Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #2

Bagian 2

Sepatu Bekas untuk Indra


Bu Diah baru saja pulang dari kebun ketika Indra berdiri menunggunya di teras dan langsung menghampiri. Wajah anak itu melas seperti mengharapkan sesuatu dari ibunya.

“Kenapa, Ndra?” tanya Bu Diah sambil meletakan arit di belakang tumpukan kayu bakar di tepi-tepi rumah biliknya, kemudian melepaskan sarung tangan dan caping[1]. “Sudah makan belum. Lauk sisa pagi masih ada, kan?”

Indra menggeleng. “Mah, minta uang,” pintanya.

“Mau apa kamu teh minta uang? Jajan?”

Indra menggeleng. “Mau beli layangan,” jawabnya.

“Layangan?” tanya Bu Diah. “Nggak ada, Ndra. Mamah teh lagi nabung ngumpulin uang buat kamu beli buku paket pelajaran. Biar kamu bisa belajar. Biar kamu teh naik kelas tahun ini. Kamu teh nggak mau kan nggak naik kelas lagi? Si Asep sudah nggak mau berteman lagi sama kamu kan gara-gara kamu nggak naik kelas?” ujar Bu Diah sambil melangkah ke dapur. “Lebih baik kamu teh bantu si bapak di kebun, “ lanjutnya.

Indra tampak melas, wajahnya muram. Dia mengikuti langkah ibunya dan berhenti di pintu masuk dapur. Dia berdiri di sana sambil memeluk kayu tepi pintu yang sudah banyak lubang karena dimakan rayap.

“Mah,” panggil Indra memelas.

“Nggak ada, Ndra,” sahut Bu Diah beranjak duduk di depan tungku. “Baju olahraga sama baju batik kamu juga belum mamah bayar ke koperasi. Baju seragam kamu juga sudah harus diganti karena sudah kekecilan. Tapi mamah teh belum ada uang, Ndra,” jelas wanita berkebaya lusuh itu. Kemudian ia mulai menyalakan api dalam tungku. Bara sisa pembakaran pagi masih merah hingga mempermudah ibu menyalakannya hanya dengan memberinya robekan kertas.

Kali ini Indra terdiam. Wajah muram itu masih menyimpan kekecewaan.

“Tapi, Ndra teh sudah janji sama teman mau beli layangan biar dia ajarin Ndra main layangan,” ujar lelaki berambut belah tengah itu.

Namun, ibunya tetap menggeleng. Indra yang melihatnya tidak bisa berkata-kata lagi kemudian berbalik dan melangkah ke teras.

Kayu-kayu yang tertumpuk dalam tungku pun terbakar setelah beberapa kali Bu Diah meniupnya dengan selongsong pipa bekas. Kepulan asap seketika tersebar ke arah jendela berpagar bambu. Sebagian tertiup ke arah wajah Bu Diah. Ketika berpaling untuk menghindari asap, dia melihat anaknya terduduk melamun di teras.

Bu Diah sebenarnya merasa iba melihat anaknya di sana. Dia lantas teringat ketika Indra dinyatakan tidak naik kelas oleh gurunya dan diejek oleh teman-temannya, yang membuat dirinya tidak mau keluar rumah untuk bermain pada saat liburan sekolah kemarin.

Setelah meletakan panci berisi air di atas kompor tungku, Bu Diah beranjak ke kamar dan mengambil sesuatu dalam lemari bututnya.

“Nih, Ndra.”

Selembar uang bergambar orang utan itu diserahkan pada Indra yang masih duduk di teras. Indra pun tersenyum saat menerimanya dan langsung berdiri. Kemudian dia berlari riang ke arah jalan setelah mengucapkan berterima kasih pada ibunya.

“Jangan pulang sebelum magrib, nanti kamu harus ngaji!”


***


Suasana siang menjelang sore di sebuah lahan yang tak seberapa luas bekas perkebunan, yang merupakan satu-satunya lahan yang bisa dijadikan tempat bermain. Terlihat di sana ramai oleh anak-anak kecil bermain layang-layang, termasuk bocah bangla itu juga Coki dan abangnya tampak serius menengadah ke atas sambil menegang tali.

Indra yang baru tiba di lapangan desa itu langsung mencari bocah bangla itu. Setelah menemukan yang dicarinya, Indra kemudian duduk di tepi lapangan, menunggu.

Bocah bangla terlihat sibuk menarik-ulur benang yang ada di genggaman. Dia begitu pandai mainkan tangannya, dengan mata fokus pada benda melayang yang berada di ujung benang kenurnya. Indra yang tertarik mencoba mencari-cari layang-layang miliknya di antara puluhan layang-layang yang bertaburan di langit sore.

Layangan gombres itu terlihat terbang ke sana-sini, seakan mencari kesempatan untuk beradu dengan layangan rumbai yang ada di dekanya. Setelah menemukan celah, si gombres menghantam si rumbai, lalu mengulurkan tali agar berputar dan melilit tali gelasan si rumbai. Setelah itu, dengan sekuat tenaga lelaki hitam itu menarik kenur di genggamannya secara terus menerus. Hingga akhirnya, layangan rumbai incarannya pun putus.

“Dasar, Bangla!”

Teriakan dari arah belakang terdengar keras memecah riuh ramai suasana lapangan. Rupanya, sang pemilik layangan rumbai tak menerima kekalahannya.

Sang pemilik layangan gombres menghiraukan teriakan itu. Sempat kepalanya menengok ke belakang, menyeringai kepada seorang bocah yang sedang menggulung kenur bekas menerbangkan si rumbai tadi. Raut wajahnya kesal, kecewa, seperti akan menangis.

Yudi akhirnya menyadari keberadaan Indra. Sambil memegang erat tali layang-layangnya, bocah berbibir tebal itu berjalan mundur ke arah indra.

“Gimana? Jadi beli layangan teh?” tanya Yudi.

Indra mengangguk pelan. Setelah itu, Yudi tampak menurunkan layangannya. Sepertinya dia akan memenuhi janji pada Indra untuk mengajarkannya menerbangkan layang-layang.

Hingga satu jam berlalu.

Bocah bangla itu masih betah mendampingi Indra yang terus berusaha menerbangkan layangan yang dibelinya seharga lima ratus rupiah darinya. Namun, layang-layang itu tak kunjung terbang.

“Istirahat dulu, Ndra,” ucapnya.

Yudi tampak lelah kemudian berjalan ke tapi lapangan dan duduk di sana bersama Coki. Tak lama Aep teman sekelas lainnya datang sambil membawa satu plastik es jeruk lalu ikut duduk bergabung bersama mereka. Sementara, indra masih berusaha menerbangkan layang-layang.

Indra mencoba sekali lagi dengan cara seperti yang diajarkan Yudi. Namun hasilnya tetap saja, ujung kepala layang-layang itu berbalik dan mematuk tanah.

Anak itu masih berdiri di tengah lapangan dan masih berpikir cara lain untuk menerbangkannya. Di sudut lain lapangan, anak-anak lain sedang memperhatikannya, berbisik, lalu tertawa.

Terlihat Indra meletakan layang-layang itu di tanah seperti sebelumnya. Saat angin datang, dia menariknya ke atas dan mengulurkan tali dalam genggaman, kemudian berlari sambil menarik tali tersebut di belakang.

Layangan itu sempat terbang. Terbang rendah. Tetapi kemudian bergoyang-goyang lalu berbalik mematuk tanah, dan terseret di tanah seiring langkah Indra berlari.

Indra mencoba sekali lagi, dan lagi, dan lagi. Namun, hasil tetap sama. Hingga layang-layang itu robek dan patah karena terlalu sering mematuk dan terseret di tanah. Anak itu akhirnya menyerah, dan meninggalkan benda itu beserta tali gelasan di tengah lapang.

“Bodoh sekali anak ini,” bisik bocah bangla itu pada Coki dan Aep.

Indra akhirnya menyerah, kemudian menghampiri kawan-kawannya, dan duduk tak jauh dari mereka. Dia tertunduk, termenung, dan mungkin berpikir betapa bodoh dirinya.

“Nggak apa-apa. Nanti coba lagi,” ucap Coki tersenyum.

Kemudian Aep beranjak menghampiri Indra dan mendapati kawannya itu hampir menangis. Dia duduk di sampingnya dan menyodorkan es jeruk miliknya lalu memberikannya pada Indra.

Saat melihat kawannya itu, Indra menyadari sesuatu. Betapa bodoh dirinya, dan berpikir mungkin karenanya, dia bisa saja tidak naik kelas lagi. Dan jika itu terjadi, bisa saja mereka–teman sekelasnya sekarang– tak mau lagi berteman seperti temannya tahun lalu di kelas tiga.

Indra memalingkan wajah, beralih pandang ke lapangan di mana layangan yang dibelinya hasil merengek pada ibu, kini tergeletak, tak kunjung terbang. Lalu teringat kata-kata ibu, bahwa dirinya mungkin memang harus lebih rajin belajar daripada bermain layangan.


Lihat selengkapnya