Masa Depan Yudi
Situ Ciburuy laukna hese dipancing
Nyeredet hate, ningali ngeplak caina
Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing
Nyeredet hate ningali sorot socana.
Batang bambu itu diserut dari ujung ke ujung berkali-kali sampai mendapatkan ukuran yang pas. Sambil terus bersenandung, tangan Yudi kemudian mengampelas batang tadi. Ia tersenyum-senyum sendiri. Indra duduk di saung memperhatikannya dengan wajah heran.
“Kenapa si Bangla?” tanya Indra pada Coki yang berbaring di sampingnya, asyik melihat dinding saung, yang terdapat berbagai jenis dan warna layang-layang milik Yudi, seakan itu sudah menjadi galeri pribadinya.
Coki terbangun lalu melirik Yudi yang masih bersenandung dan tersenyum-senyum. Kemudian dia membisikan sesuatu pada Indra.
“Adeuy.” Indra bereaksi setelah bisikan itu. Dia tersenyum geli saat mendengar bahwa Yudi sudah punya pacar.
Untuk anak kelas lima SD, tentu saja Indra dan Coki sudah mengerti apa itu pacaran, walau hanya tahu sebatas hubungan antara laki-laki dan perempuan, meski mereka mungkin sudah bisa merasakan itu.
Berbeda dengan Yudi yang usianya tiga tahun lebih tua dari mereka, jika saja anak itu disekolahkan bapaknya, mungkin dia sudah duduk di kelas dua SMP. Di usia 14 tahun sudah cukup untuk seorang lelaki dapat merasakan suka pada lawan jenis. Baligh.
“Saha kabogohna?[1]” tanya Indra penasaran.
Namun, Coki tak menjawab dan malah menyikut Indra. Wajahnya kemudian menggeleng pelan lalu meletakan telunjuk di bibirnya. Indra yang belum mengetahui bahwa Yudi sudah punya pacar tidak boleh diketahui Aep yang sedang tiduran di dalam saung. Indra mengernyit tak mengerti.
***
Kalau mau pandai menerbangkan layang-layang, kamu harus bisa juga membuatnya.
Entah apa benar apa yang dikatakan Yudi itu ketika sedang mengajari Indra menerbangkan layang-layang. Hal itu terus menjadi pikiran Indra. Dia ingin sekali bisa menerbangkannya, seperti anak-anak lain. Indra ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak bodoh. Kata-kata itu terus terngiang di setiap aktivitasnya.
Kejadian sore itu, di mana Indra selalu gagal menerbangkan layang-layang, membuat dirinya frustrasi. Suatu hari, ketika Indra duduk termenung di dalam saung sambil memerhatikan Yudi sedang membuat layang-layang, Indra bertanya tentang bagaimana caranya.
“Ajarin atuh saya, Yud, buat layangan bagaimana caranya?” ucap Indra.
Yudi menengok pada yang bertanya. “Sok weh kalau mau mah, asal kertasnya beli sendiri. Kalau bambunya mah kan tinggal ambil di hutan juga banyak.”
Indra setuju dengan syarat tersebut. Walaupun ia sendiri tidak tahu apa ibunya akan memberinya uang padanya untuk kertas itu, sebab terakhir kali meminta uang untuk membeli layang-layang, dirinya kena marah.
Indra pun turun dari saung dan menghampiri Yudi. Dengan saksama Indra menyimak apa yang dilakukan temannya itu saat membuat layang-layang dari awal. Begitu juga Aep dan Coki yang sepertinya juga tertarik melihat proses pembuatan layang-layang.
Pertama-tama, Yudi mengajari bagaimana membuat kerangka dari bambu. Disuruhnya Indra menyerah batang bambu itu sampai agak tipis. Setelah dua batang selesai, Yudi memberitahu bagaimana cara mengikatnya dengan benang agar seimbang.
Hal yang membuat Aep, Coki, dan Indra penasaran sekaligus kagum, adalah dari mana Yudi tahu bagaimana cara membuat layang-layang? Mereka merasa kalau Yudi sebenarnya anak yang cerdas, meskipun tak pernah sekolah.
Sore menjelang, akhirnya Indra dapat menyelesaikan membuat kerangka layangan.
“Tinggal dikasih kertas. Beli sendiri ya, Ndra,” ucap Yudi.
“Emangnya beli di mana?”
Ketika Yudi memberitahu tempatnya, ternyata letak toko itu agak jauh dari kampung. Jadi, Indra memutuskan untuk melanjutkan membuat layang-layang itu esok hari dan menyimpan kerangka itu di markas mereka, di saung tempat Yudi menyimpan segala perlengkapan.
***
Indra terburu-buru pulang dari sekolah karena tidak sabar ingin membeli kertas untuk membuat layang-layang dari uang jajan yang disisihkan. Setelah sampai rumah, tak lama anak itu langsung pergi ke rumah Aep karena sudah janji dengannya untuk pergi bersama.
Sesuai arahan Yudi, Indra dan Aep pergi ke toko yang menjual kertas itu. Sebenarnya mereka juga mengajak Coki. Tapi anak itu tidak bisa karena harus membantu bapaknya di tambak ikan.
Ternyata benar, tempatnya agak jauh. Mereka harus menelusuri jalanan tanah di sepanjang kaki gunung dekat hutan untuk menuju ke jalan raya. Bagi Indra itu adalah pertama kalinya dia keluar dari kampung.
Tepat di ujung jalan tanah itu ada sebuah rumah yang bergaya khas. Beberapa ornamen belum pernah dilihat Indra. Sedangkan bagi Aep tahu kalau itu rumah orang cina. Terlihat dari lampion berwarna merah yang terpajang di depan pintu masuk. Ada toko kelontong di sebelah rumah itu yang mungkin adalah toko yang dimaksud Yudi.
Mereka pun masuk. Banyak sekali barang-barang yang ada di dalam hingga membuat ruangan agak pengap.
“Punteun,” ucap Indra. Namun, Aep menyikutnya.
“Permisi,” ucap Aep membenarkan.
Keadaan toko agak kosong. Hanya mereka orang di dalam yang terlihat. Tak lama keluarlah seorang kakek bermata sipit dengan kumis, janggut, dan rambut putih yang tipis.
“Iya, kalian mau beli apa, Nak?” ucap kakek tersebut.
“Mau beli … kertas, Pak,” jawab Indra. Entah kenapa Aep kembali menyikut.
“Mau beli kertas buat bikin layang-layang, Koh,” timpal Aep menambahi.
“Kertas buat bikin layang-layang? Maaf, Nak, di sini tidak jual,” ucap kakek itu. “Kenapa nggak beli layang-layang nya saja sekalian?” tawarnya.
Namun, Aep dan Indra terdiam sejenak lalu menggeleng pelan. Karena merasa yang dicarinya tidak ada, mereka pun bergegas pergi.
“Cenah kata si Yudi ada di sini,” celetuk Indra sambil berjalan pergi.
“Yudi? Kalian temannya Yudi?” tanya Kakek itu segera. Mereka pun berhenti, berbalik, dan terdiam melihat kakek tersebut. Mereka mencerna apa yang dimaksud orang tua tersebut. “Yudi yang punya badan hitam?” lanjut sang kakek bertanya.
“Oh, iya, Koh. Itu teman saya,” ucap Indra.
“Apa kakek mengenalnya?” tanya Aep.
Si kakek pun tersenyum kepada mereka. “Kenal. Dia kan, anak angkat kakek.”
Kedua anak itu tampak bingung dengan apa yang diucapkan sang kakek. Setelah itu kakek tersebut membawa Aep dan Indra ke ruangan lain yang ada di dalam sambil memperkenalkan dirinya dan menceritakan bahwa dirinya memang kenal Yudi.
Kakek tersebut bernama Tino. Yudi sering memanggilnya Koh Tino, karena itu yang Yudi tahu panggilan untuk orang keturunan Tionghoa. Ternyata, Koh Tino lah yang mengajarinya membuat layang-layang dulu.
“Waktu itu Yudi masih kecil, mungkin sebesar kalian sekarang. Dia datang dan mau beli benang dan kertas buat bikin layang-layang. Sama seperti kalian,” Koh Tino bercerita. “Tapi, dia tidak punya uang. Lah bagaimana mau beli tapi nggak punya uang.” Koh Tino tertawa.
“Terus?” Aep penasaran.
“Kakek lihat dia menangis di depan toko. Kakek kasihan. Terus kakek ajari saja dia bikin layang-layang biar dia bikin sendiri. Sekarang dia sudah pandai. Semua layang-layang yang ada di depan toko itu adalah dia yang bikin.”
Aep mengangguk-angguk.
Tibalah mereka di ruang sebelah yang ternyata adalah toko jajanan. Namun, baik Aep dan Indra merasa asing dengan makanan yang ada di sana. Bakpao, Bakcang, Dimsum, Cakwe, dan banyak lagi tulisan yang tertera di dinding.