Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

Hendra Wiguna
Chapter #9

Bagian 9

Berkemah di Cagar Alam


“Jadi ngaliwet teh?”

Aep berjalan agak cepat menyusul Indra dan Coki yang sudah jauh menuju ujung gang. Tiga bocah SD itu kemudian melangkah berbarengan di antara rumah-rumah bilik bambu. Mereka sedang membicarakan rencana berkemah di markas pada malam minggu esok bersama Iwan, abangnya Coki, yang baru saja pulang dari kota untuk liburan, juga teman-temannya.

“Tapi orang tua kalian memperbolehkannya nggak?” tanya Coki pada kedua temannya.

“Boleh. Bapak saya mah bebas,” jawab Aep.

“Kalau bapak kamu, Ndra?”

“Boleh,” jawab Indra mengangguk. Meskipun setelah itu wajahnya menyiratkan keraguan.

Sebelum berbelok menuju rumahnya, Indra sempat berhenti di jalan memandangi dia kawannya, masih dengan pikiran itu.

Semenjak mengetahui kalau Indra suka dirundung oleh teman lamanya, Andri, Bu Diah jadi agak khawatir ketika anaknya itu akan bermain keluar rumah, apalagi malam-malam. Entah apa Bu Diah akan mengizinkan atau tidak.

Tiba di rumah, Indra langsung menghampiri ibunya bermaksud meminta ijin. Akan tetapi, dia ragu, bahkan untuk sekedar bertanya. Anak itu kemudian duduk di kursi meja makan. Merenung dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara pada ibunya. Namun, masa itu tak kunjung ada. Dia hanya bisa memandangi ibunya yang tengah memasak di dapur.

Sepulang mengaji, Indra masih terpikirkan tentang ijin itu. Karena ingin sekali berkemah, anak itu akhirnya bertanya juga. Tentu saja, permintaan itu ditolak.

“Nggak boleh. Nanti kamu diapa-apain mereka,” jawab Bu Diah.

Berbeda dengan ibunya, justru bapaknya tidak melarang sama sekali saat mengetahui Indra akan berkemah, karena menurutnya itu baik bagi pergaulan anaknya. Apalagi dia laki-laki. Pak Ari keluar dari kamar karena mendengar percakapan istri dan anaknya itu.

“Biarkan saja, Bu. Dia masih anak-anak. Apalagi dia laki-laki, biarkan dia bermain sama temannya,” ujar Pak Ari. “Lagian kan ada si Iwan, abangnya si Cecep anak Pak Juned yang menemani,” tambahnya.

“Justru itu, Pak. Dia teh kan anak mantan preman. Bagaimana kalau justru dia yang mengganggu?”

“Nggak bakal. Anak itu baik orangnya, nggak kayak bapaknya dulu,” sanggah Pak Ari.

Walaupun masih ada kekhawatiran karena Indra masih berusia sepuluh tahun, tetapi mengetahui ada abangnya Coki dan teman-temannya yang menjaga, dan itu sudah dirasa aman oleh Pak Ari. Apalagi mereka hanya berkemah di hutan belakang desa, Bu Diah akhirnya mengalah dan mengizinkan Indra pergi. Walau gurat keterpaksaan masih lekat di wajah keriputnya.

***

Sore itu, Indra berangkat dengan tas gendong berisi peralatan tidur, air dalam botol bekas, dan tiga bungkus mie instan. Walaupun Indra bilang tidak usah sebab anak-anak lain sudah menyediakan semuanya, tetapi Bu Diah tetap memaksa. Bu dia juga lah yang mengatur semua kebutuhan Indra untuk berkemah.

Indra berjalan ke sebuah saung di tengah sawah, yang merupakan jalur menuju perkebunan dan hutan, di sanalah Coki dan abangnya menunggu Indra dan Aep. Mereka bertemu dan pergi bersama-sama dari sana. Sebenarnya Iwan dan Coki sudah terlebih dahulu tiba di markas untuk mempersiapkan kemah bersama teman-temannya. Tapi karena akan menjemput Aep dan Indra, mereka turun lagi.

Hingga akhirnya mereka tiba di markas. Indra agak terkejut saat melihat Andri, anak yang sering merundungnya, di markas. Rupanya, salah satu teman Iwan adalah Fajar, abangnya Andri. Coki mengerti kalau Indra tidak begitu suka akan kehadiran anak itu. Dia menenangkan kawannya itu dengan menyuruhnya untuk tidak memedulikannya. Selain mereka, ada Yudi yang memang tinggal di markas.

Azan isya terdengar dari pemukiman warga, saling bersahutan bersama suara jangkrik dan katak. Selain saung yang memang sudah ada di sana, ada pula saung yang lebih kecil dari bambu beratapkan daun pisang yang mereka buat sedari sore untuk dijadikan tempat tidur.

Selesai salat, Aep menghampiri yang lainnya, yang sedang terduduk di atas hamparan terpal mengelilingi api unggun yang menyala. Bercerita tentang apa pun yang bisa dibahas ringan, yang diselingi dengan canda dan tawa.

“Der atuh ngaliwet teh. Lapar yeuh.”

Celetukan keluh dari salah satu di antara mereka menjadi awal dimulainya acara utama: memasak nasi liwet. Mereka pun bersiap.

Iwan yang bertugas menanak nasi liwet. Tiga buah kayu ditancapkan di sekeliling api unggun untuk menyangga kastrol. Sementara yang lainnya bertugas memasak lauk pauknya, seperti; tahu, ikan asin, lalapan, dan tentu saja sambal terasi.

Semua sibuk dengan tugas masing-masing, termasuk Indra yang sedang memotong bawang merah, bawang putih, dan segala bahan sambal bersama Aep. Mereka berdua larut dalam obrolan sambil terus mengerjakan tugasnya.

Awalnya semua berjalan lancar, sampai seseorang membuat bencana.

Adalah Andri yang bercanda dengan abangnya, berkelahi, berlarian, dan tidak sengaja menyenggol kastrol hingga penanak nasi itu terlepas dari kayu penyangga dan jatuh menimpa kayu bakar yang masih menyala di bawahnya. Nasi yang belum benar tanak itu tumpah memadamkan api.

“Aaa….”

“Astagfirullohaladzim.”

Semua mata tertuju pada dua saudara itu dengan pandangan menghakimi.

Kecelakaan itu hanya sedikit menyisakan nasi dalam kastrol. Pun itu tak dapat dimakan karena masih berupa air, di mana itu tidak cukup untuk mereka yang berjumlah delapan kepala. Alhasil mereka makan lauk pauk tanpa nasi liwet.

“Masa ngaliwet makannya sama tahu-asin-sambal saja ini teh. Nggak kerasa!” keluh Yudi.

“Ya gimana lagi. Seadanya saja. Kita, kan, cuma bawa itu untuk masak hari ini saja. Besok kita turun,” ucap Iwan.

“Ah. Kurang afdal, ngaliwet tanpa nasi liwet mah,” ucap Yudi lagi.

Sebenarnya semua mengeluhkan yang sama dan menyalahkan pada dua bersaudara itu yang dianggap mengacaukan semuanya. Meskipun begitu tak ada kata-kata menyalahkan mereka berdua.

Akan tetapi, Indra teringat sesuatu. Ada tiga mie instan di kantongnya yang dimasukkan ibunya ke sana. Anak itu pun mengeluarkannya dan memberikannya pada Iwan.

“Al–ham–du–lillaaah,” ucap Yudi. Walaupun hanya tiga, mungkin itu cukup jika ditambah dengan nasi tadi.

Mereka pun memutuskan untuk membuat mie goreng saja alih-alih membuat mie rebus agar bisa jadi pengganti nasi, ditambah dengan sayur dan bumbu yang memang sudah tersedia.

“Ini mah namanya bukan nasi liwet atuh, tapi mie liwet!” celetuk Yudi.

Akhirnya, insiden itu bisa diselamatkan oleh tiga bungkus mie instan. Mereka pun menghabiskan malam minggu dengan menikmati mie liwet beserta lauk pauk yang tersaji di atas daun pisang berjajar dua baris. Senda gurau terdengar di antara obrolan ringan saat suapan-demi suapan masuk ke dalam mulut.

“Alhamdulillah nikmat! Cekap sakieu oge duh, Gusti.[3]” Yudi berucap syukur.

Mereka menikmati itu semua di malam yang dingin dan penuh kebersamaan. Indra menatap Andri yang sedang lahap menyantap mie liwet itu. Ada satu perasaan yang membuat garis senyum getir di wajahnya, meski sebentar saja. Kemudian lanjut makan.

***

Matahari hampir tinggi ketika anak-anak itu terbangun. Terik matahari menerpa saung dan terpal tempat mereka merebahkan tubuh, meringkuk, berusaha menghangatkan diri dari udara malam tadi, dan kini tubuh-tubuh itu menggeliat.

“Wayah kieu karek harudang![4]” ucap Yudi yang sedang menyerut bambu untuk dijadikan layang-layang.

Rencananya hari minggu Iwan akan kembali ke kota karena remaja lima belasan tahun itu akan bekerja keesokan harinya. Selain itu dia dan adiknya harus bekerja membantu bapaknya di tambak ikan dahulu. Maka dari itu, mereka harus turun pagi itu juga.

Iwan membangunkan adiknya dan segera berkemas. Anak-anak lain yang melihat mereka mengerti dan mempersilahkannya pergi.

“Naik gunung, yuk?” Tiba-tiba saja Fajar, abangnya Andri, mengajak teman-temannya, Dadan dan Agus.

“Males ah,” jawab Dadan. “Takut nggak keburu. Nanti sore kan saya balik ke Jakarta sama Iwan.”

“Sama saya juga,” timpal Agus.

“Sebentar saja atuh. Naik saja. Kita kan pernah ke sana. Nanti sore juga sudah balik lagi,” ujar Fajar.

“Bukannya nggak boleh ya, A?” tanya Andri pada abangnya.

“Hu’uh nya. Bukannya gunung itu teh cagar alam?” tambah Aep bertanya.

“Iya, sih. Tapi da banyak juga orang lain naik gunung ke sana. Kita kan termasuk warga sekitar. Masa nggak boleh naik,” ucap Fajar. “Ya sudah kalau kalian tidak mau mah, saya naik saja sama adik saya berdua,” lanjutnya.

“Kade ah,[5]” kata Dadan.

Entah apa yang abang adik itu pikirkan. Mereka akan pergi mendaki di mana itu dilarang sebab gunung yang ada di belakang kampung itu tidak seluruhnya dapat didatangi sembarang orang. Karena sebagian besar merupakan cagar alam nasional. Namun, mereka sepertinya akan tetap melakukannya. Indra dan Aep yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa menyaksikan perbincangan tersebut.

***

Rasa penasaran bisa jadi memang lebih hebat dari rasa takut. Orang-orang akan lebih memilih untuk melampaui batas hanya karena ingin melenyapkan rasa penasaran.

Seperti halnya Fajar dan adiknya berencana pergi mendaki, walau tahu tidak diperbolehkan sebab gunung di belakang kampung itu tidak seluruhnya bisa dimasuki sembarang orang, karena sebagian besar merupakan cagar alam nasional. Namun, itu tidak mengurungkan niat abang beradik, Fajar dan Andri, untuk mendaki.

“Ikut, yuk, Ndra,” ajak Andri pada Indra. Indra yang berjalan turun dari punggung gunung setelah berkemah bersama Aep tidak begitu menanggapi ajakan tersebut.

Meskipun begitu, Indra sebenarnya penasaran dengan ada apa di balik gunung itu. Dia ingin menjawab iya pada ajakan Andri. Namun, karena ragu oleh sesuatu, dia tidak kunjung menjawab. Bagaimana mungkin Indra mengiyakan ajakan Andri yang bisa dibilang adalah musuhnya, karena dia pernah merundung Indra ketika tahu kawannya itu tidak naik kelas, padahal mereka merupakan teman sebangku semasa duduk di kelas tiga SD.

Indra pun melirik Aep dan mengangkat alis untuk bertanya pendapatnya. Rupanya, Aep juga sebenarnya penasaran karena belum pernah ke sana. Dia ingin ikut mendaki bersama mereka. Aep pun mengangguk. Indra senang dengan jawabannya. Merasa ada teman, kemudian Indra melakukan hal yang sama sebagai jawaban untuk pertanyaan Andri.

“Iya atuh, saya sama Aep ikut,” ucap Indra kemudian.

Lihat selengkapnya