“Candra Malik sangat intens menggeluti tasawuf. Berkesenian pun agaknya merupakan ekspresi ketasawufannya. Seperti yang terasa dalam karya-karyanya, termasuk dalam novelnya Layla ini.”—K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Mustasyar PBNU
“Cinta itu ringan di kata tapi berat di rasa. Ketika seseorang yang dilanda cinta mendadak lincah merangkai kata-kata, maka sesungguhnya ia sedang berupaya mengeluarkan rasa cinta agar tak terlalu menyesaki dada. Karenanya, bisa dimengerti ketika terhadap mereka yang setia menyimpan cinta di dada hingga ajalnya tiba, ada yang menilai sesungguhnya ia telah syahid adanya. Novel Layla tak menceritakan melodrama sejoli yang jatuh cinta, bukan pula kisah pencarian cinta yang berujung lara, melainkan semacam pengantar bagi pembaca untuk memahami ragam cinta beserta konsekuensinya. Meskipun akhirnya harus disadari bahwa cinta hanya bisa dilakoni lantaran terlampau sulit bila hanya jadi bahan diskusi. Dalam pencariannya pada sang kekasih, tokoh utama dalam buku ini justru bertemu dengan para pencinta Ilahi yang penuh kasih. Meskipun ceritanya khayalan, sebagian nama para sufi di sini adalah sosok yang nyata. Di sinilah uniknya, penulis seolah ingin bicara bahwa sesungguhnya cinta adalah dialog antara khayalan dengan kenyataan. Selamat bercinta dan teruslah saling mencinta.”—K.H. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama Republik Indonesia
“Novel ini mengangkat suatu persoalan serius—tak kurang dari problem eksistensial manusia modern—dalam jalinan kisah cinta yang memikat. Yakni, tentang paradoks modernitas dan spiritualitas, bahwa semakin modern manusia, justru semakin cenderung untuk kembali kepada spiritualitas. Kisah cinta Lail dan Layla dirajut untuk mengenalkan tradisi berbagai macam tarekat, dan memunculkan dialog tentang hakikat keberadaan manusia, semesta, dan Tuhannya. Jatuh cinta—yang lebih sering diperlakukan sebagai perkara yang banal dalam kehidupan manusia—bisa terasa kompleks dan melibatkan pergulatan batin yang intens bagi Lail yang sedang menekuni jalan tasawuf. Saya kira, di samping kelincahan penceritaannya, adanya kedalaman inilah yang menjadikan novel Layla terasa mencerahkan dan nikmat untuk dibaca.”—Haidar Bagir, Deklarator Gerakan Islam Cinta dan Ketua Pusat Kajian Tasawuf International Islamic Media Network