Menjadi dokter di daerah terpencil bukan hanya soal mengobati pasien. Ini tentang bertahan hidup di antara kepercayaan lokal, adat istiadat, dan masyarakat yang punya cara berpikir sendiri soal kesehatan. Sejak pertama kali ditugaskan di desa ini, aku sudah tahu bakal menghadapi berbagai tantangan, tapi aku tidak menyangka kalau di balik itu semua, bakal ada kejadian-kejadian absurd yang terus menghiasi hari-hariku.
Pagi hari di desa ini selalu dimulai dengan suara paling ikonik: pertengkaran Pak Jamal dan Bu Siti.
"Jangan pakai sarung aku buat lap meja, Siti!"
"Sarungmu itu sudah bolong! Aku lap meja biar bersih!"
"Kamu itu ya, pagi marah-marah, malam minta angetin!"
Aku yang sedang menikmati secangkir kopi hampir tersedak mendengar itu. Di sampingku, Wira dan Eny, teman sejawatku, hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
"Udah biasa, dok," kata Wira. "Pagi berantem, malamnya akur lagi. Besok pagi ribut lagi."
Eny tertawa kecil. "Kalau mereka sehari nggak ribut, berarti ada yang salah."
Aku menghela napas. Satu lagi keunikan desa ini.
Di tengah berbagai permasalahan kesehatan masyarakat, aku harus menghadapi satu pasien yang selalu sukses membuatku kehabisan kata-kata: Bu Rina. Seorang janda dengan tubuh besar, penuh percaya diri, dan dandanannya… yah, kalau badut sirkus melihat, mungkin mereka akan terharu.
Hari itu, ia datang ke puskesmas dengan lipstik merah mencolok dan eyeshadow biru elektrik.
"Dokter Faris, aku pusing. Mungkin karena aku terlalu seksi?" katanya sambil mengedipkan mata genit.
Aku terdiam. Wira pura-pura batuk menahan tawa.
"Bu, mungkin karena tekanan darah tinggi? Coba saya periksa dulu."
"Ah, dokter, tanganmu dingin banget. Boleh aku genggam biar hangat?"
Aku buru-buru menarik tangan. "Nggak perlu, Bu. Saya sudah biasa dengan suhu ruang."
Eny yang berdiri di sudut ruangan hampir menjatuhkan clipboard karena menahan tawa.
Tidak hanya orang dewasa yang sering bertingkah absurd, anak-anak di desa ini juga tidak kalah ajaib.
Suatu siang, dua anak kecil bernama Kiko dan Damar datang ke puskesmas dengan wajah serius.
"Dok, kami mau suntik biar jadi kuat!" kata Kiko.