Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #3

Bagian 3

Seniman Kabaret


Sambil membenahi posisi kerudungnya, seorang anak perempuan berseragam hampir menangis di depan kelas. Hari itu Ibu Sri sedang mengetes hafalan perkalian secara acak dengan menyuruh murid-murid membacakannya tanpa melihat buku. Siti–nama anak perempuan itu– lupa semua yang telah dihafalnya semalam. Dia hanya bisa berdiri sambil melihat teman-teman sekelas yang menertawakan.

“Hei! Kalian jangan ribut!” teriak Ibu Sri sambil mengetuk-ngetukkan penggaris kayu. Perlahan, keriuhan pun berhenti. “Siti, apa kamu sudah hafal perkalian tiga?”

“Su-sudah, Bu,” jawab siti. “Tapi lupa.”

“Baiklah, besok-besok kalau ibu tes lagi jangan lupa,” ujar sang guru. “Baiklah, kamu boleh duduk.”

Siti kemudian berjalan ke bangkunya. Jemari tangannya tak hentinya memainkan ujung kerudung karena gugup dan malu mendengar tawa teman-temannya.

Di sudut kelas, di bangku paling pojok, Indra tampak termenung melihat Siti yang sudah duduk di bangkunya. Anak lelaki itu jadi memikirkan nasib dirinya. Seperti yang diketahui, Indra adalah anak yang tidak naik kelas, dan matematika adalah salah satu pelajaran yang membuatnya tinggal.

Pengetesan berlanjut pada murid-murid lain. Beberapa lancar menyebutkannya, namun tidak sedikit juga yang gugup dan tidak dapat menyelesaikan hafalannya. Indra tampak khawatir jika melihat anak sudah menjelaskan tesnya dan di suruh duduk, karena bisa saja sang guru menunjuk dirinya untuk giliran berikutnya. Dan hal itu pun terjadi.

“Indra. Yuk ke depan,” titah Bu Sri.

Indra agak terkejut dan sedikit gemetar saat berjalan ke depan kelas. Hingga ia berdiri di samping meja guru, rasa gugup itu semakin menjadi-jadi.

“Baiklah, Indra, coba sebutkan perkalian lima,” perintah Ibu Sri.

Sejenak Indra terdiam. Anak lelaki itu memandang ke depan. Seketika dia lupa dengan apa yang pernah hafal. Semacam de ja vu, karena sepertinya dia pernah merasakan itu tahun lalu. Apalagi setelah menyadari kalau semua mata di hadapannya tertuju padanya, yang membuat seketika seluruh isi di kepalanya hilang.

“Ayo, Ndra. Kok diam?” tanya Bu Sri.

Mendengar itu, Indra mencoba mengingat-ingat kembali “Sa-sa-satu kali lima sa-sa-sama, sama dengan–“ ucapan Indra pun terhenti. Dia tidak bisa menyelesaikan hafalannya, bahkan di kalimat pertama.

Sontak seluruh isi kelas tertawa, termasuk juga Siti yang tadi hampir menangis.

“Kenapa kamu? Kamu belum hafal?” tanya Ibu Sri di sampingnya.

Indra menoleh kepada Ibu Sri, namun tak berani menatap matanya, lalu tertunduk dan menggeleng. “Belum, Bu,” ucapnya setengah berbisik.

“Belum?” tanya sang guru lalu menggeleng tak percaya. “Kalau murid-murid lain Ibu bisa maklum karena mereka baru belajar perkalian tahun ini, tetapi kamu? Kamu kan sudah pernah. Seharusnya sudah hafal paling tidak perkalian satu sampai lima.”

Suara tawa cengengesan terdengar di antara murid-murid. Indra hanya diam menunduk. Dia benar-benar malu.

“Besok-besok Ibu akan tes lagi, kamu sudah harus hafal perkalian satu sampai sembilan, ya, Ndra,” Kata Bu Sri.

“Iya, Bu,” jawab Indra lemah.

“Ya, sudah, islahkan duduk.”

Indra pun berjalan kembali ke bangkunya. Terlihat Coki, teman sebangkunya itu, tersenyum padanya. Pada saat Indra duduk, dia kemudian merangkulnya. Saat itu Indra ingin menangis.


***


Di dalam saung yang berada di salah satu punggung gunung belakang desa, Aep dan Coki sedang belajar perkalian bersama Indra. Kejadian di sekolah tadi benar-benar membuat bocah itu malu. Beruntung, dia masih punya teman yang mau mengajarinya.

Tak jauh dari saung, Yudi terduduk di atas batu sambil menyerut bambu dengan pisau. Anak itu sedang serius membuat layang-layang. Namun, perhatiannya teralihkan pada apa yang diobralkan teman-temannya di dalam saung.

“Sebenarnya perkalian itu gampang, Ndra. Kamu tinggal menambahkan saja dengan jumlah dari angka perkalian tersebut. Misal, perkalian satu, kamu tinggal tambahkan satu ke perkalian berikutnya,” jelas Aep.

“Nih, saya sudah bikin tabel,” kata Coki sambil memberikan kertas yang bertuliskan perkalian per angka dengan rapi. “Kamu tinggal ngisi saja. Kalau sudah terus kamu hafalkan,” lanjutnya.

Indra pun menerima kertas itu kemudian langsung melakukan perintah Coki.

“Kalian teh lagi belajar apa?” tanya Yudi.

“Perkalian. Si Indra belum bisa perkalian, tadi dites guru dia malah ceurik[1].” Aep lalu tertawa kecil.

Indra yang mendengarnya tak bisa apa-apa, karena itu memang benar.

“Ceurik? Nangis? Apa begitu saja nangis! Kayak saya dong, walaupun nggak sekolah, kalau cuman perkalian mah gampang!” ucap Yudi jemawa.

“Masa?”

“aslina saya mah.”

“Cik, coba saya tes. Kalau tiga kali tiga berapa?” tanya Aep.

“Sembilan lah!”

“Kalau lima kali tujuh?”

Yudi agak lama untuk menjawab. Anak itu menggerak-gerakan jemarinya seperti sedang menghitung. “Tiga lima,” jawabnya.

Aep terkejut. “ Kalau tujuh kali tujuh?”

Yudi pun dapat menjawabnya dengan benar meski harus menghitungnya terlebih dahulu dengan jari agak lama.

“Pintar oge kamu, ya, Bangla,” puji Coki memanggilnya dengan nama alias. “Kenapa kamu nggak sekolah saja sih? Sayang.”

“Nggak tahu.” Yudi lalu terganggu pada bilah bambu yang dipegangnya. “Bapak nggak mau menyekolahkan saya,” ucap anak berkulit cokelat itu kemudian. “Ah, buat apa sekolah juga, mending gini saja, buat layangan terus jual, dapat duit,” ucapnya menyengir. Kemudian Yudi melanjutkan pekerjaannya.

“Sudah, nih.” Tak lama kemudian, Indra menyelesaikan tugasnya mengisi hasil perkalian.

“Sudah? Cepat juga, Ndra. Sini aku lihat.” Aep mengambil kertas itu. Setelah memeriksanya, dia agak terkejut melihat tabel itu semuanya terisi dengan benar. “Pintar juga kamu, Ndra.”

“Kalau mengisi kan gampang, kalau dites baru susah,” ujar Coki.

“Sebenarnya sih masalahnya bukan di perkaliannya,” ucap Yudi menimbrungi percakapan. “Kadang kita kalau sudah berada di depan umum, semua yang di kepala hilang karena grogi.”

Aep dan Coki mengangguk pelan menyetujui.

“Bagaimana caranya tidak gugup di depan kelas?” tanya Indra malu-malu.

“Kalau kata ibuku, sih, anggap saja semua yang ada di depan kamu itu tidak ada, anggap kamu sedang sendirian di kelas. Atau anggap semua yang ada di depan itu monyet yang tidak mengerti apa yang kamu ucapkan,” jelas Aep.

“Monyet? Dia dong,” kata Coki sambil menunjuk Yudi.

“Euh, Cecep!” panggil Yudi dengan nama aslinya.

“Euh, Bangla!” balas Coki dengan memanggil nama aliasnya.

“Euh, Juned!” balas Yudi dengan memanggil nama Bapaknya.

Saling sindir nama panggilan pun berhenti di sana. Entah kenapa Coki tak mau meneruskan perseteruan adu mulut itu. Dia hanya bisa tersenyum kesal melihat Yudi yang menertawakannya penuh kemenangan.

“Sekarang, kamu akan aku tes, Ndra. Biar nanti di kelas kamu tidak gugup lagi,” ucap Aep.

Indra pun menyanggupi permintaan itu. Dia mengambil kertas tabel perkalian untuk menghafal sekali lagi apa yang sudah ditulisnya. Kemudian dia meletakkan kertas itu dan mulai menyebutkan kalimat perkalian satu persatu.

Tak disangka, akhirnya Indra bisa menyelesaikan tes tersebut, walau sesekali harus menyontek, dan harus mengulang beberapa kali. Aep dan Coki sepertinya yakin kalau kawannya itu bisa lulus tes perkalian besok.


***


Di depan kelas, seorang murid perempuan berkerudung tengah berusaha menyebutkan perkalian lima yang diperintahkan sang guru. Walaupun agak terbata-bata, tetapi akhirnya dia dapat menyelesaikannya. Senyum puas terpasang pada wajah Ibu Sri. Beliau bangga dengan anak muridnya itu.

Setelah itu, sang guru memanggil Indra untuk giliran berikutnya. Anak lelaki itu tampak agak gugup, tetapi ketika kawannya menyemangati, dia tersenyum. Indra pun melangkah ke depan kelas lalu berdiri di sana menghadap teman-temannya.

“Baiklah, Indra, apa kamu sudah menghafal perkalian?” tanya sang guru.

Lihat selengkapnya