayak, guru, polisi, atau ya kayak aku gini.” Tanyanya.
“Nggak…” jawab saya singkat.
“Hidupmu terlalu membosankan, Anya.” Katanya mengatai saya.
Berkat perjanjian saya dengan Rendy, saya kembali menulis. Semua di mulai dari nol lagi. Tidak ada yang tersisa dari masa lalu saya. Semua harta karun saya sudah habis terbakar dan terbuang.
Semakin beranjak dewasa, saya semakin berfikir untuk meraih mimpi saya walau diam-diam. Sekali lagi, rasanya saya ingin bergantung pada seseorang yang menganggap dan mendukung saya. Hampir setiap hari, di tengah malam, di saat semua orang tertidur, saya mencoba menulis semua ide cerita yang tertanam di kepala saya selama ini.
Ke-esokan harinya, sepulang kuliah, Rendy menyuruh saya datang ke kantornya membawa draft cerita yang akan di-publish. Di sana, saya melihat sosok Rendy yang sangat berbeda. Tampangnya lebih dewasa karena dia memakai kemeja, dasi, kacamata, dan celana hitam. Sepatunya juga, persis seperti sepatu yang biasa papa pakai ke kantor.
“Eh, udah datang. Mana? Sini, biar aku taruh di redaksi.” Ucapnya.
Tidak lama, karena Rendy harus bergegas meliput di sebuah acara, dia menyuruh saya kembali dan menunggunya mengabari. Saya pun kembali pulang ke rumah dengan wajah yang memerah. Senyum-senyum sendiri, dan berharap bahwa cerita saya di terima dan bisa di muat di koran itu, sehingga saya bisa memperhatikan sosok Rendy yang berbeda, yang saya kagumi setiap saya ke sana. Hampir setiap hari, saya bangun lebih awal dan menyalakan televisi untuk melihatnya membacakan berita di program berita pagi Jawa Timur. Perasaan berbunga-bunga hampir mengisi hari-hari saya. Kini, saya merasa memiliki sebuah tujuan. Saya menjadi lebih giat berkuliah dan mengerjakan semua tugas agar saya bisa mendiskusikannya dengan Rendy. Saya tidak memperdulikan teman sekampus yang merasa iri dan terus mengganggu saya, karena belakangan saya sering di tunjuk untuk menjadi asisten dosen, atau mengisi acara dengan tema tertentu, di hall kampus, sebagai narasumber. Beberapa, ada yang merasa risih melihat kedekatan Rendy dengan saya, yang ternyata juga sudah lama menyukai Rendy. Yang satu, adalah seorang penyiar radio, yang cukup terkenal di Surabaya. dia memiliki pengalaman banyak yang hampir sama dengan Rendy. Keduanya memiliki kesamaan latar belakang pekerjaan. Dan sering saya melihat, dia sengaja mendekati Rendy. Namun, sayangnya Rendy, lebih memilih untuk mendekati saya. Setiap tingkah dan perkatannya, selalu membuat saya tersipu malu. Saya merasa Rendy juga menyukai saya. Namun, saya takut akan merusak hubungan yang sudah indah ini. Kehadirannya, membuat saya berharap kembali dan penuh dengan semangat. Kepercayaan diri saya muncul kembali, karena saya ingin dia melihat hal-hal yang terbaik dari diri saya. Ini pertama kalinya. Ini pertama kalinya saya ingin terlihat baik dan bagus di depan seseorang karena saya sedang jatuh cinta.
Rasa berbunga-bunga itu, memberikan saya ide untuk membuat sebuah cerita. Saya menjadikan Rendy sebagai tokoh utamanya di dalam cerita saya. tentu saja, Bella, sebagai tokoh yang sangat menyukai Rendy dan bersifat licik. Ada Ayu, yang akan saya gambarkan sebagai sosok Perempuan yang di sukai Rendy. Akhirnya, saya memiliki gambaran mengenai cerita percintaan segitiga. Seandainya saja Kang Angga masih hidup, barangkali, saya akan dengan senang hati mengirimkan cerita ini kepadanya dan menyombongkannya.
Ting. Suara SMS dari ponsel saya.
“Anya, soriiii… ceritamu di tolak. Tapi, kamu bisa coba lagi. kamu bisa kirimin draft nivel yang pernah kamu lihatin ke aku di kampus. Aku akan coba kirimkan ke Kompas Gramedia. Aku punya kenalan di sana.”
“Oh, nggak apa-apa, Ren. Aku akan terus nyoba. Apa aku bisa bertemu dengan kenalanmu? Aku ingin mencari tahu kriteria penulisan dan penerbitan di sana. Itu kan, Perusahaan besar yang sudah terkenal.” Jawab saya minder.
“TEnang aja. Saya sangat dekat. Besok, sepulang kuliah, kita berangkat bareng.” Jawabnya.
“Besok kamu kuliah?” tanya saya penasaran. Hti saya berdegup kencang.
“Iya, saya besok akan ambil kelas pagi, karena saya libur. Ada tugas, ya?”
“Nggak, kok. Kamu tenang aja. Kamu bis a copy rangkumanku di minggu lalu, nanti.”
“Keren. Makasih ya, Anya. Aku nggak tahu deh kuliah aku bakal gimana kalau nggak ada kamu.” Balasnya dengan emoji love.
“Sama-sama.” Jawab saya singkat, mencoba menahan diri, dari hati yang terasa melompat-lompat.
Saya bergegas pamit ke mama, beralasan saya ingin mencari bahan untuk tugas kuliah saya. padahal, saya pergi ke salon untuk perawatan. Papa, sering memberikan uang jajan yang lebih banyak kepada saya. namun, saya hanya memakainya sedikit dan menabungnya. Saya tahu, suatu hari nanti, uang-uang itu pasti akan di ungkit untuk di kembalikan. Tapi, untuk hari ini, saya mencuri waktu untuk menggunakan uang itu. Saya ingin terlihat cantik besok. Seharian, saya habiskan waktu di salon menata rambut, merawat tubuh, dan juga wajah saya. saya juga meminta mbak salon itu, untuk mengajari say acara bermake-up natural yang sangat tipis, namun terlihat segar dan cantik. Betapa takjub hati saya melihat hasilnya. Seolah-olah, Wanita yang ada di cermin itu, bukan lah saya. Setelah selesai, saya mampir ke sebuah mall untuk membeli baju yang bagus. Kali ini, saya benar-benar ingin terlihat cantik dan seperti Wanita dewasa. Saya membeli peralatan make-up yang disarankan oleh mbak-mbak di salon tadi. Tidak lupa, saya membelikan mama dan papa bakso langganan mereka, agar mereka tidak marah karena saya pulang sedikit sore. Semua barang yang barui saya beli, saya msukkan ke dalam tas saya yang besar, agar mama tidak melihatnya dan memrahi saya.
Keesokan Paginya…
Hari ini, saya sudah berdandan manis, berbeda dari biasanya. Saya memakai jilbab yang saya bentuk. Saya juga memakai make-up tipis,s esuai dengan yang diajarkan saat saya ke salon kemarin. Hari ini, saya memakai kemeja putih, dengan balutan Overall jins berwarna biru muda. Saya memakai Sepatu flat berwarna krem. Saya menunggu Rendy di lobby kampus.
“Anya.” Sapa Rendy dari parkiran motor.