LDR (Long Distance Religionship)

A Story by Fidnaa
Chapter #6

Kelas 12

Semester baru telah dimulai, kini aku sudah menjadi anak kelas dua belas. Artinya sebentar lagi aku bisa lulus dan pergi Kuliah di Universitas yang kuimpikan, kali ini tidak boleh gagal lagi. Sudah cukup dengan tiga tahun di tempat yang sama sekali aku tidak paham ini, tidak apa bersabar sedikit lagi dan aku akan bisa menghadapinya.

Rasanya sudah tidak sabar untuk kembali ke sekolah bertemu dengan banyak orang terutama Icha dan juga laki-laki yang sudah menolakku beberapa bulan yang lalu. Sudah sangat lama meninggalkan sekolah, aku sudah mulai merindukan semuanya khususnya dengan moment dimana Yosua menatapku dan mengelus lembut kepalaku. Walaupun aku sudah ditolak olehnya, tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Bagiku semua alasan yang dia berikan belum bisa membuatku merelakan dia sepenuhnya.

“Fitri berangkat….” ucapku selesai sarapan, kali ini aku sudah membuat perjanjian dengan Ayah. Jika nanti aku sudah berada di kelas akhir, aku ingin pergi ke sekolah sendiri tanpa diantar oleh Ayah. Tentu saja naik taxi online, bukan membawa mobil sendiri, lagi pula aku juga belum bisa mengendarainya.

Hari ini jalanan begitu padat, sepertinya sedang terjadi sesuatu di depan sana. Lalu bagaimana dengan hari pertamaku di kelas dua belas, apa mungkin aku harus mengawalinya dengan hukuman dari Pak Danang. Yang benar saja, ada sebuah kendaraan muatan beroda enam sedang mogok di perempatan jalan dan membuat jalanan padat dipenuhi oleh benda beroda empat yang mengangguk para tuannya, begitu juga dengan kendaraan roda dua yang tidak henti membunyikan bel motornya membuat semakin berisik. Dengan sangat cemas mataku tidak bisa berhenti memandangi jam tangan yang kukenakan, rumah yang hanya berjarak 30 menit bisa-bisa menjadi enam puluh menit sekarang.

“Pak, saya turun disini saja ya. Bapak sudah boleh klaim selesai dan saya juga akan lakukan hal yang sama.” ucapku setelah berpikir panjang, memutuskan untuk turun dari mobil dan berjalan kaki menuju ke sekolah. Walaupun akan menjadi lebih lama tetapi setidaknya di depan sana aku bisa memanggil tukang ojek.

“Apakah tidak apa neng?” tanya Bapak pengemudi taxi online yang mencemaskan penumpangnya.

“Tidak apa pak, ini macetnya pasti akan sangat lama. Bisa-bisa saya terlama nanti.” jawabku sembari bergegas turun dari mobil.

Jalanan memang begitu padat ditambah lagi terik matahari pagi yang sudah menyengat. Melihat perempatan yang masih jauh diujung sana membuatku menghela nafas dengan panjang dan segera mungkin aku berjalan menuju trotoar yang ada di kiri ku, mungkin saat itu masih ada sekitar 2 kilo meter lagi untuk sampai ke sekolah jika ku tempuh dengan berjalan kaki dari sini ke sana bisa-bisa menjadi enam puluh menit.

Mau bagaimana lagi, satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah berjalan kaki. Setidaknya aku berusaha memanfaatkan waktu dengan berjalan kaki daripada harus membuang waktuku dengan menunggu jalanan kembali normal. Yang ada aku tidak akan diijinkan untuk masuk ke sekolah. Dengan semangat pejuang, aku berjalan dengan dua kali langkah normal. Akhirnya aku sudah berada jauh dari kemacetan, aku akan tetap berjalan sambil mencari tukang ojek yang sedang stand by mencari penumpang.

“Masih mau jalan kaki terus?” ucap seorang pengendara motor yang berjalan mengiringi langkahku, membuaktu terpaksa harus menghentikan langkahku dan menoleh kearah sumber suara. Tentu saja suara yang tidak asing di telingaku itu membuatku yakin bahwa seseorang itu adalah laki-laki yang pernah menolakku.

“Yosua?” ucapku spontan setelah melihatnya. Bagaimana aku tidak mengenalnya, laki-laki yang ku suka selama dua tahun lamanya itu tiba-tiba datang lagi disaat seperti ini. Aku tahu pasti saat ini dia sedang tersenyum manis, meskipun dengan helm yang full menutupi wajahnya dan menyisahkan dua bola matanya itu tentu saja aku sudah faham dengan gerak geriknya.

“Tidak perlu tersenyum, aku tahu kau pasti tersenyum.” ucapku ketus dan melanjutkan langkahku meninggalkannya disana.

“Naiklah, aku akan mengantarmu ke sekolah. Anggap saja aku menjemputmu hari ini, sebagai hukumanku aku akan mengantarmu pulang juga nanti.” teriak Yosua, kali ini dia menawarkan tumpangan sembari melajukan motornya menyusulku.

“Tidak perlu mengantarku pulang, cukup antar aku ke sekolah saja hari ini.” ucapku menerima tawarannya

“Baiklah.”

Begitulah ceritaku pagi ini, hari pertama di kelas akhir. Membuahkan satu kenangan manis dipagi hari yang melelahkan, selalu ada hikmah di setiap kejadian yang kualami. Dengan begitu aku sedikit berani untuk memulai perasaanku lagi, apa kali ini dia sudah tertarik denganku atau hanya merasa bersalah saja kepadaku dan dia tidak ingin menjadi manusia yang dibenci, makanya dia melakukan hal seperti ini.

***

“Kak, ayo!” teriak Bunda dari luar kamarku.

Seperti biasa acara tahunan keluarga Ayah, kali ini diadakan di salah satu Masjid terbesar di daerah Jakarta Pusat. Tidak hanya acara kecil biasa, ada sebuah kultum yang akan disampaikan oleh Ulama disana dan acara santunan terhadap anak-anak yatim. Karena ini adalah acara tahunan, jadi tidak boleh ada yang melewatkannya sekalipun. Semuanya sudah siap, begitupun denganku. Sudah siap dengan dress berwarna putihku, seperti hendak Lebaran yang akan pergi mengunjungi rumah leluhur. Kita berangkat naik mobil yang dikendarai oleh Ayah.

Memang tempatnya begitu besar, aku baru tahu jika ada sebuah Masjid indah yang seluas ini dan yang lebih unik lagi tepat di depan Masjid ini ada sebuah Gereja yang tak kalah besar dan bagusnya, mereka berdiri saling berhadapan. Ternyata sudah penuh dengan banyak orang disini, banyak yang berantusias untuk datang. Begitu juga dengan keluargaku, mereka semua sudah ada di dalam sana bahkan tak sedikit juga yang menjadi penerima tamu di depan pintu masuk Masjid.

“Assalamu’alaikum….” ucap Bibi Tantri yang baru saja datang dari belakang kami. Keluarganya yang paling jauh, mereka tinggal di Kota Bandung.

“Wa’alaikum salam dek, bagaimana kabarmu?” tanya Ayah. Beliau adik Ayah yang paling bungsu dan Ayah ada di urutan ke enam dari sepuluh bersaudara.

Maka dari itu, mereka bisa menyewa dan membuat acara semeriah ini di tempat yang besar ini. Karena banyaknya dukungan dan antusias dari masing-masingnya maka terjadilah sebuah hajat yang baik. Ditambah lagi keluarga Ayah sangat kuat dengan ilmu agamanya, melihatku yang belum berhijab diantara sepupu perempuanku yang lain membuat Ayah was-was dengan cacian orang disekitarnya terhadapku. Tapi Ayah bukanlah orang yang suka menuntut anak-anaknya untuk hal-hal seperti itu, karena semua itu adalah tanggung jawab masing-masing mereka hanya mengajarkan apa yang baik dan benar untuk anaknya.

Lihat selengkapnya