Jarambah ke Jakarta
Ketika anak-anak lain membicarakan perihal akan ke mana atau melakukan apa saat liburan sekolah, Coki tidak begitu peduli. Karena anak itu harus membantu bapaknya bekerja di kebun dan tambak ikan selama seminggu liburan caturwulan dua waktu itu. Anak yang kini sudah kelas 6 SD itu terpaksa karena tak mau bapaknya mengamuk lagi. Bapaknya itu kerap kali memukulnya dengan alasan yang entah.
Coki memang sering kali menghilang dan suka bermain jauh bersama teman-temannya. Seperti beberapa bulan lalu yang menyebabkan dirinya dan kawan-kawannya hilang tersesat di hutan saat akan mendaki gunung belakang kampung. Dia tak bisa menahan hasrat alami anak-anaknya untuk bermain.
Walaupun kejadian itu membuatnya harus merasakan penyiksaan bapaknya yang marah karena ditegur Pak RT, yang anaknya merupakan salah satu anak yang hilang. Pak RT menyalahkan Coki karena mengajak anaknya mendaki gunung.
Maka dari itu, liburan kali ini sepertinya Coki harus puas membantu bapaknya.
Pagi-pagi sekali Coki sudah siap dengan arit. Dia akan mencari rumput untuk kambing-kambing peliharaan Pak Kosim, dan berlanjut siang harinya akan membantu Bapak menguras kolam ikan.
Seharusnya, yang membantu bapaknya bekerja adalah Iwan, abangnya Coki. Namun, dia memilih pergi bekerja ke kota. Banyak yang mengatakan jika bapaknya yang membuat dia kabur.
Bukan rahasia lagi bahwa bapaknya itu dibenci warga kampung. Pasalnya, dahulu dia sering sekali bikin ulah di kampung; mabuk, judi, dan berkelahi merupakan keseharian di masa mudanya. Bahkan dia kerap kali ketahuan mencuri di rumah atau kebun warga dan sempat dibui.
Warga kampung tahu kalau Coki atau pun Iwan sering dipukuli oleh bapaknya. Pria kurus bertato itu bertingkah macam orang stres. Terutama semenjak keluar dari bui dan sempat beberapa tahun tinggal di Ibu Kota. Juned, nama bapaknya Coki, memang terkenal temperamental, gampang sekali main hajar kepada anaknya.
Hal itu semakin menjadi-jadi selama beberapa bulan belakangan ini. Ketika gajinya tak kunjung turun sampai berbulan-bulan. Kata pemilik tambak, harga-harga hasil tambaknya dibeli murah oleh para pengepul, bahkan hampir tidak laku. Juned hanya seorang pekerja tambak yang dimiliki Pak Kosim. Jika terus seperti itu, mungkin dirinya tidak akan lama lagi bekerja di sana.
Krisis moneter, kata Pak Kosim. Alasan yang bukannya tak begitu dimengerti Juned, dia hanya malas memikirkannya. Karena menurutnya, itu urusannya dengan orang-orang berdasi di Ibu Kota sana. Dia tahu, perihal Bank yang bangkrut, menunggak hutang kepada pemerintah, dan tak mampu bayar. Namun, soal urusan apa hubungannya dengan harga ikan-ikannya, dia sama sekali awam.
Sejak menikah dan punya anak, Pak Juned memang sudah tak terlihat lagi tindak-tanduk buruknya. Tobat katanya. Akan tetapi, tetap saja warga masih meragukan. Tak ada yang mau memperkerjakan dia kecuali Pak Kosim, saudagar kaya pemilik tambak ikan, peternakan, dan perkebunan itu. Masyarakat masih menganggap dia belum becus menjaga emosinya sendiri.
Warga mencurigai alasan kenapa Iwan, anak pertamanya yang masih berumur 14 tahun dan duduk di Sekolah Menengah Pertama kelas dua itu kabur, adalah karena bapaknya sering menyiksanya.
Di sisi lain, Coki sedih harus ditinggal satu-satunya abang yang dekat dengannya. Sebab sedari kecil Iwan lah yang mengasuh adiknya, selain ibu. Sekarang Coki harus menggantikan abangnya membantu bapak.
Pagi menjelang siang.
Satu tumpukan besar rumput sudah Coki dapatkan. Kemudian diikatnya satu kali dengan tali dan karung bekas menjadi alas agar mudah saat akan di bawa. Dia mulai berjalan di jalur tanah dekat hutan ke arah peternakan Pak Kosim yang letaknya agak jauh. Ditandunya satu bal rumput-rumput itu pada punggungnya yang tak lebar di sepanjang jalan tanah berbatu.
“Cok, hayu urang nonton konser band.” Tiba-tiba saja Indra dan Aep menghampiri Coki. Anak itu pun menurunkan muatannya dari punggung.
“Di mana?”
“Kota.”
Coki tampak diam sejenak. Menekur. Kemudian menyelenggarakan pelan. “Moal, ah.”
“Kunaon?” tanya Indra.
“Bapak urang.”
Aep dan Indra saling pandang. Ketika Coki menyebutkan alasannya, dua sahabatnya itu mengerti dan tak mungkin bisa lagi membujuk. Akhirnya, Aep dan Indra berpamitan. Namun, mereka tidak mengambil jalan ke arah jalur ke kota.
“Naha kadinya, lain deuk ka kota?’
“Teu jadi ah. Euweuh maneh mah. Mending ka lapangan, maen langlayangan.”
Kedua bocah itu pun pergi. Coki masih di sana melihat punggung dua sahabatnya yang semakin menjauh. Kemudian dia memanggul rumput biru kembali dan segera pergi.
Hingga tiba di area peternakan. Coki langsung memberi makan kambing-kambing. Beberapa pekerja lain ramah menyapanya. Setelah selesai dia langsung pergi menuju tambak ikan.
Berbeda dengan peternakan atau perkebunan, di tambak ikan, Pak Juned bekerja sendiri–dibantu anaknya–. Bukan karena tidak ada pekerja lain, akan tetapi karena banyak yang menolak bekerja bersama dengan dia. Pak Kosim tidak mempermasalahkan itu. Sebab selama dia bekerja, Pak Juned tidak pernah mengeluhkan itu, dan sepertinya dia memang tak mau orang lain bekerja di tambak bersamanya.
Coki langsung menaruh arit di atas jala-jala ikan, begitu dia sampai. Anak itu bersiap akan membantu bapaknya menguras kolam.
Sebelum itu, ikan-ikan nila itu harus dipindahkan ke kolam sebelahnya. Terlihat di tepi-tepi area kolam, tak jauh dari bangunan gudang, berbungkus-bungkus plastik ukuran besar yang kembung berisi angin, air, dan ikan-ikan nila, sudah siap di antar menggunakan mobil pikap. Rupanya, sedari pagi Pak Juned sudah membedah kolam sebelah dan membungkus ikan-ikan itu sendirian.
Mobil pikap pun datang ketika Coki dan bapaknya berada di dalam kolam. Tak ada tegur sapa antara sopir pengangkut dan Pak Juned. Mereka sibuk pada pekerjaan masing-masing. Coki sempat melihat sang sopir kesusahan mengangkut plastik-plastik besar itu sendirian. Sebenarnya kalau bukan karena takut pada bapaknya, dia akan membantu. Bapaknya pun menegurnya sambil memasang wajah geram.
Ketika Pak Juned mengambil jala, tanpa disadarinya arit yang ditaruh Coki di atasnya mengait di antara lubang-lubang jala tersebut hingga membelit. Pria itu kesal, dan lebih kesal lagi ketika dia mencoba melepaskan arit itu dari lilitan jala.
“Saha nu nyimpen arit di dieu!” Teriakan pak Juned membuat Coki langsung menengok ke arahnya. Coki mengakui bahwa dialah yang melakukannya. “Kadieu!” bentak Pak Juned pada anaknya.
Kemudian Pak Juned memperlihatkan arit yang terlilit jala itu dan langsung menggampar pipi Coki dengan kerasnya sampai bersuara. Dia menyalahkan anaknya. Sekali lagi tangan pria itu mendarat di pipi, sebelum dia menyuruhnya untuk turun kembali ke kolam dan memindahkan ikan-ikan itu sendirian, sementara dirinya memperbaiki jala. Coki pun menuruti. Wajahnya terlihat kesal saat turun.
Tak lama kemudian, Pak Juned berteriak karena kesal tak mampu melepaskan arit itu dari jalan sambil melemparnya kepada Coki yang berada di dalam kolam, hingga tanpa sengaja ujung arit itu melukai tangan anaknya itu.
Kolam ikan berwarna hijau itu kini dinodai warna merah darah dari tangan Coki. Anak itu mengaduh. Namun, bukannya menolong, Pak Juned malah memarahi anaknya itu.
“Deuleu ku sia eta jadi saroek kitu!” teriak Pak Juned. Karena kesakitan, Cecep tak memedulikannya dan bergerak, mengasruk-asrukkan kaki di dalam air, lalu naik ke atas untuk mencari obat atau apa pun untuk menghilangkan perih di tangannya. “Rek ka mana sia!”
Pak Juned mengejar Coki yang sudah sampai di tepi kolam. Dia menarik baju belakangnya dan menyeretnya ke dalam kolam kembali. Coki mengaduh lagi akibat luka di tangannya terkena air kolam yang kotor.
Geram. Entah apa yang merasuki Coki. Anak itu memilih melawan. Dia mendorong bapaknya itu hingga terjengkang dalam kolam. Tak terima, Pak Juned bangkit dan memukul kepala Coki. Anak itu pun membalas. Hingga terjadilah perkelahian yang tak seimbang.
Tak ada satu orang pun yang melihat kejadian itu. Tidak ada. Meski teriakan-teriakan geram mereka begitu keras. Hanya ikan-ikan nila di kolam sebelah yang menjadi saksi di mana Cecep mengambil arit dan langsung berusaha menyerang bapaknya.
***
Angin malam bertiup di punggung gunung, menerpa-nerpa atap-atap saung yang terbuat dari daun kelapa kering, mengalihkan perhatian Yudi, yang sedang berbaring di dalam saung bersama Coki, yang sejak siang datang sambil tersedu-sedu. Tidak biasanya dia menginap di markas. Coki bercerita pada sahabatnya itu bahwa dirinya bertengkar hebat dengan bapaknya dan tak mau pulang ke rumah.
“Yud, anteur urang ka Jakarta, yuk,” ajak Coki dengan suara parau basah, sebab habis menangis.
“Ka Jakarta rek naon?” tanya Yudi.
“Nyampeurkeun lanceuk urang. Urang rek cicing di teun lanceuk urang. Daripada di dieu, nyeri hate wae,” ucap Coki. “Baheula lain maneh pernah gawe di Jakarta, kan?” tanyanya kemudian.
Yudi tak menolak atau pun mengiakan. Dia terdiam, dan kembali menatap atap saung yang diterpa angin malam.
Sebagai kawan baiknya, Yudi mengerti dengan apa yang dialami Coki. Dia prihatin juga kasihan mendengar penderitaan kawannya itu. Mungkin tinggal bersama abangnya di Jakarta lebih baik bagi Coki, pikirnya.
“Hayu wae urang mah, ku urang anteur ka Jakarta. Tapi, Coki ... aya nu kudu ku maneh apal,” ujar Yudi, kemudian ia menatap Coki. “Jakarta itu kejam.”
Anak kecil yang terbaring di sampingnya itu tidak mengerti apa maksud yang diucapkan Yudi, kecuali kata terakhir itu: kejam.
“Apa lebih kejam dari bapakku?” tanyanya.
Yudi terdiam. Dia masih menengok wajah pilu kawannya itu, kemudian membuang muka, menatap layang-layang yang terpajang di dinding saung. Pikirannya jauh melayang ke waktu di mana dirinya berada di Jakarta, yang membuatnya tak berani menjawab pertanyaan itu.
***
Kerikil di jalan tanah sesekali menghambat empat pasang sandal jepit yang sedang menuju jalan raya jauh di ujung sana. Kanan dan kiri yang tampak hanyalah pohon-pohon menjulang tinggi. Sepi. Suara tonggeret melengking-lengking menambah suasana panas di siang yang terik.
Indra, Aep, Coki, dan satu kawannya yang lebih tua tiga tahun, Yudi, sedang menuju terminal dan akan pergi ke Jakarta. Dua bocah yang merupakan kawan sekelas Coki hanya turut serta. Mereka bermaksud menemani saja, dan berniat pulang sore bersama Yudi, yang sebelumnya sudah pernah pergi ke Jakarta, setelah mengantar Coki pada abangnya. Kepada orang tuanya, Aep dan Indra memberitahu bahwa mereka pergi bersamaku Mang Utai, bapaknya Aep, ke Bandung.
Tiba di jalan besar, mereka mencegat dan naik angkutan umum di sana untuk menuju terminal. Di dalam angkot, Indra yang tengah memandang keluar jendela, kemudian menunjuk-nunjuk sambil menepuk-nepuk bahu Aep, dia terkesiap melihat punggung gunung jauh di seberang sana, tempat yang merupakan markas mereka bermain. Aep pun melihatnya dan tersenyum.
Selain gunung, perkebunan sayur dan kopi, juga persawahan menjadi pemandangan yang menemani mereka selama perjalanan. Hingga kendaraan itu sampai di terminal kota.