Turnamen Sepak Bola Antar Kampung
Tujuh belas Agustus masih dua minggu lagi, tetapi geliat merayakan hari kemerdekaan itu sudah terasa. Hiasan-hiasan merah putih sudah terpasang di beberapa sudut kampung. Anak-anak Karang Taruna sudah siap mengelar acara tahunan itu. Termasuk acara tahunan yang paling ditunggu warga desa: sepak bola antar kampung.
Pertandingan sendiri sudah dimulai sejak sebelum memasuki bulan Agustus. Karena banyaknya peserta dari berbagai kampung yang mengirim perwakilan membuat panitia yang bertugas harus kewalahan di babak penyisihan karena memerlukan waktu lebih panjang. Saat ini pertandingan sudah berjalan sampai babak 16 besar.
Sore itu, selepas latihan kabaret, Indra, Coki, dan Aep terburu-buru berjalan ke lapangan balai desa di mana pertandingan digelar. Mereka tampak antusias sekali, terutama Coki yang memang menggemari permainan olahraga tersebut. Sebenarnya dia ingin sekali ikut berpartisipasi. Namun, sayangnya dia tidak bisa ikut karena masih dianggap terlalu kecil. Padahal kalau melawan anak SMP, dia boleh diadu.
“Si Andri boleh ikut main, kenapa saya nggak? Teu adil aingah!” ujar Coki. Dia dan dua temannya sudah berdiri di tepi lapangan, di belakang tapi rapi yang membentang sekeliling lapangan yang menjadi batas antara penonton dan sisi garis lapangan.
“Si Andri mah kelas opat, maneh mah kan kelas tilu keneh atuh,” jawab Aep yang sedang berjongkok di memperhatikan permainan.
“Tetap saja lah. Kelas opat oge atuh sama-sama masih kecil!” sanggah Coki.
“Si Andri kan anak Pak RT, paling disuruh sama bapaknya masuk,” ujar Aep.
“Hu’uh sama kayak bapak kamu, Ep, yang nyuruh kamu masuk kabaret,” ucap Coki.
Aep yang merasa disindir langsung menengadahkan kepala melihat Coki dengan mata mendelik. Lantas dia bertanya, “Kalau bapak kamu suruh kamu masuk ke mana, Cok?”
Coki melirik Aep lalu menjawab, “Balong![1] Puas!”
Aep dan Indra pun tertawa.
Meski mereka menyinggung bapaknya yang bekerja di tambak ikan, di mana dirinya sering dipaksa ikut membantu, tapi Coki tidak marah karenanya. Dia lebih tertarik pada jalannya pertandingan yang sebentar lagi akan berakhir. Terdengar riuh warga yang menonton menyoraki tim yang didukung masing-masing.
Ketika salah satu pemain terlihat melanggar pemain lawannya di dalam kotak penalti, suara peluit melengking. Para pemain tim kampung Sangkan Kidul yang mendapatkan tendangan penalti tersenyum dan menunjukkan gerik kesenangan karena mereka hanya butuh satu angka untuk memenangkan pertandingan. Sementara tim lawan aral memprotes.
Rupanya, Andri, si anak kelas empat SD itu yang akan menendang. Dia terlihat senang dengan kesempatan yang diberikan. Namun sayang. Ketika melakukan eksekusi tendangan penalti, bola dapat ditangkap kiper lawan.
“Belegug![2] Kalau saya yang tendang pasti masuk itu!” ucap Coki.
Sorakan terdengar bergemuruh di lapangan desa. Sementara sang penendang hanya tertawa sambil berlari mengejar bola yang dilempar sang kiper segera setelah menangkapnya. Pertandingan pun berlanjut.
“Saya mau protes ah sama panitia. Masa saya nggak boleh main, tapi si Andri yang nggak becus boleh,” ucap Coki. Mukanya tampak kesal.
“Protes saja sana, emangnya berani?” ucap Aep.
Mendengar itu, Coki semakin panas. Dia ingin membuktikan ucapannya bukan bual belaka. Coki benar-benar merasa itu tidak adil baginya. Saat itu juga, ketika pertandingan selesai, dia lantas pergi ke tenda panitia pertandingan di dekat balai lapangan.
Bersama nyali yang besar dia masuk ke sana dan berdiri di depan meja panitia. “Mang, kenapa si Andri bisa masuk tim tapi saya nggak?!” ucap Coki lantang.
Orang-orang yang berasa di area khusus panitia melihat bocah kecil protes di hadapannya itu hanya tertawa. Mereka–para panitia yang merupakan gabungan dari beberapa anak karang taruna kampung sekitar– tak terlalu menghiraukan, dan itu membuat Coki semakin kesal dan memukul salah satu panitia.
“Anjir! Kunaon ari maneh, Jang?[3]” ucap salah satu panitia setelah mendapatkan pukulan.
Coki terus meracau di dalam sana, memprotes, dan berteriak tentang keinginannya masuk ke dalam tim kampungnya. Dia juga protes tentang anak bernama Andri yang baru kelas empat tapi sudah diperbolehkan main. Padahal semua tahu syarat pertandingan adalah untuk anak berusia 10 sampai 15 tahun.
Coki merasa lebih jago daripada Andri. Semua orang pun tahu kalau Andri hanyalah pemain titipan, sebab bapaknya adalah RT. Rahasia umum yang sudah basi karena selalu ada setiap tahun.
Di tengah kekisruhan itu, datanglah Pak RW. “Aya naon eta teh?[4]” Pak RW datang menghampiri.
“Ini si Cecep mau ikutan main bola, tapi kan masih kecil, masih kelas tiga juga atuh,” jelas salah satu panitia yang dipukul Coki.
Senyum sungging merendahkan terpasang di wajah-wajah panitia. Dia yakin kalau Pak RW akan memarahinya atau paling tidak menolak dia bermain. Namun senyum itu seketika hilang saat Pak Ilham–nama Pak RW– mengizinkan Coki bermain setelah sejenak memperhatikan anak itu dari ujung rambut ke ujung kakinya.
“Ya sudah, masukin saja atuh, dari postur tubuhnya juga kelihatan layak,” ucapnya. “ Kamu teh adiknya si Iwan, kan? Si Iwan ke mana sekarang kok nggak kelihatan? Biasanya kan dia yang ikut main bola tujuh belasan?” lanjut Pak RW.
“Aa Iwan pergi ke Jakarta, Pak. Kerja di sana,” jawab Coki.