Ibu Kota Lebih Kejam Dari Bapak
Mobil elf putih–sebuah kendaraan seperti bis namun lebih kecil– itu berhenti tepat di pertigaan jalan dan menurunkan lelaki remaja dengan baju kemeja kotak-kotak biru. Dengan tas gendongnya, dia kemudian berjalan ke pangkalan ojeg tak jauh dari jalan beraspal.
“Ojeg, Pak,” panggil lelaki itu.
“Iwan? Ini teh Iwan, kan? Murangkalih na Pak Juned?”
“Muhun, Pak.”
“Atuh, naha teu sareng Cecep?”
“Cecep?”
“Muhun.”
“Oh, Henteu, Pak.”
“Nyalira wae?”
“Muhun.”
Iwan segera naik ke atas jok motor belakang kemudian kendaraan beroda dua itu pun meluncur di sepanjang jalan tanah berbatu menuju kampung halaman Iwan. Dia sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dimaksud si tukang ojek. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu hanya ingin bersikap sopan kepada orang yang lebih tua darinya itu saat menjawab. Hingga akhirnya dia tiba di rumah barulah dia paham ketika ibunya juga mempertanyakan hal yang sama seperti tukang ojek tadi.
“Iwan, naha teu sareung si Cecep. Si Cecep mana?” tanya Ibunya begitu Iwan menemuinya di dapur. Wajah itu menengok ke arah ruang depan, seperti mencari-cari. Tentu saja Iwan tak mengerti. Maka dia pun bertanya pada ibunya tentang ada apa sebenarnya.
Siang menjelang.
Pak Juned baru saja pulang dari tambak ketika melihat istrinya menangis di meja dapur. Wajahnya kerung. Dan bertambah kerung ketika melihat Iwan juga ada di sana setelah masuk ke ruangan itu. Dia sepertinya tidak menyangka anaknya pulang hari itu. Tak ada sapaan, tak ada gerik yang menandakan bahwa dirinya peduli kepulangan anaknya. Canggung. Dia hanya melangkah menghampiri teko di meja, minum, lalu pergi lagi.
Mata Iwan tajam menatap bapaknya. Kini dia sudah remaja, tubuhnya mungkin sudah lebih tinggi dari bapaknya. Mungkin karena itu, Pak Juned tak berani menyapanya karena suatu hal di masa lalu. Kemudian Pak Juned pergi ke belakang rumah.
“Naha teu mere nyaho Iwan kalau si Cecep ka Jakarta?”
“Mak kan teu gaduh alamat Iwan di Jakarta.”
“Berarti si Cecep masih di Jakarta?” tanya Iwan merendahkan suara. “Apal kitu mah, meureun Iwan teh baheula ngajak si Cecep ka Jakarta. Nya ari kitu mah Iwan ngke sonten balik deui ka Jakarta. Neangan si Cecep.”
“Ulah waka ka Jakarta heula. Lain di ditu teh keur rusuh. Mamah hariwang. Kan Iwan balik teh keur nga jauhan ti kerusuhan.”
Iwan tercenung lama dan terus melihat wajahnya. Mungkin memang benar, dia pulang memang untuk menghindari kerusuhan itu. Akan terapi jauh di lubuk hatinya, dia rindu akan keluarganya, dan yang disebut keluarganya barangkali hanya ibunya dan juga Cecep, tidak dengan bapaknya.
“Terus kumaha si Cecep? Atuh meureun masih neangan Iwan di Jakarta. Luntang-lantung teu puguh. Geus tilu bulan, Mak. Ari Mamah teu sieun di Cecep kunanaon kitu? Ulah siga si Bapak nu teu paduli anakna leungit!”
“Iwan!” ucap ibunya sambil kemudian memegang pundak anaknya.
“Keun bae. Keun sena kadenge’. Da emang teu paduli!”