Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #4

Bagian 4

Mak, Kenapa Saya Bodoh?


Magrib hampir tiba ketika Indra pulang dari balai desa untuk latihan kabaret dan bertemu dengan Andri–mantan teman sekelasnya dahulu ketika anak itu masih kelas tiga–. Mereka berpas-pasan di gang. Indra agak terkejut dan canggung ketika Andri melihatnya. Mereka pun berjalan satu jalur ke rumah masing-masing tanpa menyapa.

Indra yang berjalan di belakangnya terkesiap ketika melihat Andri berbalik, berhenti, dan menunggunya.

“Dari mana? “ tanya Andri.

“Latihan kabaret,” jawab Indra pelan.

Meskipun canggung, Indra membiarkan Andri melangkah di sampingnya. Mereka pun berbincang tentang apa pun yang bisa dibahas, termasuk keterlibatan mereka di panggung acara tujuh belasan.

Andri adalah anak bola. Dia akan berpartisipasi di pertandingan antar kampung yang sedang berlangsung mewakili kampungnya, kampung Indra juga. Walaupun banyak kabar keterlibatannya adalah hanya sebagai pemain titipan saja, sebab dirinya adalah anak Pak RT. Selain itu, dia juga ikut berpartisipasi dalam kesenian bela diri pencak silat.

Sebenarnya, ada rasa iri dalam diri Indra padanya, mungkin jadi timbul rasa benci juga. Pasalnya, anak itu adalah salah satu anak yang mengejeknya ketika dahulu Indra tidak naik kelas, padahal Andri adalah teman sebangkunya dulu.

Di persimpangan gang, mereka harus mengambil jalan yang berbeda. Ketika sudah berbelok, Indra berhenti untuk melihat Andri. Dia memperhatikannya dengan perasaan dan pikiran itu: Adakah dia ingin berkawan kembali?


***


Keesokan harinya, di minggu subuh.

Suara langkah berdebum di lantai kayu yang membuat Indra terbangun. Walaupun sebenarnya anak itu sudah tak bisa terpejam lagi sejak dini hari tadi–entah karena apa.

Indra tahu itu orang tuanya yang sedang bersiap pergi ke perkebunan teh. Sebenarnya Bapak hanya mengantar ibunya ke sana dan akan bekerja di pagi harinya sebagai buruh kebun di tempat lain. Tetapi sekalian saja pergi subuh agar bisa menumpang mobil pick up yang akan mengantarkan mereka ke sana.

“Mah, mau ikut,” ucap Indra yang baru saja keluar dari kamarnya.

Pak Ari dan Bu Diah langsung menengok ke arah Indra dan menatapnya. Mereka memasang wajah heran karena tumben sekali anak laki-lakinya itu mau ikut. Biasanya Indra susah sekali bangun diajak untuk ikut, sebab tak ada yang menjaga dia di rumah, apalagi di hari minggu. Tentu saja Pak Ari dan Bu Diah memperbolehkannya.

Tak lama kemudian, setelah jaket dan kupluk dipakaikan pada Indra, mereka pun segera pergi dari rumah terburu-buru karena takut ketinggalan mobil jemputan. Pagi itu sungguh dingin. Keadaan kampung masih gelap ketika mereka tiba di tepi jalan untuk menunggu mobil pick up yang akan mengangkut para pemetik daun teh ke perkebunan di belakang gunung. Sudah banyak pekerja lain di sana, beberapa terlihat sedang membawa anaknya, termasuk Bu RT yang membawa Andri.

Baik Pak Ari atau pun istrinya sangat senang jika Indra ikut. Sebab tumben sekali. Indra hampir tidak pernah mau jika disuruh ikut, padahal mereka selalu khawatir jika harus meninggalkannya sendiri di rumah. Indra sebenarnya punya abang, tetapi sudah meninggal karena penyakit, juga punya kakak perempuan yang paling besar tapi sudah menikah dan ikut suaminya ke kota.

Mobil pick up pengangkut itu tiba. Semua ibu-ibu pekerja bergegas naik. Di atas mobil itu Indra duduk di bawah, diapit kaki bapaknya yang duduk di atas tepi penyangga mobil. Andri yang naik terakhir, kemudian duduk berhadapan dengan Indra.

“Eh, Andri, kumaha damang?” tanya Pak Ari.

“Alhamdulillah sae, Pak,” jawab Andri. Kemudian anak itu menyapa Indra, “Ndra, tumben ikut?”

Namun Indra terdiam tak mau menjawab.

“Ndra, eh, jawab atuh kalau ada teman tanya teh,” ujar Pak Ari.

Bu Diah menyikut pelan suaminya itu. Dia tahu kalau Indra sedang tidak mau bicara dengan Andri sejak anaknya itu tidak naik kelas. Bahkan Bu Diah tahu kalau Asep mengejek Indra dan bilang tak mau berteman lagi.

Di sepanjang jalan berbatu menuju perkebunan teh, mobil melaju agak bergoyang-goyang, di sepanjang perjalanan itu pula Indra dan Andri tidak saling bicara. Dinginnya angin subuh berbisik parau tentang kecanggungan dua bocah yang pernah bersahabat itu.

Lihat selengkapnya