Malam Tragedi Mei 1998
Segerombolan polisi mencegat bus yang sedang Dani tumpangi. Kendaraan itu menepi sesuai arahan. Dani berdiri melihat ke luar jendela. Tampak pria-pria berseragam coklat berbaris di tepi-tepi jalan dengan pentungan di tangannya masing-masing, memeriksa para pejalan kaki yang menurut mereka tampak mencurigakan. Satu persatu tas-tas diperiksa sementara pemilik tas hanya menyengir, ada pula yang mengerut masam. Semua yang ada dalam bus agak terkejut melihat pemandangan di luar sana.
Beberapa polisi lantas naik ke dalam bus dan langsung memeriksa para penumpang, termasuk Dani. Selain KTP, pria berseragam cokelat itu juga memeriksa buku-buku, map merah, dan identitas kemahasiswaan.
Salah satu polisi sempat memandangi Dani agak lama karena KTM yang didapatinya dalam tas. Tak lama, polisi itu memberikan kartu itu lagi, setelah dirasa tak ada yang perlu dicurigai. Kendaraan berbadan lebar dan panjang itu pun meluncur kembali setelah para polisi turun.
Dani seharusnya pergi ke tempat kerjanya di salah satu ruko Yogya Mal Klender. Namun, desakan teman-teman kampusnya juga dosen untuk ikut berdemo esok hari membuatnya tak punya pilihan untuk membolos. Meskipun itu adalah ruko kawannya, tetap saja dia merasa tidak enak.
Sebenarnya Dani tidak terlalu minat ikut berdemonstrasi seperti teman-teman kampusnya. Meskipun dia berada di Fakultas Hukum Trisakti, yang mau tidak mau pasti bersinggungan dengan urusan pemerintahan. Dani hanya ingin berkuliah dan mendapatkan gelar S1-nya, sesuai rencananya. Setelah itu menikah dan hidup di kampung halamannya dan bergelut menjadi “wartawan kampung” seperti sebelumnya. Ia tidak mau macam-macam.
Siang menjelang sore. Ketika berjalan di trotoar menuju kampusnya, Dani melihat seorang anak gelandangan pakaian lusuh dan sendal jepit yang talinya hampir putus, itu terlihat dari cara jalan anak itu yang sedikit menyeret agar menahan, atau mungkin karena kakinya sudah lelah.
Dani mengernyit. Sepertinya dia pernah melihat anak itu. Ketika berpas-pasan, Dani semakin lekat menatap wajah kumalnya. Dia benar-benar merasa pernah melihatnya. Tetapi ragu. Dani pun mengabaikannya, membiarkan anak itu pergi melewatinya. Sekilas dia menoleh kembali padanya, sekilas saja, lalu lanjut berjalan.
***
Keesokan harinya, 12 Mei 1998.
Di siang yang cerah, ribuan mahasiswa sudah berkumpul di jalan-jalan menuju gedung nusantara. Spanduk-spanduk dengan berbagai bentuk protes dan harapan dibentangkan. Teriakan-teriakan orasi dari pemimpin demontrasi terdengar tegas, yang lantas diikuti oleh lainnya. Dani berada di antara mereka, berjalan mengikuti dengan jas almamater birunya serta ikat kepala putih.
“Reformasi! Reformasi! Reformasi!”
Tangan-tangan itu terkepal meninju-ninju udara sambil terus berjalan. Hingga mereka berhenti tak jauh dari halaman gedung nusantara, bergabung dengan para demonstran yang sudah sejak pagi ada di sana.
Orasi terus berkumandang dari toa yang digenggam kuat oleh seorang lelaki berikat kepala dengan tulisan ‘reformasi’, berapi-api menyerukan tuntutan-tuntutannya di atas jalan layang sana. Sementara Dani bersama kawan-kawannya hanya berdiri di tengah-tengah kerumunan. Berbaur. Sesekali berteriak mengikuti seruan sang orator.
Tak hanya mahasiswa, dosen, dan para wartawan yang memang mendominasi di sana, warga biasa, pedagang, bahkan anak-anak tampak menyesaki tepi-tepi jalanan. Jauh di sudut jalan sana seorang anak dengan pakaian lusuh berjalan, kemudian dia berhenti setelah mencapai pohon dan memandangi kerumunan yang berdemo dan mengernyit seakan tak mengerti.
Keberadaan anak itu rupanya disadari Dani yang memang tampak tak asing. Anak itu yang dilihatnya kemarin. Tapi dia yakin sebelumnya pernah melihatnya. Sekali lagi, Dani mengabaikannya.
Hingga hari menjelang sore. Segala proses negosiasi yang dilakukan tak begitu membuahkan hasil. Hujan sempat turun deras, tapi mahasiswa masih semangat dengan yel-yel dan nyanyian. Namun, perlahan mulai berkurang, bahkan ada yang memutuskan pulang, termasuk Dani. Lelaki itu sudah berada di halaman kampus, bersiap pulang.
Sekitar pukul 5 sore, ketika Dani berjalan pulang, seseorang berteriak-teriak ke arah masa dengan kata-kata yang kasar. Sontak itu menyulut emosi. Mereka mengejar.
Sedangkan Dani hanya bisa menghela napas. Dirinya tak sedikit pun tergerak untuk mengejar. Dia berbalik dan pergi.
Kemudian, tepat ujung jalan, dia melihat lagi anak kecil itu sedang berjalan menjauh. Dani mengejar dengan berjalan agak cepat. Dia benar penasaran dengan anak itu. Tak lama melangkah, Dani mendekati anak itu. Sebenarnya agak ragu dia memanggil, takut salah orang. Namun, setelah berhasil menyusul lelaki itu memberanikan diri menghadang.
“Dek!” panggilnya.
Anak itu berhenti seketika. Dia menengadah untuk melihat siapa yang memanggil, lalu mengernyit. Ada ragu di hati Dani.
Namun, belum Dani bertanya, tiba-tiba suara tembakan terdengar dari arah masa dan aparat berseragam itu. Seketika itu Dani dan anak itu refleks menurunkan badannya agak berjongkok. Suara tembakan kembali terdengar. Anak itu panik dan berlari menjauh.
“Woy! Tunggu! Jangan ke mana-mana, bahaya!”
Namun, teriakannya diacuhkan. Anak itu terus berlari.
Dani menengok ke arah kampus. Dia mengira-ngira apa yang sedang terjadi. Bingung. Apakah dia harus kembali ke kampus atau mengejar anak itu yang masih terlihat berlari. Dan dia memilih mengejar anak itu. Akan tetapi, setelah Cecep berbelok ke sebuah gang, dia menghilang. Jejaknya tak terlihat. Dani berhenti berlari di depan gang itu dengan wajah heran.
***
Entah sudah berapa lama, entah sudah seberapa jauh tuannya menempuh perjalanan hingga lubang besar itu tercipta di kedua sisi pasang sandal karetnya. Kaki kecil kurus itu masih berusaha menahan alas kakinya yang sudah tipis tak berbentuk. Hingga akhirnya Cecep menyerah. Langkahnya yang sedikit terpincang kini mulai normal kembali setelah sepasang alas kaki itu ditinggalkannya di jalan.
Anak itu memilih bertelanjang kaki. Kaki dekil itu sedang menelusuri jalanan sebuah gang pemukiman warga kota. Sambil memeluk badannya yang kurus dia melangkah di antara halaman-halaman teras rumah yang kebanyakan sempit. Sesekali kedua telapak tangan menggosok-gosok siku. Matanya mencari-cari. Hanya satu tujuannya: mesjid.
Malam itu sepi. Hanya beberapa orang saja terlihat di salah satu halaman rumah. Entah apa yang mereka kerjakan di dini hari. Perbincangan terdengar dari arah mereka yang ke semuanya adalah pria di antara suara nyala televisi yang menyiarkan tentang pengumuman aparat mengenai kerusuhan yang terjadi kemarin siang yang menewaskan empat mahasiswa. Cecep sebenarnya sudah tahu. Sebab. Dia ada di sana. Pun di sepanjang jalan banyak orang yang membicarakannya.
Pria-pria itu sempat menoleh pada Cecep ketika anak kecil itu melewati mereka. Mungkin di pikiran mereka timbul pertanyaan yang sama seperti saat anak itu menatap mereka, sedang apa dia malam-malam begini masih berkeliaran? Namun, mereka menghiraukan. Mungkin bajunya yang lusuh memberi kesan gelandangan sehingga mereka acuh tak mau mengurusi. Terlihat dari pandangan heran sekaligus sinis yang hanya sekejap, lalu berpaling kembali.
Anak itu terus berjalan menelusuri jalan gang itu. Hingga akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Langkahnya mantap menuju sebuah mesjid dengan lampu yang sudah gelap. Tanpa ragu, dia masuk dan langsung berjalan ke sebuah tempat di belakang dinding yang tampak di atasnya bertuliskan “tempat wudu”. Dia berniat mencuci kakinya sebelum tidur di teras, seperti malam-malam sebelumnya di tempat yang berbeda-beda.
Sudah hampir tiga bulan semenjak kabur dari kecelakaan kawannya yang mengantarkannya ke Jakarta itu, Cecep masih berusaha mencari abangnya. Sudah belasan mal yang dikunjungi berharap dia menemukannya. Entah sampai kapan dia akan berhenti mencari.