Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #6

Bagian 6

Tujuh Belas Agustusan


Siang itu, sepulang sekolah, Indra tampak tergesa-gesa mencari baju berwarna hitam seperti gamis yang akan dijadikan kostum pawai. Anak itu tak menemukan pakaian khas Suku Baduy itu di mana pun. Padahal dia yakin, semalam, setelah Kang Utai memberikannya seusai latihan kabaret, dirinya membawanya pulang.

“Lagi nyari apa kamu teh, Jang?” tanya Bu Diah yang baru saja pulang dari kebun.

“Baju yang warna hitam. Tadi malam Indra simpan di atas meja belajar.”

“Oh. Dicuci sama mamah tadi pagi. Sekarang sudah kering mungkin. Atuh da kotor kelihatannya, kayak bekas pakai orang,” ucap Bu Diah yang kemudian berjalan ke belakang rumah untuk mengambil baju tersebut.

Ketika kembali, Ibunya itu langsung memakaikan baju itu pada Indra.

“Kapan mulainya pawai teh, Ndra?”

“Sekarang, Mah. Jam dua.”

Setelah memakai baju itu beserta ikat kepala hitam khas Suku Baduy, Indra bergegas pergi sambil mengucapkan salam.

Ketika Bu Diah menjawab salam anaknya, tiba-tiba muncul perasaan yang janggal di hatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu menatap anaknya yang sedang berjalan terburu-buru. Ingin Bu Diah menolak rasa itu dan mengabaikannya, akan tetapi sebelum berbalik, dia melihat seorang anak lain menghampirinya dan berjalan bersama Indra.

Kekhawatiran itu muncul lebih kuat. Apakah anaknya akan baik-baik saja? Tentu Bu Diah tidak mau kejadian seperti tempo hari terulang lagi, di mana Indra dikerjai teman-temannya saat bermain. Maka dari itu, Bu Diah segera berjalan menyusul anaknya.


***


Balai Desa, yang menjadi titik kumpul peserta pawai Kampung Sangkan Kidul, sudah ramai dipenuhi anak-anak dan orang dewasa berpakaian daerah kesenian pasundan menjadi tema yang diambil panitia tahun itu.

Indra yang merupakan anggota grup kesenian kabaret menjadi salah satu peserta termuda selain Aep dan Coki, teman sekelasnya.

“Mana kumisnya?” ucap Mang Utai pada Indra saat anak itu baru saja datang di balai. Pelatih kabaret itu pun mengambil alat makeup, dan membuat kumis palsu di wajah Indra dengan pensil alis. “Nah, kan, rada kasep ari dikumisan mah,[1]” ujar Mang Utai, yang membuat Aep dan Coki tertawa.

Jam di dinding balai sudah menunjukkan pukul 14:15, tetapi pawai baru saja akan dimulai. Semua peserta sudah rapi berjajar di halaman balai ke arah gerbang. Setelah aba-aba dari Mang Utai, musik gamelan pun dimainkan di atas mobil pick up, yang menjadi pemimpin pawai, sementara peserta berjalan di belakangnya. Pawai pun di mulai.

Selain dari grup kabaret, peserta juga berasal dari grup musik gamelan, kelompok tari daerah, dan juga pencak silat di mana Andri juga menjadi anggotanya. Anak inilah yang dikhawatirkan Bu Diah akan mengerjai Indra. Selama perjalanan pawai itu, Dia mengikuti dan terus memperhatikan Indra tak jauh di belakangnya.

Pawai menjadi lebih meriah ketika peserta dari kampung-kampung lain bergabung dengan tema yang berbeda-beda. Ada yang memperagakan kesenian sisingaan secara keseluruhan, di mana empat anak duduk di atas patung singa ditandu oleh empat orang penari dan diiringi musik khas dari speaker dengan lantunan lagu seorang pesinden. Ada juga yang mengusung tema kostum tokoh pahlawan pejuang kemerdekaan. Bahkan beberapa dari mereka mengambil tema yang agak modern, seperti; menampilkan tokoh pahlawan dari acara televisi “Ksatria Baja Hitam” beserta kawan-kawannya; menampilkan tokoh-tokoh dari sinetron “Misteri Gunung Merapi”; dan juga berbagai macam hantu-hantuan. Semuanya tampak semangat memeriahkan pawai.

Di lain sisi, kemacetan tidak terhindarkan. Rute perjalanan itu memang merupakan jalan utama menuju tempat wisata dan banyak dilalui kendaraan-kendaraan dari kota yang akan menghabiskan libur tujuh belasan. Apalagi itu adalah malam minggu. Meskipun begitu, hal itu dapat diatasi dengan baik oleh para petugas balai yang sudah disediakan panitia.

Dengan baju yang belum ganti semenjak pulang dari kebun, Bu Diah terus mengikuti, padahal rute yang akan ditempuh cukup jauh, yakni mengelilingi hampir setengah gunung. Wanita paruh baya itu berjalan di antara masyarakat yang rela berpanas-panasan demi menyaksikan pawai, dan sesekali memperhatikan Indra.

Hingga, kekhawatiran itu pun terjadi.

Andri yang berjalan di belakang Indra dengan sengaja menendang kaki anak itu sampai hampir terjatuh. Indra berbalik dan melihat mantan teman sebangkunya itu tertawa. Indra tahu bahwa dialah yang menendang, tetapi Indra tidak berani menegur.

Coki dan Aep yang berjalan di depan Indra tak mengetahui kalau temannya itu sedang dikerjai. Pun Indra tak berani bilang pada mereka.

Beberapa kali Andri melakukan itu pada Indra dan terus menyembunyikan tawa ketika Indra menengok ke arahnya. Bu Diah yang juga melihatnya, tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandang miris anaknya.

Hingga untuk yang ke sekian kalinya, Indra jatuh juga oleh tendangan itu. Dia tersungkur ke depan sampai menabrak Coki, yang juga hampir terjatuh dibuatnya. Bu Diah sudah tidak tahan melihat itu. Dia berjalan lebih cepat dan berniat akan melabrak anak yang mengerjai Indra. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika melihat Coki memukul dan menendang Andri.

Lihat selengkapnya