Terima Kasih Kawan
Siang hari di sebuah kampung, Indra terlihat berjalan pulang dari sekolah bersama Aep. Tepat di persimpangan jalan gang, mereka harus berpisah karena jalur menuju rumah masing-masing yang berbeda. Sempat Indra berhenti sebentar dan menengok kawan sekelasnya itu. Sebelum melanjutkan berjalan, anak berseragam merah putih itu menunduk sebentar dan menghela napas.
Dia selalu teringat akan temannya Coki yang hilang entah ke mana. Seharusnya, jika saja kawannya itu memutuskan untuk pulang saja bersama mereka setelah kecelakaan itu, mungkin Cecep sudah berjalan pulang bersamanya menelusuri gang tersebut dan berpisah di persimpangan gang depan.
Sudah tiga bulan semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Yudi ketika mereka bermain ke Jakarta, atau lebih tepatnya mengantar Coki menemui abangnya, Indra maupun Aep tampak tak begitu ceria. Para pasukan jarambah tak berani lagi bermain jauh-jauh semenjak kecelakaan itu. Paling jauh mereka hanya bermain di lapangan atau sungai. Bahkan markas di belakang gunung pun tak pernah lagi mereka kunjungi.
Setelah pulang sekolah, Indra hanya bisa diam di rumah. Paling tidak ikut Emak atau bapaknya ke kebun untuk membantu. Keadaan sungguh berbeda semenjak kepergian Coki. Ada trauma yang Indra rasakan untuk tidak lagi bermain jauh-jauh dari rumah. Dia masih ingat saat dirinya tersesat di hutan selama empat hari bersama Fajar, Aep, dan Coki.
“Ndraaa … Indraaa ... ulin, yuk.”
Indra sedang termenung di atas kursi memikirkan kawannya yang hilang, ketika seseorang memanggilnya. Entah kenapa keadaan hati indra begitu tidak nyaman. Seperti sesuatu yang buruk telah terjadi.
Aep sedang berdiri di depan rumah ketika Indra membuka pintu dan keluar karena mendengar panggilan. Anak lelaki berambut ikal itu tampak terkejut melihat temannya. Karena tidak biasa Aep mengunjunginya untuk mengajak bermain.
“Ulin ka mana? Ka tonggoh?” tanya Indra menanyakan apakah dia akan pergi ke markas.
“Mbung ah.”
“Ka mana atuh?” tanya Indra sambil melangkah ke teras lalu memakai sandalnya.
“Teuing,” jawabnya.
“Ndra, ulah ulin jauh-jauh teuing, nya. Kade ulah ka leuweung!” Tiba-tiba saja ibunya Indra yang sedang menyusun kayu bakar berteriak dari belakang rumah. Dari sana dia bisa melihat anaknya berdiri di teras bersama Aep. Tentu saja larangan itu bukan tanpa sebab perempuan setengah baya itu lontarkan.
“Moal. Rek ka walungan, ngojay!” teriak Indra. “Hayu,” ajaknya pada Aep.
Mereka pun mulai berjalan berdua ke tempat yang sebenarnya belum disepakati kawannya itu.
***
Panas matahari masih terasa di sekitar aliran sungai tak jauh dari kaki gunung. Begitu tiba di sana, Aep dan Indra langsung membuka baju dan melompat ke dalam arus air yang tak seberapa deras.
Siang menuju sore waktu itu. Celotehan canda tawa riang anak-anak terdengar di antara gemuruh arus sungai. Beberapa tampak bertelanjang bulat memperlihatkan tubuh kurus cokelat karena sering terpapar sinar matahari. Mereka riang bermain air walau ada juga yang hanya duduk di atas batu kali.
Indra keluar dari dalam air kemudian berjalan di antara arus menuju Aep yang sudah lebih dulu berada di tepi. Indra terdiam, masih sambil memeluk tubuhnya lalu menatap Aep dengan kernyitan, dan berpikir sesuatu tentang kawannya yang lain yang disebutkan tadi.
“Kira-kira si Coki keur naon ayeuna, nya?” tanya Indra.
Aep tak lantas menjawab pertanyaan itu. Sesekali dia menyibak-nyibak air, memainkannya, sambil berpikir tentang apa yang diketahuinya mengenai apa yang sedang terjadi di Jakarta. Aep tahu bahwa di rumah Indra tidak ada televisi, jadi kemungkinan besar kawannya itu belum mendengar berita itu.
“Maneh apal di Jakarta keur aya kerusuhan?”
“Kerusuhan?”
“Huuh.”
“Teu apal,” jawab Indra. Aep tampak bingung. Apa dia harus memberitahunya atau tidak. Pun dia juga tidak tahu cara memberitahunya. “Kerusuhan kumaha?”14 tanya Indra penasaran.
“Biasa sih. Politik. Cenah na mah aya nu demo hayang Presiden Soeharto turun.”
“Oh,” ucap Indra datar saja. Dari ekspresinya itu, Aep paham kalau Indra benar-benar tidak tahu separah apa kerusuhan itu.
“Pokona mah rusuh pisan. Aya nu maot cenah, mahasiswa. Aya toko-toko dibakar, dicokotan barang-barangna, dijarah....”
Aep terus bercerita kepada sahabatnya itu. Sementara Indra hanya diam terduduk di atas baru memeluk badan kurusnya sambil sesekali mengangguk. Mendengar cerita Aep, Indra termenung. Anak lelaki itu lekat menatap Aep yang mulai berjalan kembali memasuki sungai, bermain dengan arus air di antara batu-batu kali. Indra mengangkat kakinya ke atas batu dan memeluknya, kemudian menempatkan dagu di atas lutut. Ia masih terpikirkan tentang Coki kawannya. Tak sedikit pun di pikirannya itu terlintas kalau Coki akan menjadi korban kerusuhan tersebut. Meski sepanjang hari itu Indra sudah tidak merasa tidak enak hati.
Lama termenung, Indra disadarkan oleh tepukan tangan Aep di bahunya. “Ndra, urang neangan arben, yuk,” ajak Aep.
“Hayu.”
Indra pun beranjak dari atas batu kemudian mengambil bajunya di rerumputan dan memakainya kembali. Sedangkan Aep hanya meletakkannya di bahu setelah menerima baju yang Indra ambilkan, lalu mulai berlari disusul Indra yang tak mau ketinggalan.
Setelah banyak memetik buah arbei, dua anak itu kemudian pergi dari sana menuju sebuah bukit yang tak terlalu tinggi dan duduk di atasnya. Dari sana mereka bisa melihat sungai tadi juga beberapa petak tambak ikan tak jauh di seberang sungai. Tambak itu adalah tempat dahulu Coki bekerja bersama bapaknya.
“Si Cecep keur naon, nya, di Jakarta?” Sekali lagi Indra bertanya. Rupanya kegelisahan di hatinya masih Indra rasakan.
Sambil menikmati arbei yang baru saja dipetik dan dikumpulkannya, mereka menatap lekat orang-orang yang bekerja di tambak itu.
“Doakeun weh sing selamat si Coki, jeung bisa balik deui ka dieu,” ucap Aep bijak.
“Sono euy ka si Coki.”
“Sarua.”
Kemudian Indra teringat peristiwa yang pernah disaksikannya dahulu di area tambak itu, ketika dia dan Aep mencarinya saat ingin mengajaknya bermain. Dia tidak ditemukan di mana pun rupanya dia sedang bekerja bersama bapaknya di tambak.
***