Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #1

Bagian 1

Kawan Kawan Baru


Seorang bocah berseragam putih-merah lusuh berjalan menelusuri jalan setapak di gang kampung sambil menengok kiri kanan. Wajahnya awas memandangi sekitar. Dengan tas gendong berwarna hitam kebesaran dan sepatu yang di salah satu ujungnya hampir bolong karena terkoyak jempol dari dalam, ia melangkah pelan agak mengendap-endap seperti menghindari sesuatu–atau seseorang.

Itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah satu minggu libur seusai kenaikan kelas. Sayangnya Indra–nama bocah itu, harus mengulang kembali kegiatan belajar di kelas tiga.

Indra terkejut saat mendapati seorang anak SD lain sedang berjalan di depannya ketika berbelok dari gang. Ia lalu kembali masuk ke gang itu, dan berdiri di sana, bersembunyi. Sesekali mengintip anak itu. Anak yang tahun lalu adalah teman sekelasnya. Indra malu jika harus bertemu dengan mereka. Karena ia adalah satu-satunya anak yang tidak naik kelas.

Dirasa sudah aman, Indra kemudian pergi, masih dengan pandangan awas, ia melangkah kembali. Namun, kemudian seorang anak perempuan memanggil dari belakang.

“Indra!”

“Rin-a,” sapa Indra terbata.

Itu adalah Rina, sang ketua kelas tahun lalu. Dia adalah anak yang pintar. Diketahui saat kenaikan kelas kemarin, perempuan berambut sebahu itu mendapatkan rangking satu.

“Kamu teh nggak naik kelas, kan, Ndra?”

Indra berhenti lalu menatap Rina, tak bisa menjawab pertanyaannya. Ia tak tahu harus berbuat apa, kemudian menunduk.

“Rina!” Seorang anak lain memanggil perempuan itu. Dia adalah Andri, anak ketua RT dari kampung sebelah. “Rina, jangan dekat-dekat sama dia.”

“Kenapa?”

“Dia mah bodoh, nanti kamu ketularan bodoh.”

“Ih kamu, dia kan teman kamu juga.”

“Ah bukan lagi. Dia kan nggak naik kelas, jadi bukan teman lagi atuh.”

“Ih, kamu ya,” dengus Rina.

“Sudah ah. Ayo kita berangkat. Takutnya bangku paling depan keburu sama anak lain.” Andri meraih tangan Rina, lalu menuntunnya pergi.

Saat berjalan, perempuan itu menoleh ke belakang menatap Indra. Ada rasa iba tersirat dari wajahnya, akan tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kembali memalingkan pandangannya ke depan, berjalan agak cepat untuk mengiringi langkah anak lelaki di sampingnya.


***


Pria baruh baya berambut lurus dan sudah dipenuhi uban, berdiri di depan kantor guru. Pak Marwan namanya, seorang penjaga sekolah yang sudah lama bekerja di gedung itu. Tangannya yang kurus keriput dengan urat-urat yang masih menonjol, menggenggam sebuah benda berbahan besi. Matanya memandang halaman sekolah yang masih terdapat banyak murid berkeliaran.

Meski berkeriput, wajahnya selalu berseri, dan tersenyum setiap kali melihat bocah-bocah dengan tingkah laku yang jenaka. Sesekali ia melirik jam di tangannya. Tepat pukul tujuh pagi. Sudah waktunya ia memukul bel sekolah yang tergantung menggunakan kawat di plafon luar kantor guru.

Bel berbunyi. Seketika anak-anak beranjak dari tempatnya, bergegas, ada yang berlari adapun yang dengan santainya berjalan menuju kelas mereka masing-masing. Setelah dirasa sudah masuk semua, Pak Marwan menghentikan pukulannya. Hanya dalam waktu satu menit saja, halaman sekolah sudah kosong, semua murid sudah berada di kelasnya, kecuali seorang bocah berseragam lusuh dengan kantong gendong kebesaran dan sepatu berlubang itu. Ia masih berada di depan pintu gerbang sekolah, ragu untuk masuk. Matanya menatap halaman sekolah yang kosong.

Bocah itu takut akan diejek lagi seperti saat kenaikan kelas dulu, semua teman-teman menertawakannya. Untuk pulang pun ia tak berani, ia tak tahu harus berkata apa pada ibunya ketika ditanya nanti. Indra menyandarkan punggungnya di tembok gerbang, menunduk, perlahan merendahkan posisi tubuhnya sampai berjongkok di sana, kemudian memeluk lutut, dan menenggelamkan kepala di antara lipatan tangannya.

Beberapa saat kemudian. Seorang bocah lain berseragam sama datang. Ia merasa aneh melihat Indra berjongkok di tepi gerbang. Ketika melewatinya, ia memberanikan diri menegurnya.

“Hei, kenapa belum masuk? Terlambat juga ya?” ucap bocah itu. Ia berdiri tepat di depan Indra.

Indra yang mendengarnya kemudian mengangkat kepala untuk melihat siapa yang bertanya. Wajahnya yang memelas menyiratkan ia tak berani menjawab, karena mungkin tak tahu harus berkata apa. Setelah melihat wajahnya, bocah yang berdiri langsung mengenali siapa anak yang sedang ditanya itu.

“Indra? Kamu Indra, ‘kan? Indra Abdurahman yang nggak naik kelas itu?” tebaknya.

Mimik muka Indra langsung panik sekaligus takut, ia berpikir bocah yang berdiri di hadapannya akan mengejek. Ia pun menundukkan kepalanya lagi. Namun, tidak ada ejekan yang ia dengar darinya, melainkan sebuah ajakan untuk ikut bersamanya.

“Masuk, yuk. Jangan takut. Nanti kamu sebangku sama saya,” ujarnya.

Namun, Indra tak bergeming.

“Hayu! Tenang. Kalau ada yang berani ngejek kamu, saya ajak gelut dia.” Ucap bocah itu.

Mendengar perkataannya, Indra langsung mengangkat kepalanya kembali. Ia merasa lebih tenang dan merasa bocah ini akan melindunginya dari murid-murid lain. Ia pun berdiri, ketakutannya sedikit berkurang.

“Ayo masuk,” ajaknya lagi. Lalu bocah itu berjalan menuju gerbang dan masuk dengan tenangnya, walau tahu dirinya sudah terlambat untuk masuk kelas.

Indra pun mengikutinya, akan tetapi, ia hanya berjalan sampai depan pintu gerbang sekolah, dan berhenti di sana.

Perasaan takut itu kembali muncul ketika mendengar suara riuh murid-murid dalam kelas. Nyalinya ciut lagi. Matanya memandangi kelas-kelas bercat merah putih yang berderet, dan berhenti di kelas tiga. Ia membayangkan murid-murid lain yang berada di dalamnya, apa mereka akan mengejek-ejek, pikirnya.

Bocah laki-laki yang masih terus berjalan menuju kelas tidak menyadari kalau aku Indra tidak mengikutinya. Begitu ia menoleh ke belakang untuk melihatnya, ia menghentikan langkah, lalu berbalik.

“Indra, hayu!” serunya.

Namun, Indra tak bergeming dan tetap berdiri di depan pintu gerbang. Bocah laki-laki itu mengernyitkan dahi, memandang aneh padanya, kemudian berlari menghampiri Indra, dan langsung meraih tangan bocah yang terlihat seumuran dengannya itu, memaksanya untuk ikut bersama.

“Hayu atuh!” tegasnya.

Ia menarik tangan Indra, lalu dibawanya berjalan menuju kelas. Akan tetapi, Indra yang terlalu takut kemudian melepaskan dengan membanting paksa tangan bocah itu saat sudah berada di tengah jalan. Ia terkaget dengan apa yang dilakukan Indra.

“Kenapa?” tanya bocah itu, “Kamu mau jadi teman saya nggak?” lanjutnya. Namun, Indra terdiam.

Mungkin karena tak tahu lagi harus berbuat apa, bocah itu pun melangkah pergi meninggalkannya. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat Indra. Setelah sampai di depan pintu kelas, Indra belum juga bergeming untuk mengikutinya kembali. Hingga bocah itu pun masuk ke dalam kelas.

Indra tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia pun berbalik dan berlari menuju luar pintu gerbang. Sesampainya di sana, Indra lalu memosisikan tubuhnya seperti sebelumnya, berjongkok, memeluk kakinya, dan menenggelamkan kepala di antara lipatan tangannya. Kali ini ia hampir menangis.

Beberapa saat kemudian.

“Kenapa kamu, Dek?” Seorang pria tua menegurnya. Pak Marwan menghampiri bocah yang menangis di tepi gerbang. Indra pun mengangkat kepalanya. “Oh,” ucapnya, sang penjaga sekolah itu mengerti sesuatu.

“Sa-saya kelas tiga pak, saya takut masuk kelas.”

“Kenapa takut? Ayo, bapak antar ke kelas.” Pak Marwan meraih tangan Indra. Bocah itu melihat senyum pria tua itu, khas, dengan keriput di sekitar mata yang membuatnya seakan terpejam. Indra pun berdiri, menerima ajakannya.

Dituntunnya Indra berjalan. Rasa takut itu masih ada, tetapi sudah berkurang. Terlihat dari raut wajahnya, lebih tenang, meski gurat dahi masih terkernyit. Di benaknya, ada Pak Marwan yang akan menjaganya. Di pintu kelas tiga. Indra masih di tuntun masuk. Rupanya pria tua itu tidak hanya mengantar sampai sana saja, dipersilahkannya Indra masuk sambil terus memegang tangannya. Bocah itu pun masuk, diikuti Pak Marwan di belakangnya. Di dalam kelas, belum ada guru terlihat. Indra berjalan di antara murid-murid lain yang sudah terduduk di bangkunya masing-masing, mereka tampak melihat ke arah Indra yang masih malu-malu, mencoba mencari bangku yang kosong.

“Di sana, Dek,” tunjuk Pak Marwan.

Penjaga sekolah itu yang masih menggenggam tangan Indra sambil menunjukkan bangku yang sudah terisi satu murid. Ternyata itu bocah yang mengajak Indra masuk tadi. Indra pun menghampiri bangku itu, lalu duduk di sebelahnya. Setelah itu, penjaga sekolah pergi meninggalkan Indra duduk berdua dengan bocah tadi.

Indra yang masih malu-malu hanya terdiam melihat Pak Marwan pergi. Hatinya kembali ciut seiring langkah pria tua itu yang berlalu meninggalkan kelas, sampai akhirnya ia menghilang di balik pintu, berganti seorang wanita berkacamata masuk.

Lihat selengkapnya