"Siapa suruh main masuk ke kamarku tanpa ijin!"
Layung Gantari menarik pakaian kotor miliknya dari pelukan Layung Gayatri dengan kasar. Kemudian membantingnya ke dalam rinjing1. Dalam situasi apapun, mau apapun itu yang dilakukan oleh Layung Gayatri terhadapnya pasti selalu saja salah.
"Kamu sakit?"
"Bukan urusanmu!"
Layung Gayatri tidak berkata lagi. Hanya memperhatikan saudari kembarnya itu mengusap peluh yang bercucuran. Wajahnya tampak pucat.
Heran, entah apa yang dilakukannya selama tidur. Sedari remaja, karena kedapatan sering bertengkar dan berkelahi, mereka akhirnya tidur di kamar terpisah.
Seingatnya, Layung Gantari tidaklah belingsatan. Tidurnya termasuk kalem. Namun tak lama setelah pisah kamar, dia malah menjadi aneh. Kerap didera tindihan sehingga sulit terbangun. Beberapa kali bahkan sempat sampai sesak napas. Tubuhnya dingin dan menggigil seperti terjebak hujan untuk beberapa lama.
Mungkinkah ada masalah dengan kamarnya?
Tidak. Karena Layung Gantari sudah berpindah kamar sebanyak tiga kali. Hasilnya tetaplah sama. Dia masih saja disekap tindihan parah. Pernah pula dia dan saudari kembarnya itu dipaksa sekamar lagi. Tetap tidak ada beda. Menjadi rukun pun tidak. Jadi, bisa disimpulkan kalau ini bukan tindihan biasa.
Mungkinkah karena mimpi?
Jika iya, pastilah mimpi yang teramat mengerikan sehingga menyiksanya sedemikian rupa.
"Apakah Gantari pernah menanyakan kejadian hari itu padamu, Gayatri?"
Pertanyaan tersebut seumpama peranan garam dalam setiap masakan bagi sang Ibu. Barang sehari atau setidaknya seminggu sekali, beliau pasti selalu melontarkannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan saudari kembarnya.
"Tidak, Mbok. Sepertinya, dia belum ingat."
Setelah tahun demi tahun berlalu sejak pertanyaan itu untuk pertama kali dilontarkan, Layung Gayatri pun belum mengubah jawabannya. Ya, memang begitulah kenyataannya.