"Kak Faris, sinyal ilang lagi ya? Halo? Halo?"
Yasmin menatap layar ponselnya dengan pasrah. Panggilan terputus. Lagi-lagi.
Di seberang sana, di sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur, Faris Rento Wicaksana berdiri di atas kursi kayu, mengangkat ponselnya setinggi mungkin ke arah jendela, berharap ada setitik sinyal tersisa.
"Ayo dong, bar satu aja... Aku nggak minta banyak, Tuhan. Cuma satu bar!" gumamnya penuh harap.
Tiba-tiba, sinyal muncul sekejap. Lalu hilang lagi.
"Oh, jadi cuma lewat aja?! Astaga, kayak mantan!" seru Faris frustrasi, sementara di belakangnya, seorang ibu-ibu yang sedang menumbuk padi menoleh dengan alis berkerut.
Setelah hampir lima menit jungkir balik mencari sinyal, akhirnya panggilan video tersambung lagi. Yasmin sudah muncul di layar dengan ekspresi yang… yah, khas Yasmin. Tatapan menghakimi.
"Kak Faris! Kok ilang-ilangan terus sih? Aku lagi cerita penting tahu!"
Faris masih berdiri di atas kursi dengan satu tangan menempel ke dinding, mirip cicak yang sedang menghindari kejaran sapu.